Ia terbangun dari fase tak sadarkan dirinya. Lalu ia mencoba membuka matanya, kemudian melihat ke sekelilingnya. Ia dapati dirinya sedang terduduk di atas sofa yang empuk, yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Seperti duduk di atas kapas, gumamnya dalam hati. Lantas Ia berkata, "Ah, syukurlah. Kukira aku sudah mati".
Akan tetapi, Ia tak tahu tempat ini. Ia tak mengenalinya, tempat ini begitu asing baginya. Semuanya serba putih, mulai dari lantai, dinding, hingga langit-langitnya. Ruangan ini begitu luas, namun terasa amat sempit.
Hanya ada sebuah meja kecil tanpa laci dan sofa yang Ia duduki. Di lengan kirinya terkalung sebuah gelang penanda berwarna merah marun bertuliskan "Somatic Death". Tak ada jendela, tak ada jalan keluar. Sepanjang yang Ia lihat, hanya ruangan besar berwarna putih, tidak ada warna lain di sana. Hanya sofa dan meja kecil tadi yang berwarna coklat agak keemasan.
Kemudian, sosok putih berperawakan tinggi dan besar datang menghampirinya. Tak ada identitas, tak ada tanda pengenal, hanya berjubah putih. Wajahnya tak dapat terlihat dengan jelas, seakan ada cahaya yang menutupinya. Ribuan tanya masuk ke dalam kepalanya, Ia bertanya-tanya tentang sosok putih yang ada di hadapannya. Sama seperti ruangan ini, Ia tak mengenali siapa yang berdiri tepat di depannya.
"Akhirnya Kau bangun juga"
ucap sosok tadi tanpa basa-basi dan memperkenalkan diri
"Di mana aku? Tempat apa ini? Di mana pintu keluarnya?"
Ia bertanya kepada sosok yang berdiri di hadapannya.
"Kau tak perlu tahu", jawabnya singkat. Â
"Siapa dirimu?", tanyanya kembali.
"Kau tak perlu tahu", jawabnya kembali.
"Apa maumu?", tanyanya kembali kepada sosok putih itu. Â
"Aku hanya ditugaskan menemanimu, sampai keputusan tentangmu diumumkan".
Kali ini, jawabannya agak panjang.
"Keputusan? Keputusan apa? Apa salahku? Aku ingin segera pulang, banyak yang harus kukerjakan!"
Bentaknya pada sosok putih tadi.
Tanpa menghiraukannya, sosok putih tadi kemudian menjentikkan jari, memadamkan lampu ruangan tersebut. Kemudian memutar sofa yang Ia duduki, lalu menunjuk ke arah dinding di depan mereka, lantas sebuah hologram raksasa bak layar tancap muncul di hadapan mereka. Layar itu terbagi menjadi tiga. Di sebelah kiri, menampilkan foto dan identitas dirinya. Lengkap mulai dari nama, usia, tanggal lahir, hingga riwayat hidupnya.
 Layar di sebelah kanan, bertindak layaknya bedside monitor di ruang ICU, menampilkan parameter tanda-tanda vitalnya seperti detak jantung, tekanan darah, saturasi oksigen, dan laju pernapasan. Sedangkan, layar utama di hadapannya yang berukuran sedikit lebih besar dari dua layar di sampingnya, memutar video beresolusi tinggi, layaknya layar bioskop ternama di kota.
"Lihat ke sana" Ucapnya tegas.
"Siapa itu?" tanyanya pada sosok putih itu.
"Itu dirimu saat ini. Saat sedang berjalan pulang, Kau terjatuh di trotoar, tak jauh dari kantor pos, di seberang toko buku langgananmu", jawab sosok tadi.
"Aku? Lalu mengapa aku di sini?Apa yang sebenarnya terjadi? Ia kembali bertanya dengan nada suara meninggi dan sedikit panik.
"Saat ini, Kau sedang berada di ruang tunggu. Tetapi bukan hanya dirimu, aku pun sedang menunggu ke mana Kau akan pergi setelah ini" balasnya.
"Aku... aku masih belum mengerti" jawabnya keheranan.
"Tak apa. Tidak ada yang menyuruhmu memahami semua ini, sekarang Kau hanya tinggal duduk manis, menonton mereka yang sedang bergelut mengubah takdir". Sosok tadi berusaha menenangkannya yang masih panik dan kebingungan.
"Saat ini, Kau sedang tak sadarkan diri. Lihat di sana, seorang kakek tua penjaga toko buku di seberang sana melihatmu terjatuh tiba-tiba. Lantas ia menelepon ambulans dan meminta bantuan. Hampir saja aku yang datang mengantarmu pulang, tetapi takdir-Nya berkata lain. Ia memberimu tambahan waktu, hingga akhirnya Kau singgah di sini" Jawabnya.
"Lalu, gelang apa ini? Apa arti tulisan ini?" tanyanya kembali sembari menunjuk gelang di tangan kirinya.
"Itu gelang penanda. Semua yang berada di ruang tunggu mendapatkannya dengan warna yang berbeda. Somatic death (kematian somatis) artinya tidak ditemukan lagi tanda-tanda vital seperti napas dan detak jantung pada dirimu. Jika mereka mampu dengan tepat dan cepat mengembalikan tanda-tanda vitalmu, maka dirimu akan selamat sebelum sampai ke rumah sakit. Tetapi jika tidak, warna gelangmu akan berubah menghitam, dan tulisannya akan berubah menjadi biological death (mati biologis), dan Kau takkan pernah bisa kembali. Dalam setengah jam, tubuhmu akan berwarna merah kebiruan, yang disebut lebam mayat (livor mortis), dan setelah dua jam, suhu tubuhmu menurun (algor mortis), lalu dirimu akan kaku dan mengeras, yang disebut dengan kaku mayat (rigor mortis)", jelasnya panjang lebar.
Setelah mendengar hal tersebut, Ia merebahkan tubuhnya ke sofa, menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Ia lelah, serasa habis diberi perkuliahan tanatologi. Â Tubuhnya melemas, Ia tak lagi ngotot ingin pulang. Kali ini, Ia pasrah menyaksikan apa yang akan terjadi lewat layar di hadapannya.
"Tunggulah di sini dahulu. Aku akan kembali" ucap sosok tadi.
Belum sempat dibalas, sosok tersebut telah menghilang entah kemana, meninggalkannya sendiri di ruangan yang gelap dengan layar hologram tadi. Â
Ia menyaksikan dengan saksama, bagaimana kerasnya perjuangan tim medis bergelut melawan takdir. Di tengah nyaringnya bunyi sirine ambulans dan huru-hara jalan raya, di tengah waktu yang kian menipis dan tekanan yang begitu besar, mereka melakukan berbagai upaya agar Ia tersadar kembali. Namun, setelah berbagai upaya dilakukan, nampaknya masih belum membuahkan hasil yang signifikan. Ia berakhir di dalam ruang IGD.
Ia mulai menyadari, bahwa Ia akan takkan pulang ke rumah, tapi pulang ke tempat asalnya, kepada pencipta-Nya. Gelang di tangan kirinya perlahan mulai berubah menjadi kehitaman, tulisan "somatic death" perlahan mulai pudar, dan tulisan "biological death" mulai tampak samar. Tetapi secara tiba-tiba, gelang tadi seakan berhenti.
 Perubahan warnanya tidak jelas, tulisannya hilang, dan layar monitor di depannya juga ikut terhenti, seperti terjadi error pada ketiganya. Ia semakin kebingungan. Tak ada waktu lagi untuk mempertanyakan segalanya. Ia tidak peduli lagi dengan segala jawaban yang diberikan sosok putih tadi, di bayangannya hanya ada satu: Ia akan benar-benar mati.
Saat Ia mulai menerima takdirnya, tampilan ketiga monitor di hadapannya berubah. Hologram monitor tersebut tak lagi menampilkan data diri, tanda-tanda vital, atau bahkan menampilkan dirinya yang sedang terbaring di ruang IGD.
 Tetapi, apa yang terjadi setelahnya, membuatnya tertegun. Monitor memunculkan wajah orang-orang yang Ia kenal. Mulai dari istrinya, kedua anak perempuannya, kakek tua penjaga toko buku langganannya, petugas pos yang selalu Ia temui di jalan, Ibu-ibu penjaja kue basah di pasar, hingga kedua orang yang sangat Ia sayang, yaitu Ayah dan Ibunya.
Layar monitor hologram mulai memutar video kebaikan yang pernah Ia lakukan. Senyumnya pada para penyapu Taman Kota, lambaian tangannya pada para pekerja perbaikan jalan raya, hingga uang sepuluh ribu rupiah yang Ia pinjamkan pada seorang pengemis yang kelaparan. Rupanya, ketika mendengar kabar Ia terjatuh di jalan, orang-orang inilah yang dengan tulus mendoakannya.Â
Mereka tak dapat membantu secara materi, mereka tak menyumbang uang, tak pula memberi dukungan fisik, yang dapat mereka lakukan hanya mendoakannya. Kini, mereka berkumpul di depan ruang IGD, memeluk erat kedua putrinya, dan mengusap tangis air mata istrinya. Mereka semua saling mendekap, menguatkan, dan berharap keajaiban terjadi. "Tidak ada yang berhak meragukan keajaiban Tuhan", ucap salah seorang di antara mereka.
Ia tertegun. Terdiam, mematung, membisu. Orang-orang yang selama ini Ia anggap biasa saja, kebaikan kecil yang selama ini Ia remehkan, ternyata tidak ada yang sia-sia. Ia tidak tahu, dari mulut siapa doa itu terkabul dan keajaiban itu muncul. Ia hanya bisa pasrah, menyerahkan segalanya pada Tuhan. Beberapa saat kemudian, sebuah alarm berbunyi. Lampu indikatornya berwarna hijau terang. "ting.. ting.. ting..". Itu bukanlah lonceng kematian, tapi merupakan 'lonceng kehidupan'. Sosok putih tadi kembali muncul, tetapi tidak di hadapannya, ia berbicara melalui layar monitor.
"Setelah ini, Kau akan dikirim kembali ke realitas dunia. Tangis dan doa-doa tulus dari mereka yang menyebabkan warna gelangmu tidak jadi berubah. Lirih doa yang mereka panjatkan mengintervensi frekuensi jaringan layar hologram ini. TTV-mu kembali, jarimu kembali bergerak, otot wajahmu kembali berkedut. Kau telah keluar dari fase ini, Kau akan sadarkan diri. Ketika Kau terbangun nanti, berjanjilah pada-Nya untuk lebih peduli kepada sekitar, jalani sisa kehidupan yang diberikan-Nya dengan baik. Sampai jumpa nanti, saat aku diperintahkan kembali bertemu denganmu, tapi tidak untuk menemanimu, melainkan untuk menjemputmu menghadap-Nya". Ucapnya dari balik layar.
Tak lama setelah itu, layar hologram tadi menghilang, lampu ruangan tersebut kembali menyala, dan asap sejuk mulai mengepul memenuhi seisi ruangan. Tubuhnya semakin tertarik, terbaring di sofa, dan dalam hitungan detik, Ia sudah kembali ke realitas dunia. Kini, Ia tak lagi berada di IGD, juga bukan lagi berada di ruang ICU dengan ventilator untuk membantunya bernapas. Kini, Ia sudah berada di ruang HCU.
Ia melihat sekelilingnya, tak ada lagi ruangan putih dengan hologram, yang ada hanyalah kasur empuk, dengan berbagai peralatan medis di sampingnya. Ia memeriksa lengan kirinya, gelang merah-kehitamannya kini berubah warna menjadi biru. Tak hanya bertuliskan data diri dan informasi keadaannya, di sana juga tertulis, "Dum spiro spero, dum spero amo, dum amo vivo" (Selagi aku bernapas, aku berharap; selagi aku berharap, aku mencintai; selagi aku mencintai, aku hidup).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H