Sabar. Kata itu semakin terasa menyesakkan. Karena sabar yang diminta bukan hanya menunggu, tetapi juga menahan perasaan yang semakin sulit dibendung. Bukankah selama ini ia sudah sabar? Sabar seperti apa lagi? Sementara godaan zina selalu mengintai, kapanpun. Dimanapun. Ia sudah merasa tidak kuat. Pertahanannya tak sekuat fisiknya yang kekar.
***
Malam itu Sania menangis sejadi-jadinya di sajadahnya. Memohon kepada Allah agar dibukakan jalan. Arfan pun begitu. Keduanya terhimpit antara restu dan cinta. Ingin berbakti pada orang tua, tapi juga ingin menjalani kehidupan yang diridhai Allah.
Suatu hari, mereka memutuskan untuk bertemu di masjid. Duduk berdua, menunduk dalam diam.
"Aku takut kehilangan kamu," lirih Sania.
Arfan tersenyum pahit. "Aku lebih takut kehilangan ridho Allah."
Air mata Sania mengalir.
"Apa yang harus kita lakukan, Fan?"
Arfan menghela napas panjang. "Kita sudah berusaha. Kita sudah meminta bantuan keluarga, dan juga guru. Tapi jika mereka tetap tak mau mengerti..."
Sania menunggu.
"Aku rasa kita harus menikah. Dengan atau tanpa restu."