Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aksara Surat Incung, Riwayat dan Problematikanya

27 April 2017   20:33 Diperbarui: 27 Desember 2020   18:51 2429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti sejarah permulaan penggunaan aksara ini oleh suku-suku di Sumatera, apakah aksara tersebut merupakan turunan Pallawa atau murni ciptaan komunitas tersebut? keterbatasan data untuk merunut periodenya disebabkan sebagian besar aksara-aksara ini ditulis pada media yang mudah lapuk termakan waktu seperti pada bambu, tanduk kerbau dan Tulang Binatang.

Begitu pula dengan Surat Incung yang digunakan oleh Suku Kerinci di wilayah Jambi. Keberadaan naskah surat Incung yang disimpan sebagai pusaka oleh penduduk setempat pertama kali dilaporkan oleh Marsden di Tahun 1834 (Voorhoeve, 1970). Marsden saat ini menulis mengenai alpabet surat Incung meskipun tidak jelas surat Incung mana yang dijadikannya sebagai rujukan. Pada tahun 1904 saat Kerinci menjadi wilayah jajahan Kolonial di Sumatera, Controuller Kerinci saat itu yang bernama H.K Manupassa mengirim beberapa naskah Kuna Kerinci ke Batavia termasuk di antaranya naskah beraksara Surat Incung.


Penelitian tentang surat Incung berlanjut pada tahun 1916 saat Edward Jacobson berkunjung ke Kerinci. Karena ketidakmampuannya membaca surat Incung, Jacobson menyalin surat Incung dari dari dua naskah tanduk kerbau kemudian hasil salinan tersebut dikirim kepada L.C. Westenenk pejabat Belanda di Bengkulu. 

Oleh Westenenk salinan tersebut ditelitinya, dan pada tahun 1922 dia menerbitkan makalah yang berjudul "Rentjong Shcrift" dalam bahasa Belanda. Makalah yang dibuat oleh Westenenk memuat transliterasi, terjemahan, dan alpabet surat Incung yang belakangan diketahui bersumber dari dua naskah tanduk milik Datuk Singarapi Putih, Dusun Sungai Penuh.

Pada tahun 1941 atas bantuan Controuller Kerinci-Indrapura saat itu H. Veldkamp, Petrus Voorhoeve seorang pegawai kebahasaaan Belanda melakukan penelitian terhadap naskah-naskah kuna yang ada di Kerinci. Voorhoeve berhasil melakukan transliterasi terhadap naskah-naskah kuno tersebut di mana 90 naskah diantaranya beraksara surat Incung. Hasil penelitian tersebut dimuat dalam makalahnya yang berjudul "Tambo Kerintji". 

Naskah hasil penelitian Voorhoeve ini sempat tidak diketahui keberadaannya pasca-pendudukan Jepang hingga ditemukan kembali oleh C.W Watson di tahun 1970 an. Kemudian pada tahun 2006, oleh Uli Kozok naskah makalah Voorhoeve ini diperbaiki ejaannya dan dipublikasikan secara on-line (lihat situs ini).

Abjad Surat Incung Versi Westenenk yang dimuat dalam bukunya. Dokumen pribadi
Abjad Surat Incung Versi Westenenk yang dimuat dalam bukunya. Dokumen pribadi
Surat Incung adalah sebuah aksara yang hampir saja punah keberadaannya. Hal ini karena kemunculan aksara Arab Melayu sebagai aksara resmi yang digunakan oleh kesultanan Islam dan aksara latin yang dibawa oleh bangsa Barat yang menggeser penggunaan aksara surat Incung oleh komunitas pemiliknya. 

Bahkan Generasi suku Kerinci di awal abad ke 20 M tidak ada lagi yang bisa baca tulis surat Incung, hal ini dibuktikan oleh Jacobson  di mana ia terpaksa menyalin naskah surat Incung dan mengirim salinanya kepada Westenenk karena tidak ada lagi orang Kerinci yang mampu membacanya. kemungkinan Westenenk mempelajari aksara surat Incung dari tulisan-tulisan Marsden sebelumnya. Marsden sendiri diketahui pernah menduduki jabatan pemerintahan pada masa kolonial di Bengkulu.

Namun, biang kemusnahan aksara surat Incung berhasil disingkirkan oleh para budayawan Kerinci. Berbekal dari makalah "Rentjong Shcrift' yang dibuat oleh Westenenk mereka mempelajari kembali aksara leluhurnya. Hingga pada tahun 1992 Amirudin Gusti dkk menyelenggarakan sebuah seminar tentang aksara Incung. Hasil seminar tersebut menghasilkan sebuah makalah yang berjudul "Aksara Incung Jambi" berisi tentang alpabet aksara Incung versi Westenenk dan tata cara penulisan surat Incung. Selain itu, dalam makalah ini juga disebutkan kekurangan aksara Incung karena tidak adanya tanda yang digunakan untuk merubah vokal 'a' menjadi vokal 'e' dan 'o'.

Pada tahun yang sama, Amir Hakim Usman juga membuat tulisan yang berjudul "Nasionalisasi Aksara Kerinci" isinya kurang lebih sama dengan makalah Amirudin Gusti dkk, namun Amir Hakim Usman melakukan 'penambahan' beberapa tanda seperti tanda baca untuk vokal 'o' dan 'e' serta beberapa karakter huruf khusus untuk penyesuaian dengan abjad latin dan melayu. Kemudian pada tahun 2014 dengan merujuk pada dua makalah ini, aksara Surat Incung Kerinci ditetapkan oleh pemerintah sebagai warisan budaya takbenda yang berasal dari provinsi Jambi. Bahkan pada tahun 2016, Anshuman Pandey mengajukan proposal pendahuluan aksara surat Incung pada konsorsium Unicode International (lihat).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun