"Berapa kamu habis modal?" tanya seorang temannya.
"Aku, Latief, bersumpah tidak main KKN," ujarnya denagan tangan diangkatnya.
"Ah, mustahil. Hari gini..... nggak KKN," goda teman-temanya.
Kembali ia tersenyum hambar demi mendengar ucapan teman-temanya. Rupanya negeri ini kebohongan lebih dipercaya dan lebih bonafid daripada sebuah kejujuran.
"Sudah yang penting sekarang engkau cepat mendaftar ulang. Kalau tidak engkau dianggap gugur," seorang temannya berkata meyadarkan ia dari lamunannya.
Rupanya tidaklah mudah menjadi seorang PNS. Setelah ia dinyatakan lulus, ia masih harus mendaftar ulang. Dan mendaftar ulang yang dimaksud disini tidaklah segampang mendaftar ulang di sekolahnya dulu. Sangat banyak surat-surat yang harus dilampirkan. Mulai surat lamaran yang harus ditulis ulang di atas kertas bermaterai, sampai surat lainya, seperti surat catatan kepolisian, surat keterangan berbadan sehat, kartu tanda pencari kerja, surat tidak terlibat dalam partai politik dan banyak surat lainnya lagi. Tetapi, yang lebih menyakitkan waktu yang diberikan panitian cuma tiga hari. Sementara itu, di setiap kantor pengurusan surat-surat tersebut terjadi antrian yang sangat panjang. Ia harus berpacu dengan waktu tiga hari.
Ia pun sudah maklum dengan tabiat para pekerja kantoran itu. Terpaksa ia harus mengeluarkan uang pelicin agar surat yang diperlukan cepat dikerjakan oleh pegawai di kantor tersebut. Akhirnya ia merenggut sesuatu yang menghiasi di leher Emaknya. Kalung Emaknya ia jual. Dari penjualan itu ia mandapatkan uang. Tetapi tidak masalah, status PNSnya tinggal selangkah lagi. Toh, nanti ia bisa mengganti kalung Emak, pikirnya.
Tepat hari ketiga, hari Jum'at. Ia pun menyelsaikan surat-surat yang diperlukanya. Di siang hari itu, saat matahari sedang panas-panasnya ia tidak lagi memperdulikannya. Segera ia menghadap panitia penerimaan tes PNS. Sekarang ia sangat lega. Tubuhnya terasa ringan bagai terbang ke awan-awan. Sedikit lagi status PNS akan ia raih. Mungkin  dengan itu ia dapat membahagiakan orang tuanya dan perjuangannya cukup sudah.
Di kantor itu ia langsung bicara, "Dari pelosok desa saya datang ke sini. Saya sudah menghabiskan banyak uang untuk ini, Pak!" Ia berkata dengan bangganya sambil menunjukkan nomor ujiannya yang penuh dengan lipatan.
Petugas itu melihat kertas yang ia sodorkan.
"Mendaftar ulang?!" ujarnya.