Mohon tunggu...
Hadenn
Hadenn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Football and Others

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mengurai Benang Kusut dalam Tapera

5 Juni 2024   13:21 Diperbarui: 5 Juni 2024   13:21 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AP PHOTO/KHIN MAUNG WIN 

Beberapa hari lalu, kita semua sempat dihebohkan dengan wacana program iuran wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), satu kebijakan ditujukan untuk kalangan tertentu, tetapi begitu keras ditolak hingga dibicarakan oleh semua lapisan.

Sejujurnya, Tapera ini bisa dikatakan sebagai pengangkat salah satu problem terbandel dari generasi ini, kesulitan untuk mendapatkan hunian terjangkau. Benar, kalau kita mengamati hunian anak muda hari ini, mereka semakin menjauh dari tengah kota.

Karena itu, dibuat suatu keharusan untuk semua pekerja berpenghasilan minimum regional mengikuti iuran Tapera, di mana nanti dari simpanan wajib tersebut akan dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).

Program ini sangat mirip dengan milik Singapura, Central Provident Fund (CPF) di mana setiap pekerja dengan penghasilan lebih dari 50 dolar Singapura wajib berpartisipasi. Bisa dikatakan hampir semua warga mengikuti iuran CPF. 

Singkatnya, dari hasil urunan tersebut, kini lebih dari 90 % warga memiliki hunian, dan harga rumah di sana jauh lebih stabil. Bukan cuma untuk hunian, urun dana ini juga bisa dicairkan sebagai asuransi kesehatan dan dana pensiun, sangat sarat akan manfaat. 

Benar, di atas kertas tidak ada masalah terhadap kebijakan satu ini, lantas mengapa kebijakan ini heboh, terlihat sangat mustahil untuk diaplikasikan di negeri ini. 

Tentu, terdapat beberapa perbedaan signifikan antara Indonesia dan Singapura yang sulit dijelaskan dengan tulisan, tetapi di lain sisi terdapat juga masalah jernih yang berasal dari negeri kita sendiri, di sini kita akan coba mengupas tuntas beberapa masalah ini. 

Rumah sebagai investasi properti

Problem pertama hari ini adalah rumah seringkali dipandang sebagai investasi properti, ketimbang kebutuhan utama, terlebih untuk orang-orang yang mampu membeli rumah. Benar, mereka membeli rumah bukan karena butuh, tetapi karena ekspektasi harga rumah semakin tinggi.

Benar, harga rumah hari ini bisa dibilang lebih bergantung pada selera perusahaan konstruksi daripada kemampuan beli warga.

Isu ini semakin menjadi karena keabsenan pemerintah dalam menjaga harga rumah, kebijakan dikerjakan hari ini kerap mementingkan permintaan, bukan penggenjotan suplai rumah di pasaran. 

Sebagai kebutuhan utama, seharusnya rumah terdapat intervensi dari pemerintah, mengingat masalah ini juga menyangkut kepentingan orang banyak. Sama dengan BBM, air, listrik, setiap warga berhak mendapatkan rumah.

Oleh karena itu, sudah menjadi satu hal signifikan untuk pemerintah menjaga harga perumahan, jangan biarkan orang-orang makin terpinggirkan dari pusat kegiatan ekonomi, sebab cepat atau lambat menimbulkan masalah baru, kemacetan. 

Peraturan kontrak atau sewa

Hari ini, kita sebagai pengontrak tidak memiliki satu hak atas bangunan atau ruang yang sudah dikontrak. Sebagai contoh seumpama pemilik bangunan berniat menaikkan harga kontrak, maka bisa dikerjakan pada detik itu juga, sesuai keinginan mereka. 

Benar, sebagai pengontrak tidak satu hal bisa dilakukan selain menerima. 

Hal ini berbeda dengan kondisi di New York, di mana tuan rumah tidak bisa menaikkan harga sewa semena-menah, terdapat semacam aturan perhitungan yang harus dikerjakan untuk menentukan harga adil kedua belah pihak. 

Selain itu, pemilik juga tidak bisa mengusir pengontrak rumah, mereka harus tetap tinggal selama pengontrak belum menemukan ganti rumah.

Di lain sisi, problem ini bukan cuma dialami kontrak rumah, tetapi juga di apartemen. Sudah tak terhitung kisah penyewa apartemen dijadikan sebagai "sapi perah" pengembang. Mereka selalu saja ditagih aneh-aneh terkait iuran bersama, atau beberapa hal lain di luar harga perawatan. 

Dari sini kita semua tahu, dari pinggiran hingga tengah kota selalu terdapat problem angkut terkait kontrak hunian. Permasalahan antara pengontrak dengan pemilik bangunan selalu sulit dihindari, pemerintah mungkin bukan solusi, tetapi jelas bisa mengurai problem ini.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO 
KOMPAS/HERU SRI KUMORO 

Detail perjanjian Tapera

Kita semua tahu setiap kesepakatan akan selalu lebih mudah tercapai selama detail diinginkan terpenuhi, di sini masalah berat dialami Tapera dalam melanggeng di tengah kehidupan berbangsa, terdapat sejumlah detail kurang memuaskan terkandung di sana.

Sebagai contoh potongan tiga persen untuk setiap pekerja, meskipun cuma tiga persen, tetapi potongan ini tetap perlu mempertimbangkan, mengingat kebutuhan setiap pekerja sangat berbeda-beda, terutama mereka golongan di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

Selain itu, seumpama dihitung secara matematika, potongan tiga persen terhadap gaji 8 juta per bulan, cuma terkumpul 2,88 juta per tahan, setelah 20 tahun dana terkumpul tak lebih dari 57 juta. Dengan kata lain, dari mana kita mendapatkan rumah 57 juta?

Benar, niatan membantu dalam membeli rumah memang baik, tetapi juga harus diiringi dengan di mana dan seperti apa bentuk hunian tersebut.

Terlepas dari semua, Program kewajiban menabung ini tak bisa dipungkiri akan rentan menjadi sarang korupsi, sama seperti kasus Jiwasraya, Taspen, dan Asabri. Meskipun, tuduhan semacam ini tidak berdasar, tetapi ketakutan masyarakat sangat terang dan bisa dipahami. 

Secara keseluruhan, niatan Tapera harus diapresiasi, meskipun empat tahun belakangan belum bisa terealisasi. Bagaimanapun, penolakan kali ini bisa dijadikan sebagai pelajaran berharga, boleh jadi setelah ini akan ada ide lain jauh lebih memuaskan, dan harus diingat ide tersebut lahir tak lepas dari Tapera. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun