"Menhir" dalam ilmu arkeologi adalah sejenis tugu batu yang didirikan untuk tujuan pemujaan terhadap arwah leluhur. Menhir menjadi salah satu ciri dari kebudayaan megalitik yang berkembang pada masa prasejarah, lazimnya menhir-menhir yang ada di Indonesia bahkan di dunia didirikan secara vertikal.
Namun, uniknya menhir-menhir yang ditemukan di wilayah Kerinci diposisikan rebah (horizontal) di mana pada pada ujung dan pangkal menhir itu umumnya memiliki relief manusia, manusia kangkang, wajah manusia, binatang ataupun lingkaran konsentris. Para arkeolog masih belum mengetahui alasan mengapa menhir-menhir itu malah diposisikan rebah oleh manusia Kerinci masa lampau. Menhir-menhir yang tersebar di wilayah Kerinci telah diteliti oleh arkeolog asing, Dominik Bonatz, yang berasal dari Jerman. Umumnya megalit Kerinci berbentuk silindris ataupun kerucut.
Uli Kozok, seorang filolog asal Jerman pada tahun 2006 yang lalu mengemukakan temuan fenomenal hasil penelitiannya. Sebuah naskah kuno yang berasal dari abad ke 14 M, disimpan sebagai pusaka oleh masyarakat adat Kerinci di Dusun Tanjung Tanah. Naskah ini ditulis pada kertas daluang (terbuat dari kayu), menggunakan aksara Sumatera kuno yang masih serumpun dengan aksara Jawa Kuno- disebut pula dengan aksara kawi/pascapallawa---Naskah ini ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno, berisi tentang undang-undang Kerajaan yang dianugrahkan oleh Maharaja Dharmasraya kepada para Dipati yang berkuasa di Kerinci. Dalam naskah inilah wilayah Kerinci disebut dengan nama Silunjur Bumi Kurinci.
Keunikannya adalah biasanya naskah-naskah kuna yang berasal dari periode klasik di Indonesia, mengalami penyalinan-penyalinan ulang seperti kasus Kitab Negarakertagama, walaupun kontainnya berisi kisah mengenai Majapahit, tetapi media penulisannya (lontar) justru berusia jauh lebih muda. Berbeda dengan naskah kitab Undang-undang Tanjung Tanah, media tulis maupun kontainnya berasal dari periode yang sama sekitar abad ke 14 M, hal ini diketahui dari uji karbon terhadap sampel daluang dari naskah itu sendiri. Saya berharap naskah ini nantinya turut diakui oleh UNESCO sebagai memory of the world.
Jikalau Anda sering melihat atraksi budaya yang menyuguhkan kekebalan seperti tidak luka kena pisau, keris dan berbagai senjata tajam lainnya, maka umumnya hal tersebut dilakukan oleh para pria, tentu hal tersebut merupakan hal yang biasa-biasa saja karena memang pria identik dengan kekuatan dan maskulinitas. Luar biasanya di Kerinci, atraksi kekebalan tersebut justru dilakukan oleh para perempuan.
Dalam sebuah tarian magis yang disebut niti naek maligai, kita dapat menyaksikan bagaimana perempuan-perempuan Kerinci melakukan hal-hal ekstrim seperti menari di atas api, menginjak pecahan kaca, menari di atas sebutir telur, dihunus dengan pedang, tetapi hal-hal tersebut tak menimbulkan bekas luka sedikitpun.
Menurut kisahnya, tari magis yang dipertunjukkan ini sebenarnya berasal dari ritual naek mahligai. Ritual ini adalah ritual penyempurnaan keilmuan bagi ahli spiritual dalam kepercayaan Kerinci kuno yang disebut dengan balian salle, umumnya balian salle dijabat oleh perempuan-perempuan berdasarkan garis keturunan. Perempuan dalam masyarakat Kerinci memang menduduki posisi penting sebagai pelaksana ritual, sekaligus sebagai dukun. Selain itu, sebagian besar orang-orang dari luar Kerinci, menilai gadis-gadis Kerinci umumnya memiliki paras yang cantik. Benarkah?