Warrior's Path 4.
Aku Amara.angin berdesir cepat di lantai 7, lantai puncak pagoda yang bisa di capai, aku menatap setengah terpejam pada Kiato yang masih berteriak-teriak bangga ditepi balkon. Di bawah, sensei dan Kerlin memandang kami diatas, sedang Denki berjalan dengan kepala tertunduk kedalam pagoda.
Kulihat sensei tersenyum di balik topengnya, kemudian kembali sibuk dengan obrolannya dengan Kerlin, mereka terlihat akrab, seolah kenal lebih dari kemarin lusa. Mungkin karena itulah Denki terdiam beberapa saat sebelum sensei memanggilnya.
Kiato terdiam di ujung balkon, terhipnotis oleh embusan angin yang melenakan dan kumpulan pegunungan Bakhil yang memesona.
Matanya mengambang jauh sebelum akhirnya jatuh ke Shijiki, kota berbentuk persegi delapan tampak sibuk dalam ingar binger tahun baru.
Puluhan kembang api dipersiapkan, ampion-lampion dirakit indah, dan tali temali berhiaskan paying diikatkan di tiap-tiap atap rumah penduduk, manisan dan makanan khas ikut dimasak dengan semangat.
Angin kembali berembus, aku tersentak, mendapati diri terus memandangi Kiato setengah terpesona. Aku erapikan anak rambut di dahi, lalu membalikkan badan kesisi lain pagoda, arah barat. Matahari mulai bergeser kesisi kiri menciptakan bayangan dan menyembunyikan sosokku.
Aku melihat kebawah, aman. Kakiku memijak genting tanah liat dengan perlahan, sepanjang pagi embung turun lebih sedikit dan mengering lebih cepat, membuat permukaannya kesat dan mudah di panjat.
Aku melompat ke lantai enam. Dua hentakan kebawah dengan aman, punggungku merapat kesisi pagoda mengtur posisi agar lebih mudah turun di hentakan selanjutnya. Menegok keatas untuk memastikan Kiato tidak menyadari keberadaanku, mungkin yang dikatakannya tentang anggun tidak salah.
Kakiku melompat dari atap keatap, kemudian menjatuhkan diri dari genting lantai satu. Mendarat di tumpukan yang kemarin ku sapu, tidak bisa terlalu meredam setidaknya sedikit mengurangi efek jatuhku.
Aku memandang sekitar, memastikan tidak ada yang terusik, pohon-pohon kering mulai meranggas, membiarkan setiap dahannya kedinginan dilewati angin musim gugur. Aku mengikat rambut menjadi ekor kuda, merapikan seragam latihan, dan mendengus kecil. Aku menendang tumpukan daun itu, menyingkap sebuah ventilasi besi di dasar fondasi pagoda, tidak ada yang menydarinya.