Mohon tunggu...
Muhammad Hadziq Averroes
Muhammad Hadziq Averroes Mohon Tunggu... Lainnya - Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Tertarik menulis ketika berumur 9 tahun dan terus belajar menulis lebih baik. Pada usia 11 tahun menerbitkan sebuah novel sederhana "Play Armada".

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Golden Revolver (Bagian III)

16 Januari 2024   18:37 Diperbarui: 16 Januari 2024   18:48 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kata beliau Mittikal dapat berkembang secara alamiah dalam tiga tingkatan, masing-masing memiliki kekuatan berbeda yang saling terhubung" lanjut penjelasan Erlan.

"Mittikal  terhubung oleh unsur alami dan tersimpan dalam tubuh manusia sebagai mantel. Kita menggunakan mereka sebagai senjata mematikan, tidak ada yang menandinginya"

Erlan menoleh, sinar matanya terpancar kuat menatap pada Kor. Ada semacam telepati yang tergambar pada akalnya, kalimat rekannya tertulis jelas. "Satu hal yang membawamu ke sini adalah menguak teori, rekan gurulah menjadi tersangka utama. Dengar-dengar dia memiliki pasukan bayaran, awalanya penelitian Mittikal dilakukan bersamanya tapi sejak Mittikal berhasil pada percobaan pertama ia menghilang."

Mereka bedua memasuki ruang tanpa pintu itu, gelap dan agak lembab di dalamnya. Secara siluet terlihat meja-meja dipenuhi tabung kimia, etalase berlatar putih dengan tabung-tabung lebih kecil.

TAP

Sekedar menyalakan semua lampu sekaligus, siluet terlihat jelas sekarang, semula gelap menerangkan apa adanya.

"Ah, lama sekali tak berkunjung" suara katua Erlan terdengar riang ketika menyusuri seluruh ruangan dia menuju pada sebuah meja jati besar yang terlihat mencolok dibandingkan barang lainnya. Benda itu kosong kecuali sebuah bingkai foto yang kusam kacanya oleh debu. Kor mengekor Erlan ke sana.

Walau buram tapi foto di dalamnya masih jelas. Ayahnya dan seorang lagi berkulit gelap. "Ya dialah tersangkanya. Aku tidak tahu mengapa bisa berpikir begitu. Tapi, dalang semuanya sepertinya bukan dia, tapi dendam" hening, terlalu hening, hanya ada nagin lewat entah dari mana.

"Baa?" Kor bukan orang yang lemah jantung, tapi mudah untuk terkejut. "Fufu", terkejutkah" "Khek" Addes berdiri di depan pintu dengan senyum tipis sisa kesedihan sudah hilang dari wajahnya. Suara tersedak itu dari ketua yang menahan tawanya ditenggorokkan.

"Kenapa tiba-tiba datang Des, tidak tidur?. Addes hampir menjawab dengan caranya. "Tidak, saat menuju ke toilet aku menemukan pintu ini" jawabnya dengan sopan, biasanya sering mencelutuk. Sekarang dia menaruh hormat pada sepupunya, anak paman yang memberi perlindungan padanya. Sebelumnya Addes selalu menggembung pipi karena kesal ketika ditanya keadaan, sekarang tidak dilakukannya lagi.

"Apa yang kalian lihat?" tanyanya sambil mendekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun