Bagaimana kita tahu Tuhan ada?
Pertanyaan seperti ini tak bisa dihindari ikut masuk ke dalam keilmuan filosofi dari segi religi, meski kadang sering juga disamakan dengan kajian teologi, yang mana cukup wajar karena kedua keilmuan mengambil Tuhan dan Agama sebagai subjek.
Namun, teologi memulai dengan berasumsi Tuhan sudah ada, lalu mencari tahu Tuhan yang mana yang akan diikuti, atau teologi sering kali mencoba untuk menyelesaikan masalah filosofi yang melonjak dari pertanyaan keberadaan Tuhan.
Ateisme bukan sebuah pilihan, ini merupakan pembeda dari keilmuan filsafat dengan teologi. Filsuf tidak mengambil sesuatu sebagai pemberian, termasuk akidah dalam beragama. Semua hal harus berada di sana, dan semua butuh untuk dibicarakan. Tidak ada batas sakral di sini, semua harus diuji, yang berarti mengimani saja tak akan pernah cukup.
Filosofi religi
Hitler tak pernah meninggal, ia masih riang jalan kaki di Jombang.Â
Kita semua mempercayai kebenaran akan hal ini, lalu kenapa? Kepercayaan merupakan cara penggambaran yang tak bisa diterima, begitu juga menurut pandangan filsafat, kepercayaan seperti ini dianggap tak bernilai.Â
Dari sini bisa ditarik bahwa filosofi tentang agama bukan mempercayai apapun orang tuamu ajarkan dari kecil. Bagaimanapun, ajaran ini tidak membuktikan apapun tentang kebenaran dari kepercayaan beragama. Karena, kalau semua yang diajarkan oleh orang tua merupakan kebenaran, maka setiap agama dan tanpa agama bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Jadi, bagaimana kita semua dibesarkan memberikan alasan untuk memegang suatu kepercayaan, tetapi tidak berkorelasi dengan kebenaran.Â
Filosofi tentang religi juga bukan belajar tentang Al-Quran Bible, atau kitab keagamaan lain. Kita tak bisa menggunakan sesuatu yang tertulis dari kitab untuk membuktikan kebenaran kitab, mencari bukti dari luar buku merupakan suatu keharusan di sini.Â
Selain itu, keilmuan ini juga bukan tentang antropologi religi, sosiologi religi, atau pemahaman psikologi terhadap alasan kita untuk mempercayai suatu aliran. Semua ini bisa dipelajari di luar, tetapi tidak dalam filosofi tentang religi.
Di sini kita akan membahas tentang argumen yang mendukung keberadaan Tuhan. Dan, semua ini dimulai dari abad XI oleh Anselm, filsuf dari Perancis yang mampu berargumen tentang keberadaan Tuhan. Dia menawarkan argumen deduktif terhadap keberadaan Tuhan berdasarkan semua pemahaman tentang sifat alami, juga definisi dari Tuhan itu sendiri.
Menurut Anselm, Tuhan merupakan semua hal yang sudah kita bayangkan, memiliki semua sifat alami seperti yang kita tahu, tetapi akan selalu lebih baik dari ini semua. Jadi, Tuhan merupakan semua hal terbaik yang pernah kita bayangkan, tetapi bahkan dari bayangan kita ini tak akan bisa lebih baik dibandingkan dengan Tuhan yang sesungguhnya.
Dari sini kita bisa memikirkan sesuatu seperti rumah dinas atau kuda putih, dua hal yang bisa digambarkan dalam pikiran, tetapi juga nyata. Benar juga, kalau semua hal ini jauh lebih baik terlihat di realitas dibandingkan dengan dalam pikiran kita.
Maksudku, rumah dinas? Bukankah memiliki rumah dinas merupakan sesuatu yang luar biasa, tetapi juga tak bisa dipungkiri akan jauh lebih baik kalau memiliki rumah dinas secara nyata, bukan cuma dalam pikiran kita. Oleh karena itu, Tuhan bisa dipastikan terbukti ada--baik dalam imajinasi atau realitas.
Meski demikian, salah satu filsuf bernama Gaunilo tak puas dengan hal ini, dia berargumen bahwa teori ini terlalu bisa untuk membuat garis penalaran sama tentang bukti keberadaan dari semua hal yang bisa kita bayangkan. Dia membuat argumen yang sama dengan Anselm untuk membuktikan keberadaan pulau mistis yang hilang.
Pulau terbaik yang bisa kubayangkan merupakan pulau di mana bisa direnangi dan menenangkan tepat di area tropis dan semua langit ditutupi oleh awan pegunungan. Saya bisa menggambarkan semua dalam pikiran, semua ini harus ada. Jika tidak ada, ini bukan pulau terbaik--di sana pasti ada satu pulau lebih baik dan harus nyata.Â
Sederhananya, Gaunilo berargumen bahwa kita selalu bisa menggambarkan semua hal yang kita inginkan--tetapi tak akan membuat semua ini nyata.
Argumen ini dibalas langsung oleh Anselm, bahwa Gaunilo salah tangkap dengan argumen yang sudah dibuat, argumen ini hanya akan bekerja untuk sesuatu yang penting, yang mana cuma ada satu hal diperlukan--Tuhan. Yah! ini merupakan salah satu contoh dari cacat penalaran atau kesesatan, sesuatu yang melemahkan atau menghancurkan argumen.
Dengan menambahkan sebuah konsep "satu hal diperlukan" ke dalam definisi Tuhan, Anselm membuat keberadaan Tuhan menjadi bagian dari definisi Tuhan. Dari sini pembaca bisa menilai sendiri maksud semua ini.
Perkembangan filosofi religi
Salah satu pembenaran muncul ratusan tahun setelah era Anselm, abad XVIII oleh Immanuel Kant, seorang filsuf dari Jerman. Kant menawarkan sebuah pemikiran di mana "keberadaan bukan sebuah predikat."
Bisa dikatakan bahwa sebuah eksistensi bukan merupakan karakteristik dari sebuah objek.
Misal, kalau segitiga ada, harus memiliki tiga sisi. Namun, bisa juga tidak ada segitiga sama sekali, karena ide eksistensi sebuah segitiga bukan bagian dari deskripsi segitiga. Demikian juga, Kant bisa berargumen, kalau Tuhan ada, pasti makhluk terbaik yang bisa dibayangkan, tetapi kalau tidak, berarti bisa dibilang memang tidak ada.
Predikat menambahkan esensi terhadap suatu subjek, tetapi tidak bisa digunakan untuk membuktikan keberadaan.Â
Beberapa tahun kemudian, John Wisdom, filsuf dari Inggris datang dengan ide menarik tentang argumentasi ontologi, ide ini dikenal sebagai The Parable of The Invisible Gardener.
Orang I dan Orang II kembali mengunjungi kebun setelah sekian lama, lalu menyadari beberapa tanaman tumbuh subur dan cerah. Orang I mengatakan, "tukang kebun pasti merawat kebun ketika mereka pergi." Orang II meragukan, lalu mereka setuju untuk menunggu tukang kebun.
Beberapa jam berlalu, tidak ada siapa-siapa, Orang I mengatakan, "tukang kebun pasti tak terlihat". Jadi, mereka memasang jebakan dan membawa anjing pelacak untuk menangkap tukang kebun. Namun, masih tidak ada tukang kebun ditemukan di sana.
Lalu, orang I mengatakan  "tukang kebun pasti tak berwujud dan tak berbau". Dari sana orang II membalas "apa bedanya antara tukang kebun tak terlihat, tak berwujud, dan tak berbau dengan tidak ada tukang kebun sama sekali". Bisakah kalian menebak siapa tukang kebun dari cerita ini?
Poin penting harus dicatat di sini adalah kedua orang, baik Gaunilo atau Kant setuju dengan kesimpulan dari Anselm--mereka mempercayai keberadaan Tuhan. Mereka cuma berpikir bahwa argumen dari Anselm tidak membuktikan. Ingat, kalian semua bisa memikirkan argumen gagal, bahkan ketika menerima kesimpulan dari argumen tersebut.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI