Mohon tunggu...
Hafie Fauzan
Hafie Fauzan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa dari universitas UIN Raden Mas Said Surakarta program studi Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

[Review] Buku kedudukan hukum anak dari hasil perkawinan beda agama menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

13 Maret 2024   08:49 Diperbarui: 13 Maret 2024   08:59 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pernikahan beda agama dalam islam memiliki ketentuan khusus, diantaranya mengatur mengenai pernikahan beda agama seorang pria muslim atau wanita muslim dengan wanita atau pria ahli kitab yang dijelaskan pada Q.S Al-Maidah: 5. Dalam hal ini para fuqaha mempunyai pendapat hukum tersendiri yang terbagi menjadi tiga diantaranya;
Pendapat yang membolehkan bersyarat
Berdasarkan Q.S Al-Maidah; 5 secara jelas membolehkan laki laki muslim menikahi wanita kitabiyah dengan syarat wanita yang dinikahi adalah wanita muhsanat (wanita baik baik yang menjaga kehormatannya). Para sahabat rasulullah juga ada yang menikahi wanita kitabiyah seperti utsman bin affan, thalah bin ubaidillah, ibnu 'abbas, jabir, ka'ab bin malik, dan lainnya.
Menurut jumhur ulama yang dimaksud ahl al-kitab pada ayat tersebut adalah penganut agama yahudi dan Nasrani. Menurut qaul mu'tamad syafi'iyyah wanita kitabiyah yang halal dinikahi hanyalah yang menganut agama yahudi dan nashrani setelah al-Quran diturunkan, maka tidak termasuk dalam ahl al-kitab.
Pendapat yang membolehkan secara mutlak
Ibnu jarir At-Thabari, Muhammad Abduh, dan rasyid ridha dalam tafsir al-manar mengemukakan pendapatnya mengenai pernikahan beda agama. Dengan menggunkan dalil yang sama tetapi beda dalam menginterpretasikannya dengan berpegang pada ra'yu. Argumentasinya ialah berpendapat bahwa dalam Q.S al-baqarah: 221 yang dimaksud musyrikin dan musyrikah itu terbatas pada kaum musyrikin arab pada massa rasulullah hidup saja.
Menurut mereka jika Allah membolehkan laki laki muslim menikhai wanita ahl al-kitab, maka berlaku pula sebaliknya. Selain itu istilah ahl al-kitab tidak hanya mencakup orang orang yahudi dan nashrani saja tetapi juga mencakup orang majusi, sabian, hindu, budha, konghucu, Shinto, dan agama lainnya.
Pendapat yang tidak membolehkan secara mutlak
Menurut Abdullah bin Umar, kalangan syi'ah sekte imamiyah dan Sebagian besar kalangan syafi'iyyah seperti di Indonesia yang terlihat  dalam pandangan umum ulama dan masyarakat tidak memperbolehkan secara mutlak. Alasan yang menjadi argument pendapat ini ialah di dalam Q.S al-Baqarah: 221 yang melarang laki laki muslim menikahi wanita musyrik (yang menyekutukan Allah) sehinga segala bentuk menyekutukan disebut musyrik. Alasan yang kedua penganut agama yahudi dan nashrani juga merupakan kemusyrikan.
Sedangkan, pemikiran kalangan syafi'iyyah tergambar dalam pasal 40 poin c KHI yang menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu yaitu seorang wanita yang tidak beragama islam. Dalam pasal 44 KHI juga disebutkan bahwa seorang wanita muslim dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragam islam.
Anak yang dihasilkan dari pernikahan yang sah menurut hukum islam secara otomatis ia memiliki hak untuk dinasabkan kepada ayahnya karena statusnya sebagai anak sah yang lahir dari pernikahan yang sah. Adapun peraturan yang dimuat di kompilasi hukum islam sebagai salah satu hasil intruksi presiden dalam rangka mengisi kekosongan hukum materiil bagi orang yang beragama islam di Indonesia mengenai larangan pernikahan beda agama tanpa terkecuali merupakan bagian daripada politik hukum untuk kemaslahatan umat khususnya yang ada di Indonesia.
Perkawinan yang sah sudah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1, inpres Nomer 1 Tahun 1991 ttng KHI Pasal 4 dan KHI pasal 40 poin c. dengan demikian penjelasan mengenai pasal pasal tersebut bahwa perkawinan yang dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia harus dilakukan dlam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan dengan kepercayaan masing-masing agama.
Perkawinan beda agama akan berdampak pada status atau kedudukan hukum terhadapa anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut. Maka dapat diapahami bahwa kedudukan hukum anak yang dihasilkan dari pernikahan beda agama adalah:
Dalam hukum islam yang berdasarkan pemahaman mayoritas jumhur ulama, jika yang menikah itu pria muslim dengan wanita ahl al-kitab maka pernikahan tsbt sah dan anak yang dihasilkan sah secara hukum islam.
jika yang menikah itu pria muslim dengan wanita musyrik, wanita muslim dengan pria ahl al-kitab atau musyrik maka perniakahannya tidak sah. Peniliti menilai anak yang lahir dari pernikahan tersebut anak zina.
Adapun menurut hukum positif dan hukum islam yang terkodifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum yang berlaku di Indonesia adalh pernikahan yang tidak sah.


HAK DAN KEDUDUKAN WARIS ANAK HASIL PERKAWINAN BEDA AGAMA


Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 poin c disebutkan bahwa ahli waris adalah orang yang saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beraga islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Pasal ini menjelaskan bahwa asli waris harus beragama islam pada saat meninggalnya pewaris, sehingga berimplikasi bahwa jika tidak beragama islam maka tidak dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim.
Pasal 173 KHI menyatakan bahwa seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
1. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris.
2. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara, atau hukuman lebih berat.
Mengenai anak hasil pernikahan beda agama dari perspektif hukum yang berlaku diindonesia adalah anak yang dihasilkan dari sebuah pernikahan yang tidak sah berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 kemudian dipertegas dengan pasal 40 poin c dan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Sehingga anak tersebut tergolong anak luar kawin. Maka kedudukan anak tersebut secara hukum islam hanya disandarkan nasabnya pada ibunya. Dalam KUHPerdata anak zina adalah anak yang dilahrikan dari hubungan antara dua orang laki laki dna perempuan yang bukan suami istri dimana salah satu atau keduanya terikat dalam suatu perkawinan dengan orang lain.
Namun syarat agar anak luar kawin dapat hak mewarisi adalah bahwa anak luar kawin tersebut harus diakui dengan sah, karena menurut system BW assasnya adalah hanya mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan pewaris saja, yang mempunyai hak waris menurut undang-undang. Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau suami, maka anak luar kawin yang diakuinya mewaris 1/3 bagian, dari yang mereka sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak yang sah. Menentukan pengakuan itu sebagai Tindakan sukarela dari kedua orang tua si anak dan tidak ada Lembaga hukum apapun yang berhak untuk memaksa si ayah maupun si ibu untuk mengakuinya. Putusan MK No.46/PUU-VII/2010 terhadap pengakuan anak luar kawin yang bersifat final, sehingga menjadi dua kemungkinan yaitu:
1. pengakuan secara sukarela yang dilakukan oleh pihak si ayah biologis.
2. pengakuan paksaan yang dipaksa oleh hukum melalui jalur pengadilan dengan jalan pembuktian.

SINKRONISASI KETENTUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM DAN HAK WARIS ANAK HASIL PERKAWINAN BEDA AGAMA


Dari sisi dalil dan argumentasi yang dijadikan hujjah, kelompok pertama yang merupakan jumhur ulama pandangan lebih rajih. Dikarenakan pernikahan beda agama khususnya di Indonesia dikhawatirkan akan menimbulkan kemadharatan dalam aspek aqidah, keharmonisan rumah tangga, psikologis dan social masyarakat.
Oleh karena itu Sebagian ulama mengakui kebolehan perkawinan antara pria muslim dan wanita ahl al-kitab, tetapi status hukumnya makruh. Sebagaimana dikemukakan kalangan hanafiyah, malikiyah dan sayyid sabiq dalam kitab fiqh sunnahnya. Sebagai bentuk kehati hatian atau ikhtiyat dan atas dasar saddu dzara'i.

TITIK TEMU HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF MENGENAL KEDUDUKAN HUKUM DAN HAK WARIS ANAK HASIL PERKAWINAN BEDA AGAMA


Indonesia negara yang Sebagian besar beragama islam yang diekanl dengan nilai ketimuran dan religiositas yang tinggi. Maka dari itu, Indonesia menggunakan hukum islam sebagai salah satu sumber hukum yang digunakan tidak hanya hukum barat dan hukum adat. Mengingat yang tinggal di Indonesia tidak hanya kaum muslim saja.
Dari penjelasan sebelumnya dijelaskan bahwa pernikahan beda agama di Indonesia dianggap pernikahan yang tidak sah dihadapan hukum dan anak yang dihasilkan dari pernikahan yang tidak sah berstatus hukum anak luar kawin. Efek domino dari penerapan asas pengakuan mutlak bagi seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan ia secara hukum tidak akan memiliki orang tua, baik ayah maupun ibu tanpa adanya pengakuan dari keduanya, dan bagi anak yang lahir dari perbuatan zina dan penodaan darah (sumbang) berdasarkan Pasal 272 dan 283 KUHPerdata kedudukan mereka tidak boleh disahkan dengan sebuah perkawinan maupun diakui oleh orang tuanya kecuali apa yang telah disebutkan dalam Pasal 273 KUHPerdata. Hak mewarisi bagi anak luar kawin dalam susut pandang hukum islam tidak mendapat hak nasab dari ayaahnya dan tidak memiliki akibat hukum keperdataan. Menurut KUHPerdata Anak Luar Kawin yaitu:
1. Anak yang lahir dari luar perkawinan yang sah.
2. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dengan hasil JR No.46/PUU-VII/2010
3. Akibatnya anak luar kawin yang belum mendapat pengakuan hanya mewarisi dari ibunya dan keluarga ibunya. (pasal 281 KUHPerdata), (Pasal 285 KUHPerdata)
Terkadang terdapat celah untuk menyelundupkan hukum, sehingga kepastian hukum ini sulit dicapai selama masih adanya ketidakseragaman dalam penerapannya. Pada hakikatnya pernikahan beda agama bukanlah pernikahan yang sah, dengan kata lain bisa dianggap tidak pernah ada pernikahan. Di sisi lain negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.
Hukum berfungsi mengatur kehidupan di masyarakat agar tentram aman damai dan setiap individu tidak saling mengganggu hak orang lain. Hukum juga sebagai sandaran atau ukuran tingkah laku atau kesamaan sikap yang harus ditaati oleh setiap orang atau masyarakat. Lebih jauh hukum berfungsi sebagai suatu sarana perekayasaan untuk mengubah masyarakat kearah yang lebih sempurna.
Akibat hukum terhadap anak yang dilahirkan akibar perbuatan zina yang diatur dalam syariat islam adalahnsi anak tidak punya hubungan keturunan nasab, waris, dan hak menjadi wali nikah. Pada hakikatnya pemerintah harus melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran. Terdapat layanan dari pemerintah untuk memberikan kemudahan mengakses akte kelahiran kepada anak hasil zina dan tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya sebagai anak yang lain.
Dalam rangka menyingkronisasi aturan terkait dengan hukum dan hak waris anak hasil pernikahan beda agama dapat diraih dengan adanya komitmen dalam penerapan hukumnya. Diantaranya dengan menjadikan zina sebagai delik umum bukan delik aduan sehingga timbul rasa segan dan adanya efek jera terhadap pelakunya. Tidak terkecuali pernikahan beda agama karena akan berdampak langsung terhadap anak yang dihasilkan dalam pernikahan tersebut. Dalam menengahi problematika hak kewarisan anak hasil perkawinan beda agama dengan adanya hukum yang berlaku di indonesai diantaranya ialah:


1. Bagi anak yang lahir dari pernikahan beda agama diperbolehkan dalam islam(pria muslim dengan wanita ahl al-kitab), menurut hukum islam maka tidak ada halangan untuk mendapatkan hak nasab, nafkah dan kewarisan islam dari ayahnya karena kedudukannya sebagai anak sah, namun jika anak tersebut mengikuti agama ibunya makai a tidak mendapatkan hak kewarisan tersebut karena adanya penghalang yaitu perbedaaan agama.


2. Bagi anak yang timbul dari hasil pernikahan beda agama yang dilarang dalam hukum islam dan hukum positif maka pernikahan yang tidak sah berakibat kedudukan hukum yang tidak sah pula pada anak tersebut atau dianggap tidak ada pernikahan diantara keduanya dan anak yang lahir berstatus anak zina.
Anak zina dan anak sumbang tidak diakui sebagaimana halnya anak luar kawin pasal 28 KUHPerdata juncto Pasal 273 KUHPerdata, kecuali mendapat dispensasi dari presiden setelah mendengar pertimbangan dari mahkamah agung. Anak zina dan anak sumbang tidak berhak mewarisi dari ayahnya, mereka hanya berhak atas pemberian nafkahnya saja (pasal 867 KUHPerdata).
Hak mendapatkan wasiat wajibah bagi anak luar kawin pada umumnya baik menurut KUHPerdata maupun hukum islam pewaris berhak membuat wasiat kepada siapapun yang ia kehendaki. Menurut hukum islam bahwa wasiat itu dibatasi hanya maksimal 1/3 dari seluruh harta peninggalan. Dalam persoalan hak dapat kita juga dapat melihat pada Pasal 863 KUHPerdata tentang hak bagian waris anak luar kawin yang diakui.
Dari ketentuan mengenai perlindungan hak anak luar kawin dapat menjadi salah satu gambaran kedudukan hukum islam dalam ketatanegaraan Indonesia yang bukan hanya sebagai sumber persuasive namun telah menjadi sumber otoritatif yaitu sumber yang mempunyai kekuatan. Sehingga setiap aturan atau hukum adat maupun hukum barat di Indonesia tidak boleh bertentangan dgn hukum islam. Terdapat teori yang menjadikan bentuk eksistensi hukum islam dalam hukum nasional ialah;
1. ada, dalam arti hukum islam berada dalam hukum nasional sebagai bagian yang integral darinya.
2. ada, dalam arti adanya kemandirian yang diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional
3. ada dalam hukum nasional, dalam arti norma hukum islam berfungsi sebagai penyaring bahan hukum nasional Indonesia.
4. ada dalam hukum nasional, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Berdasarkan penjelasan tersebut dpat disimpulkan bahwa keberadaan hukum islam dalam tatanan hukum Indonesia, merupakan bahan utama atau unsur utama hukum nasional.  

KESIMPULAN
Buku ini sebagai penambah ilmu pengetahuan kita mengenai bagai mana kedudukan anak yang berasal dari pernikahan beda agama, yang mana terdapat dalil dan hadist dijelaskan untuk pandangan dari hukum islam serta dicantumkan juga undang undang agar pembaca mengetahui dari sisi hukum positif pun juga diatur mengenai hal ini. Penyajian yang baik serta jelas diberikan oleh penulis terhadap buku ini. Daftar Pustaka yang dicantumkan dalam buku ini adalah sumber sumber terpercaya yang dicantumkan oleh penulis agar dapat menjadi acuan para pembaca untuk menelaah lebih lanjut mengenai hal ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun