Bagaimana kita tahu Tuhan ada?
Pertanyaan seperti ini tak bisa dihindari ikut masuk ke dalam keilmuan filosofi dari segi religi, meski kadang sering juga disamakan dengan kajian teologi, yang mana cukup wajar karena kedua keilmuan mengambil Tuhan dan Agama sebagai subjek.
Namun, teologi memulai dengan berasumsi Tuhan sudah ada, lalu mencari tahu Tuhan yang mana yang akan diikuti, atau teologi sering kali mencoba untuk menyelesaikan masalah filosofi yang melonjak dari pertanyaan keberadaan Tuhan.
Atheism bukan sebuah pilihan, ini merupakan pembeda dari keilmuan filsafat dengan teologi. Filsuf tidak mengambil sesuatu sebagai pemberian, termasuk akidah dalam beragama. Semua hal harus berada di sana, dan semua butuh untuk dibicarakan. Tidak ada batas sakral di sini, semua harus diuji, yang berarti mengimani saja tak akan pernah cukup.
Sekilas tentang abad XI, di mana Anselm dari Canterbury berargumen tentang keberadaan tuhan, datang dengan teori deduktif, yang kemudian kita kenal sebagai argumen ontologis. Dan, kalau pada masa itu ada jejaring sosial para filsuf Kristen, tak bisa dipungkiri akan viral si Anselm ini.
Berkontra dengan Anselm
Hampir 200 tahun setelah era Anselm, seorang teologi dan filsuf Thomas Aquinas dari Italia mengambil sikap oposisi terhadap argumen Anselm. Aquinas meyakini keberadaan Tuhan, tetapi sebagai seorang filsuf Aquinas merasa penting untuk menguji sebuah keyakinan dan pengujian yang dilakukan Anselm tidak cukup.
Aquinas perlu untuk datang dengan sesuatu yang lebih baik.Â
Dari sini dia menyusun lima argumen untuk membuktikan keberadaan tuhan, sekali dan untuk semua. Empat argumen pertama dikenal sebagai argumen cosmological, di mana mencari pembuktian melalui fakta-fakta penting tentang alam semesta. Di sini kita akan membahas empat argumen ini lebih terang, tak lupa juga memperhatikan kelemahan argumen.
Argumen pertama dari cosmological argument disebut sebagai argumen dari gerakan. Aquinas mengamati (kita) selama ini hidup dalam dunia yang bergerak, juga mengamati setiap gerakan diakibatkan oleh penggerak. Dengan logika ini, berarti harus ada sesuatu yang bergerak untuk pertama kali.
Kalau tidak seperti ini, kita semua akan macet dalam dilema filsafat sebagai kemunduran tanpa batas. Kemunduran tanpa batas bisa terjadi ketika rantai penalaran bergantung dengan keberadaan sesuatu sebelum ini, yang mana akan bergantung juga kepada sesuatu yang lebih jauh lagi, terus seperti ini tanpa titik permulaan.
Sederhananya, Aquinas berpikir bahwa kemunduran tanpa batas tidak masuk akal, secara logika tidak mungkin terjadi. Sebab, di sini menyiratkan semua hal dimulai dari ketidak-adaan atau bisa dibilang tidak pernah dimulai. Dari sini pasti ada masa di mana tidak ada sesuatu yang bisa bergerak, lalu pasti ada makhluk statis yang memulai pergerakan--makhluk ini bagi Aquinas adalah Tuhan--the Unmoved Mover.
Objek yang bergerak merupakan segala yang digerakkan oleh sesuatu yang lain. Tak akan mungkin ada suatu regresi tak hingga dari penggerak. Jadi, akan selalu ada penggerak pertama yang tidak digerakkan, dan itulah Tuhan.
Argumen kedua dari cosmological argument ini disebut sebagai argumen dari sebab, terdengar mirip dengan argumen pertama. Namun, dibandingkan dengan membahas tentang gerak dari objek, argumen ini membahas tentang sebab dan akibat dari alam semesta.
Beberapa hal pasti disebabkan hal lain, tidak mungkin bisa ada suatu regresi tak hingga dari penyebab. Jadi, akan selalu ada penyebab pertama, yang tidak disebabkan atau dipengaruhi oleh apa pun, dan itulah Tuhan.
Sama seperti argumen dari gerakan, poin yang diambil di sini cukup mudah, efek memiliki sebab. Kembali lagi, kalau dipikirkan bagaimana kita semua berakhir membaca artikel ini, bisa dicari garis penyebab, satu momen menuju momen lain, akan sangat jauh, tetapi tidak akan bisa berjalan selamanya. Selalu ada sesuatu yang memulai rantai sebab dan akibat.
Argumen ketiga dari cosmological argument ini disebut sebagai argumen dari ketidakpastian. Dari filosofi, kita kadang membedakan antara hal penting dan hal tidak pasti, suatu hal tidak pasti bisa juga berarti tidak ada.Â
Semua hal ini termasuk kita, memang benar kita ada, tetapi bisa jadi kita tak ada. Dunia akan tetap berjalan, meski tanpa kita dilahirkan, dan benar beberapa hal akan berbeda, tetapi kembali lagi kehidupan akan tetap berjalan. Keberadaan kita merupakan ketidakpastian cuma-cuma dari  berbagai keberadaan hal lain di dunia.
Kita semua berada di sini, membaca artikel ini cuma karena sperma tertentu bertemu dengan telur dan bertukar beberapa informasi genetik. Namun, apa hubungan ini dengan Tuhan? Kembali lagi, Aquinas mempercayai pasti ada sesuatu yang mencegah regresi tak terbatas dari ketidakpastian, selalu ada satu makhluk yang paling pasti--itulah Tuhan.
Argumen keempat dari cosmological argument ini disebut sebagai argumen dari ukuran. Benar, kita semua mengetahui tentang baik/buruk, besar/kecil, panas/dingin. Lalu, ketika kita di meja perpustakaan melihat cicak di dinding, kecil. Namun, kalau kita melihat nyamuk dengan ukuran sama seperti cicak, BESAR.
Bagaimana kita memahami semua ini? Karena kita menggali ukuran sesuatu dengan suatu yang lain. Ide yang sama diterapkan dalam konsep yang lebih abstrak, seperti nilai ujian. Bagaimana kita tahu A merupakan nilai yang baik? Karena sudah tertulis jelas dalam indeks nilai, teratas di antara nilai lain dalam tabel.
Kemudian, Aquinas berpikir tentang semua konsep nilai ini yang melayang secara acak di angkasa tanpa sebuah jangkar--sesuatu harus bisa memberikan nilai dari semua yang ada, dengan menjadi sempurna di antara yang lain--kembali lagi seperti itulah Tuhan.
Bagaimanapun, ingat ini cuma langkah pertama. Selanjutnya, dan sama penting dengan langkah dari filosofi adalah kritik evaluasi. Sebagai filsuf, kalau ada suatu celah di mana argumen kita bercelah, sudah menjadi keharusan untuk kembali mencoba dan menggali kembali mengapa.Â
Harus dikatakan satu hal, semua argumen sudah disebutkan tidak terlihat membangun keberadaan Tuhan, bahkan ketika semua argumen benar.Â
Dari sana tidak terlihat Aquinas mencoba menyentuh kita secara personal--menggambarkan Tuhan maha Pengasih yang banyak disembah, justru beliau meninggalkan kita dengan konsep penggerak--bergerak, penyebab---sebab, yang mana konsep ini terlalu jauh dari Tuhan dalam tradisi Ibrahim, Ishaq, dan Yakub.Â
Tuhan yang merasakan emosi, memedulikan hamba, dan menjawab doa.
Secara sederhana, pembenaran Aquinas dianggap terlalu jauh dari Tuhan yang sebenarnya dipercayai oleh para teish, sehingga semua argumen ini tidak membantu dari segi apapun. Namun, bagaimana dengan politeisme, kepercayaan akan banyak Tuhan? Karena Aquinas tidak menghapus kemungkinan tentang politeisme.
Semua pengamatan seperti ini tak terbantahkan membuat beberapa filsuf merasa tak nyaman dengan kesimpulan akhir Aquinas. Namun, ada dua celah dari argumen milik Aquinas, seperti manusia biasa beliau tak bisa menghindari salah.
Harus dikatakan Aquinas salah tentang keyakinan bahwa tidak boleh ada regresi tak hingga untuk apa pun. Dengan menganggap setiap objek bergerak, atau sebab dan akibat memiliki titik awal dari semua atau makhluk kontingen yang diciptakan. Namun, masih tidak jelas apakah ini semua benar atau salah, atau mengapa harus benar.
Seumpama regresi tak hingga dapat terjadi, maka dua argumen pertama akan runtuh.
Dari sini dengan berat hati harus kita cukupkan, pasti melelahkan bukan membahas sesuatu yang tak bisa dijangkau. Meski demikian, kita harus ingat, bisa menerima kesimpulan, tetapi menolak sebuah argumen. Jadi, kalian boleh setuju dengan keberadaan Tuhan, tetapi bisa berpikir semua argumen di dalam sana tidak membuktikan apapun.Â
Terpenting dari semua, ketika kalian tidak setuju dengan suatu argumen, kalian tidak bisa cuma mengatakan "yah, kamu salah".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI