Perubahan warnanya tidak jelas, tulisannya hilang, dan layar monitor di depannya juga ikut terhenti, seperti terjadi error pada ketiganya. Ia semakin kebingungan. Tak ada waktu lagi untuk mempertanyakan segalanya. Ia tidak peduli lagi dengan segala jawaban yang diberikan sosok putih tadi, di bayangannya hanya ada satu: Ia akan benar-benar mati.
Saat Ia mulai menerima takdirnya, tampilan ketiga monitor di hadapannya berubah. Hologram monitor tersebut tak lagi menampilkan data diri, tanda-tanda vital, atau bahkan menampilkan dirinya yang sedang terbaring di ruang IGD.
 Tetapi, apa yang terjadi setelahnya, membuatnya tertegun. Monitor memunculkan wajah orang-orang yang Ia kenal. Mulai dari istrinya, kedua anak perempuannya, kakek tua penjaga toko buku langganannya, petugas pos yang selalu Ia temui di jalan, Ibu-ibu penjaja kue basah di pasar, hingga kedua orang yang sangat Ia sayang, yaitu Ayah dan Ibunya.
Layar monitor hologram mulai memutar video kebaikan yang pernah Ia lakukan. Senyumnya pada para penyapu Taman Kota, lambaian tangannya pada para pekerja perbaikan jalan raya, hingga uang sepuluh ribu rupiah yang Ia pinjamkan pada seorang pengemis yang kelaparan. Rupanya, ketika mendengar kabar Ia terjatuh di jalan, orang-orang inilah yang dengan tulus mendoakannya.Â
Mereka tak dapat membantu secara materi, mereka tak menyumbang uang, tak pula memberi dukungan fisik, yang dapat mereka lakukan hanya mendoakannya. Kini, mereka berkumpul di depan ruang IGD, memeluk erat kedua putrinya, dan mengusap tangis air mata istrinya. Mereka semua saling mendekap, menguatkan, dan berharap keajaiban terjadi. "Tidak ada yang berhak meragukan keajaiban Tuhan", ucap salah seorang di antara mereka.
Ia tertegun. Terdiam, mematung, membisu. Orang-orang yang selama ini Ia anggap biasa saja, kebaikan kecil yang selama ini Ia remehkan, ternyata tidak ada yang sia-sia. Ia tidak tahu, dari mulut siapa doa itu terkabul dan keajaiban itu muncul. Ia hanya bisa pasrah, menyerahkan segalanya pada Tuhan. Beberapa saat kemudian, sebuah alarm berbunyi. Lampu indikatornya berwarna hijau terang. "ting.. ting.. ting..". Itu bukanlah lonceng kematian, tapi merupakan 'lonceng kehidupan'. Sosok putih tadi kembali muncul, tetapi tidak di hadapannya, ia berbicara melalui layar monitor.
"Setelah ini, Kau akan dikirim kembali ke realitas dunia. Tangis dan doa-doa tulus dari mereka yang menyebabkan warna gelangmu tidak jadi berubah. Lirih doa yang mereka panjatkan mengintervensi frekuensi jaringan layar hologram ini. TTV-mu kembali, jarimu kembali bergerak, otot wajahmu kembali berkedut. Kau telah keluar dari fase ini, Kau akan sadarkan diri. Ketika Kau terbangun nanti, berjanjilah pada-Nya untuk lebih peduli kepada sekitar, jalani sisa kehidupan yang diberikan-Nya dengan baik. Sampai jumpa nanti, saat aku diperintahkan kembali bertemu denganmu, tapi tidak untuk menemanimu, melainkan untuk menjemputmu menghadap-Nya". Ucapnya dari balik layar.
Tak lama setelah itu, layar hologram tadi menghilang, lampu ruangan tersebut kembali menyala, dan asap sejuk mulai mengepul memenuhi seisi ruangan. Tubuhnya semakin tertarik, terbaring di sofa, dan dalam hitungan detik, Ia sudah kembali ke realitas dunia. Kini, Ia tak lagi berada di IGD, juga bukan lagi berada di ruang ICU dengan ventilator untuk membantunya bernapas. Kini, Ia sudah berada di ruang HCU.
Ia melihat sekelilingnya, tak ada lagi ruangan putih dengan hologram, yang ada hanyalah kasur empuk, dengan berbagai peralatan medis di sampingnya. Ia memeriksa lengan kirinya, gelang merah-kehitamannya kini berubah warna menjadi biru. Tak hanya bertuliskan data diri dan informasi keadaannya, di sana juga tertulis, "Dum spiro spero, dum spero amo, dum amo vivo" (Selagi aku bernapas, aku berharap; selagi aku berharap, aku mencintai; selagi aku mencintai, aku hidup).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H