Mohon tunggu...
HADI YUSENA
HADI YUSENA Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa universitas pamulang

perkenalkan nama saya hadi yusena, hobi saya sekarang dibidang olahraga seperti futsal dan sepak bola, selain itu juga hobi saya juga menbaca buku, kesibukan sekarang saya seorrang mahasiswa baru di universits pamulang, saya juga aktif dibeberapa organisasi internal kampus seperti himpunan mahasiswa fakultas hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Korupsi di Indonesia dan Tantangan Perubahan Sosial

27 April 2024   21:09 Diperbarui: 27 April 2024   21:09 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Korupsi di Indonesia telah mengancam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Korupsi juga telah membawa kerugian materil yang sangat besar bagi keuangan negara baik ekonomi, masyarakat, maupun budaya. Apalagi, tindakan korupsi mendorong perubahan sosial yang tak terhindarkan akibat kejahatan. Perhatian utama dalam artikel ini adalah untuk melihat dan menganalisis perkembangan sosial terkait dengan tindak pidana korupsi. Artikel tersebut lebih lanjut menyoroti langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi dampak tersebut pada masyarakat yang disebabkan oleh adanya tindakan korupsi. 

Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah penelitian hukum normatif, yang bersifat preskriptif analitis, melalui pendekatan konseptual, undang-undang, dan kasus dalam menilai partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan korupsi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi mendorong penurunan kesejahteraan sosial, memaksa masyarakat luas untuk menderita oleh perilaku tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh para koruptor. Berkaitan dengan itu, pemerintah didorong untuk menghadapi upaya pelibatan peran serta masyarakat dalam optimalisasi pencegahan tindak pidana korupsi. Upaya tersebut meliputi arahan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, langkah tindakan, dan gerakan prosedural yang dapat dilakukan masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana korupsi

Norma masyarakat terbentuk sebagai akibat dari perubahan pola hidup dan perilaku yang terus menerus dipengaruhi oleh norma sosial baru secara seimbang. Cara hidup yang dulu, yang sekarang dianggap tidak relevan, akan diganti dengan pola-pola baru, mengikuti kebutuhan masyarakat. Perubahan yang terjadi pada aspek sosial, nilai, dan norma harus diperhatikan karena menyangkut seluruh lingkaran budaya dan perilaku suatu masyarakat (Budijarto, 2018). Perubahan-perubahan sosial tersebut dengan sengaja akan membentuk nilai-nilai kebangsaan yang berlaku dalam masyarakat sebagai suatu kebiasaan yang tetap, dan dengan demikian perubahan ini sangat erat kaitannya dengan tindakan-tindakan masyarakat tersebut. Lebih lanjut dikatakan, bahwa perbuatan atau perilaku buruk masyarakat akan membentuk budaya yang mendarah daging secara konsisten jika tidak diperbaiki. Sebagai salah satu contohnya, korupsi harus segera diberantas karena perkembangannya menyangkut semua lapisan masyarakat dan dipraktikkan oleh hampir setiap institusi di dunia, termasuk Indonesia (Rahim, 2019). 

Tindakan korupsi terbukti memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia, baik pada aspek ekonomi, maupun norma dan budaya masyarakat. Sampai saat ini, korupsi merupakan masalah kronis yang umum diderita oleh negara-negara maju dan berkembang di seluruh dunia. Dalam hal ini, semua negara berusaha memberantas kejahatan ini dengan menerapkan langkah langkah legislatif dan membentuk lembaga antikorupsi sebagai badan pelaksana. Indonesia sebagai salah satu negara dengan peringkat korupsi tertinggi, memiliki lembaga antikorupsi yang dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk pada tahun 2002 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (Einstein & Ramzy, 2020). 

Indonesia diterpa korupsi parah, menempatkan negara ini pada peringkat terendah Indeks Persepsi Korupsi (IPK), dilansir Transparency International. Data menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 2021 menempati urutan ke-96 dari 180 negara, dengan skor 38 dari 100 (Transparency International, 2020)). Korupsi di Indonesia dapat ditunjukkan dengan banyaknya kebocoran dan realokasi anggaran di berbagai sektor pemerintahan, yang menghambat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia (Listiyanto, 2012). Oleh karena itu, dalam keberhasilan pemberantasan korupsi, dipandang perlu bagi pemerintah untuk membuat regulasi yang memadai yang mendukung upaya penanggulangan secara maksimal. Pemberantasan korupsi sangat mendesak, karena kejahatan ini membawa dampak yang merugikan bagi kehidupan bangsa, bahkan kehidupan sosial masyarakat yang terkena dampak. Apalagi korupsi merupakan kejahatan yang merugikan bagi kelangsungan suatu negara baik secara kualitas maupun kuantitas. Aspek kuantitas berarti meningkatnya jumlah tindak pidana korupsi tentunya akan berdampak pada menurunnya kualitas kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan ini, negara memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Dampak korupsi begitu besar dan dengan demikian diletakkan sebagai tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa tanpa terkecuali. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab juga masyarakat untuk turut serta bersama pemerintah memerangi korupsi (Di Donato, 2018). Padahal, secara kualitas, perbuatan korupsi dengan sengaja merugikan perilaku umum masyarakat dalam suatu negara. Dalam kaitan ini, korupsi dapat dilihat sebagai penyakit menular yang jika kesengsaraan tersebut tidak ditanggulangi akan menyebabkan penurunan kualitas perilaku dan kehidupan manusia secara luas (Fasa & Sani, 2020). 

Menurut Marella Buckley, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi dengan cara suap atau komisi ilegal (Ridwan, 2014). Senada dengan pendapat tersebut, Indriyanto Seno Adji menyatakan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi merupakan White Collar Crime dengan perbuatan yang selalu mengalami modus operandi yang dinamis dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai kejahatan yang tidak kasat mata yang penanganannya memerlukan kebijakan hukum pidana (Jupri, 2019). 

Korupsi merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Pada prinsipnya pengertian yuridis tentang tindak pidana korupsi tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa tindak pidana ini mempunyai satu unsur mutlak yaitu perbuatan yang merugikan keuangan negara (Jupri, 2019). Mengingat dampak buruk korupsi, diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk memberantas kejahatan ini melalui kerjasama yang terintegrasi antara penegak hukum dan dukungan masyarakat, karena sanksi pidana saja terbukti tidak memadai dalam mengurangi jumlah kasus perilaku korupsi (Einstein & Ramzy, 2020). 

Partisipasi masyarakat disini berperan sebagai upaya preventif dalam mengatasi masalah ini. Secara teoritis, masyarakat harus ambil bagian karena dua alasan, yaitu masyarakat sebagai korban dan masyarakat sebagai komponen negara. Masyarakat sebagai korban berarti mengakui bahwa tindakan korupsi mengakibatkan turunnya kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu masyarakat harus turut serta mencegah akibat tersebut kepada masyarakatnya. Dimana masyarakat dipandang sebagai komponen negara, masyarakat berperan dalam mendukung arahan pemerintah untuk memberantas kejahatan ini. Negara mengandung tiga pihak utama yaitu pemerintah, masyarakat dan swasta yang harus berkolaborasi dalam rangka pemberantasan korupsi (Irtiyani, 2018). 

Keberhasilan suatu negara sangat bergantung pada kinerja yang seimbang dari ketiga komponen tersebut. Oleh karena itu, jika kerjasama dilakukan dengan baik maka akan berdampak baik bagi negara, dan sebaliknya jika buruk maka cepat atau lambat bangsa akan hancur. Sebagaimana disebutkan, kegagalan dalam pemberantasan korupsi akan membawa perubahan yang merugikan masyarakat dan berpengaruh bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sebagai masyarakat dan sebagai bagian dari kehidupan bernegara (Suryaningsi & Mula, 2020). Berdasarkan fakta dan penjelasan tersebut, artikel ini akan lebih menyoroti dampak merugikan korupsi terkait dengan perubahan sosial dan tantangannya. Selain itu, artikel ini menganalisis kemungkinan solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam memastikan optimalisasi partisipasi masyarakat dan melihat langkah-langkah alternatif dalam meningkatkan peran masyarakat dalam menekan praktik korupsi.

 

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, yaitu preskriptif analitis, melalui pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang, dan pendekatan kasus dalam menilai partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan korupsi (Bunga et al., 2019). Pendekatan konseptual digunakan untuk membandingkan dan menganalisis konsep dampak perubahan sosial terhadap masyarakat dari adanya korupsi. Pendekatan undang-undang diperlukan untuk mengkaji pengaturan mekanisme partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan korupsi. Pendekatan kasus untuk melihat penggunaan istilah partisipasi masyara-kat dalam pencegahan korupsi. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dan data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif (Richie, 2006).

Hasil dan Pembahasan

Dampak Korupsi Terkait Perubahan Sosial dan Tantangannya

Dampak Merugikan Korupsi bagi Kehidupan Bernegara

Fenomena sosial yang disebut korupsi merupakan realitas perilaku manusia dalam interaksi sosial yang dianggap menyimpang, dan membahayakan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, perilaku ini dalam segala bentuk dicela oleh masyarakat. Pengecaman masyarakat terhadap korupsi menurut konsepsi yuridis diwujudkan dalam rumusan undang-undang sebagai bentuk tindak pidana. Dalam politik hukum pidana Indonesia, korupsi bahkan dianggap sebagai tindak pidana yang perlu ditangani secara khusus dan diancam dengan hukuman yang berat. Semua negara di dunia sepakat bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan "luar biasa" (Marzuki, 2017). Disebut luar biasa karena lazim dilakukan secara sistematis, memiliki aktor intelektual, melibatkan pemangku kepentingan di wilayah tertentu, termasuk aparat penegak hukum, dan memiliki pengaruh "destruktif" dalam skala besar. Akibatnya, korupsi telah mendarah daging di semua elemen dan lapisan masyarakat (Widodo et al., 2018). Peningkatan jumlah kasus tindak pidana korupsi tentunya sangat berdampak pada menurunnya kualitas kesejahteraan masyarakat. Negara memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Berkovich et al., 2019). Dampak korupsi yang begitu luas, dan menjadi perhatian yang berat bagi kesejahteraan masyarakat, harus menjadi tugas bersama seluruh bagian bangsa untuk mencegah korupsi, tanpa terkecuali (L. Wulandari & Parman, 2019). Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban masyarakat untuk bersama-sama memerangi korupsi. Bukan tugas yang mudah, karena memerlukan pelibatan dan kerjasama seluruh elemen bangsa, termasuk masyarakat, karena korupsi merupakan kejahatan yang dikenal dengan White Collar Crime, yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kelebihan kekayaan dan dianggap "terhormat" (Suyatmiko, 2021). Riset tahun 2018 memberikan rincian mengenai beberapa hasil korupsi, antara lain: (1) Suap menyebabkan dana pembangunan rumah murah jatuh ke tangan pihak yang tidak berhak; (2) Komisi bagi penanggung jawab pengadaan barang dan jasa pemerintah daerah berarti kontrak jatuh ke tangan perusahaan yang tidak memenuhi syarat; (3) Polisi disuap untuk berpura-pura tidak tahu apakah ada kejahatan yang harus diselidiki; (4) Pegawai pemerintah daerah menggunakan fasilitas umum untuk keuntungan pribadi; (5) Untuk memperoleh izin dan izin, warga masyarakat harus memberikan uang fasilitasi kepada petugas bahkan terkadang harus memberikan suap agar izin atau izin dapat diterbitkan; (6) Dengan memberikan suap, anggota masyarakat dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan dengan melanggar peraturan keselamatan kerja, peraturan kesehatan, atau peraturan lainnya sehingga dapat membahayakan masyarakat lainnya; (7) Layanan pemerintah daerah diberikan hanya ketika penduduk telah membayar jumlah tambahan di luar biaya resmi; (8) Keputusan mengenai penggunaan lahan di dalam kota seringkali dipengaruhi oleh korupsi; dan (9) Petugas pajak memeras warga, atau lebih berkolusi dengan wajib pajak, memberikan keringanan pajak kepada wajib pajak dengan imbalan suap (Maroni & Ariani, 2018)

Koruptor berasal dari semua bidang institusi, latar belakang, dan jabatan. Perilaku korupsi banyak dilakukan oleh orang-orang dengan berbagai kepentingan dari kelas menengah ke bawah dalam hal tuntutan ekonomi, atau mereka yang berasal dari kelas atas yang bertujuan untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi (Jannah et al., 2020). Sebuah survei yang dilakukan oleh Transparency International pada tahun 2018 menunjukkan bahwa korupsi banyak terjadi di negara-negara yang memiliki fondasi demokrasi yang lemah (Suyatmiko & Nicola, 2019). Politisi yang tidak demokratis dan populis dapat menggunakan posisinya untuk mengambil keuntungan demi keuntungan pribadi. Beragam pelaku korupsi menyampaikan bahwa perilaku kronis tersebut terletak pada rusaknya moral dan integritas mereka sebagai individu yang hidup di tengah sistem negara. Namun, kerusakan moral biasanya terjadi karena pengaruh eksternal seperti budaya masyarakat, pendidikan, dan lingkungan yang tampaknya mendukung tindakan kriminal ini (Harrison, 1999). Apalagi korupsi seringkali disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu; mendukung penyimpangan yang diberikan oleh pemerintah dan sistem birokrasi, kurangnya pengawasan, dan kekuatan hukum yang tidak memadai. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi memerlukan kerjasama dan keterlibatan secara simultan dari semua pihak yaitu pemerintah sebagai pembuat hukum, penegak hukum, penyedia layanan publik, lembaga anti korupsi, media, organisasi, dan masyarakat (Waluyo, 2017). Kondisi korupsi di Indonesia telah menjadi isu lama yang berdampak besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia (Kosim, 2010). Sebuah laporan Transparancy International pada tahun 2021, menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga negara di dunia mendapat skor rendah, di bawah 50. Nilai indeks tertinggi adalah 100, yang menunjukkan bahwa suatu negara bebas dari korupsi, dan nilai nol menunjukkan bahwa negara adalah negara dengan tingkat korupsi tertinggi (Indrawan & Widiyanto, 2017). Dari 180 negara di dunia, Denmark dan Finlandia menempati urutan pertama. Indonesia menempati peringkat 96 dari 180 atau berada di urutan terbawah dari daftar di bawah negara-negara Afrika seperti Ethiopia dan Guyana (Transparency International, 2021). Indeksasi yang dilansir Transparency International melalui Corruption Perception Index (CPI) menunjukkan parahnya korupsi di Indonesia. Tindakan korupsi dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain perilaku dan karakteristik individu itu sendiri, aspek sosial, budaya, politik, struktur organisasi yang lemah, dan aspek ekonomi. Perbuatan korupsi kemudian menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan internal dan eksternal para koruptor (Butt, 2017). Mencermati konsekuensi korupsi yang lebih besar terhadap negara, dampak ekonomi dari korupsi meningkatkan nilai investasi. Investasi membutuhkan biaya yang besar dengan memanipulasi pengeluaran berupa mark up. Tingginya nilai investasi juga disebabkan oleh kasus suap. Pengusaha akan menyuap pejabat untuk mendapatkan kontrak, sehingga biaya kontrak akan semakin besar (Gregory, 2006). Akibat peluang korupsi dalam investasi, pemerintah menggeser komposisi belanja publik, dimana belanja publik kemudian lebih sering digunakan untuk membeli peralatan baru, dibandingkan belanja yang dibutuhkan untuk fungsi dasar (pendidikan dan kesehatan), karena dalam pendidikan dan kesehatan ada lebih sedikit kesempatan untuk mendapatkan komisi. Apalagi dalam hal penerimaan, korupsi dapat mengurangi penerimaan pemerintah melalui pajak, karena pembayarannya dapat dikompromikan (Di Donato, 2018). Sifat koruptif dari rusaknya integritas individu didukung oleh sistem yang buruk, serta kontrol yang tidak efisien yang berkontribusi pada kebocoran anggaran negara. Upaya mendorong pendidikan dan pelatihan, serta prinsip moral, gagal mengatur perilaku masyarakat Indonesia, apalagi memberantas korupsi. Akibatnya, korupsi harus diberantas dengan menggunakan pendekatan multidisiplin melalui sistem pemantauan yang kuat, serta fleksibilitas penting dalam implementasi aturan dan undang-undang (Dirwan, 2019). Peran Masyarakat dalam Mengatasi Fenomena Perubahan Sosial sebagai Dampak Korupsi Tindakan korupsi sangat erat kaitannya dengan perilaku umum masyarakat Indonesia. Mencermati aspek perilaku korupsi, perilaku tertentu ini diyakini telah terjadi sejak penjajahan Belanda di negara itu dari Abad ke-16 hinggapertengahan abad ke-20, sebagai alat rekayasa sosial dalam mengebiri kekuatan masyarakat lokal (Suryaningsi & Mula, 2020). Penelitian pada tahun 2015 mencatat bahwa Belanda fokus pada pengayaan pribadi yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa selama penjajahan selama lebih dari tiga abad (Bertrand, 2015). Dengan demikian perilaku korupsi yang kronis telah berkembang dan mendarah daging dalam pola pikir masyarakat Indonesia hingga saat ini. Korupsi yang dilakukan berulang kali dalam jangka waktu yang lama menciptakan pola pikir komunal bahwa tindakan tersebut 'biasa dan tidak berbahaya'; dimana pada kenyataannya setiap tindakan yang menimbulkan kerugian sekecil apapun dapat dikategorikan sebagai perilaku korupsi. Korupsi di Indonesia telah menjadi fenomena yang sudah berlangsung lama sebagai akibat dari perubahan sosial yang berawal dari pengaruh penjajahan yang buruk (Seregig et al., 2019).

Perilaku korupsi memiliki kecenderungan masif untuk merusak sistem kontrol masyarakat karena tindakan ini menyebabkan penyimpangan moral masyarakat. Perubahan sosial yang dibawa oleh korupsi yang marak dilakukan, memunculkan sederetan sifat buruk masyarakat, seperti sikap rakus, jahiliyah, skeptis, dan sifat individualistis (Prabowo & Suhernita, 2018). 

Sama meresahkan, di era rezim orde baru, sebagian besar koruptor sebagian besar dibentuk oleh konsepsi yang menyesatkan tentang "asas keluarga", yang menyebabkan urusan "skizofenik" antara legitimasi profesional dan sosial mereka. Misalnya, banyak pejabat publik yang sering mengalami situasi konflik, di mana mereka menganggap membantu keluarga sebagai kewajiban keluarga, tetapi pada saat yang sama, mereka akan melanggar aturan kantor jika tindakan korupsi yang diperlukan dilakukan. Dorongan untuk melakukan korupsi juga didukung oleh pembenaran mereka sendiri bahwa: (1) perbuatannya tidak merugikan orang lain; dan (2) kewajiban sosial dianggap sebagai nilai yang lebih tinggi. Pembenaran-pembenaran ini menciptakan mentalitas yang rusak bagi para pelaku dan menyebabkan kerugian negara yang sangat tidak terkendali (Berkovich et al., 2019). 

Korupsi memang menjadi isu konsekuen yang mengancam kesejahteraan masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Transparancy Internasional Indonesia, hampir 30-40 persen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hilang akibat korupsi. kasus (Zaenudin et al., 2018). 

Kasus korupsi terbanyak adalah pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah, yaitu sebesar 70 persen. Presiden Indonesia Joko Widodo menegaskan bahwa korupsi menyebabkan kerugian finansial bagi negara dan juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (Suyatmiko, 2021). 

Untuk mencegah korupsi, Presiden mengatakan mekanisme birokrasi harus diarahkan dengan menggunakan sistem e-government. Sistem e-government menjadikan birokrasi lebih efisien sehingga akan meningkatkan pelayanan publik dan memperkuat transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa kunci utama dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah partisipasi masyarakat melalui perubahan sosial. Perubahan sosial sebagai proses pembangunan nasional yang direncanakan oleh pemerintah bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan masyarakat Indonesia. Perbaikan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan bidang lainnya dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui keadilan sosial (Yudho & Tjandrasari, 2017). 

Pemerintah menjalankan program sebagai kebijakan publik dan melibatkan seluruh jajaran aparat birokrasi pemerintah dengan didukung oleh partisipasi masyarakat dan seluruh elemen organisasi kemasyarakatan. Selain itu, pelibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan rincian seperti pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa dalam langkah-langkah legislatif, Indonesia secara eksplisit mengatur dan mendorong peran masyarakat dalam mengatasi meningkatnya jumlah tindakan korupsi. Dipahami bahwa dalam mewujudkan negara yang bebas korupsi, semua pihak dalam suatu negara harus bekerja sama secara sinergis. Partisipasi masyarakat berpengaruh positif terhadap peningkatan atau peningkatan kualitas hidup masyarakat secara proporsional dan sosial (Matnuh, 2018). Mengubah tatanan sosial secara otomatis akan mengubah situasi di negara itu sendiri. Dengan demikian, penguatan legislasi harus dibarengi dengan tekad dan peran serta masyarakat.

Mendukung gagasan pendekatan perubahan sosial, perilaku manusia tidak dapat dipisahkan dari keadaan individu orang itu sendiri dan lingkungan sosialnya (masyarakat). Perilaku individu adalah tindakan yang berulang-ulang dalam waktu tertentu dan didorong oleh motif tertentu, yaitu orang berperilaku dengan cara-cara sosial tertentu. Oleh karena itu, jika kita berhasil menanamkan perilaku umum individu untuk memiliki mental yang kuat, lambat laun Indonesia akan mewujudkan cita-cita bangsa yang sejahtera dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (Karianga, 2020).

Simpulan

 Korupsi di Indonesia telah lama menjadi perhatian dan berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Korupsi dapat mengakibatkan kerugian negara yang besar yang sebanding dengan penurunan kesejahteraan masyarakat. Korupsi merusak nilai-nilai, integritas, dan identitas suatu bangsa dalam komponen sosial dan perilaku masyarakat. Dalam hal ini, korupsi dapat dilihat sebagai penyakit menular yang jika tidak ditaklukkan akan menyebabkan penurunan kualitas perilaku manusia secara sistemik, yang mengakibatkan kehancuran suatu bangsa. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah ekstensif untuk memberantas korupsi secara menyeluruh. 

Menurut teori penegakan hukum, pemberantasan korupsi dapat dilakukan melalui penguatan substansi hukum, reformasi struktur hukum, dan rekonstruksi budaya hukum, yang memerlukan kerjasama semua pihak yaitu; pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat luas. Dalam hal menciptakan perubahan sosial dan budaya, masyarakat sebagai komponen utama dari sistem negara berfungsi sebagai pencipta dan penegak. 

Keterlibatan masyarakat harus didukung oleh landasan hukum yang kuat, penegak hukum yang handal, jaminan perlindungan, dan penghargaan dari pemerintah. Sekalipun korupsi di Indonesia sudah berada pada tahap 'sangat tidak berdaya, pemberantasan korupsi bukan lagi tantangan yang tidak dapat diatasi jika ketiga faktor tersebut, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum, diselaraskan. Korupsi di Indonesia dapat diatasi dengan kerjasama antara pembuat undang-undang, penegak hukum, dan masyarakat luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun