Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi Pendidikan, Analis Data, Konsultan Statistik, Pemerhati Hal Remeh Temeh

Aktivitas sehari-hari sebagai dosen statisika, dengan bermain tenis meja sebagai hobi. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jodoh di Ujung Keraguan (2)

2 Februari 2025   06:45 Diperbarui: 2 Februari 2025   07:16 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Jodoh di Ujung Keraguan (Sumber: Freepik)

Aisyah duduk di tepi jendela kamarnya, menatap langit senja yang bergradasi jingga dan biru. Hatinya dipenuhi kebimbangan yang sulit dijelaskan. Sebentar lagi ia akan menyelesaikan kuliahnya di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Barat, dan tiba-tiba datang sebuah lamaran dari seseorang yang ia kenal cukup lama---Farhan.

Farhan adalah seorang teman yang baik, santun, dan taat beribadah. Mereka sering bertemu dalam forum kajian atau diskusi kampus, tetapi tidak pernah menjalin hubungan lebih dari sekadar pertemanan. Ia bukan tipe lelaki yang suka berbasa-basi atau mendekati perempuan dengan cara yang tidak syar'i. Justru sikapnya yang teguh dalam prinsip agama itulah yang membuat Aisyah menghormatinya. Namun, ketika Farhan menyampaikan niatnya untuk melamar, Aisyah justru merasa hatinya bimbang.

Bukan karena dia tidak menyukai Farhan, tetapi ada satu hal yang mengganjal: latar belakang keluarganya. Farhan adalah anak tunggal dari orang tua yang telah bercerai. Ia tinggal bersama ibunya, sementara ayahnya yang non-Muslim tetap bertanggung jawab membiayai kehidupannya. Aisyah merasa takut. Bukan pada Farhan sebagai pribadi, tetapi pada kemungkinan bahwa latar belakang keluarganya akan memengaruhi kehidupan rumah tangga mereka kelak.

Malam itu, Aisyah mencoba mengabaikan pikirannya dan mengambil wudhu. Dengan perlahan, ia menghamparkan sajadah, lalu bersujud dalam sholat istikharah. Setelah selesai, ia tetap merasa gelisah. Haruskah ia menerima lamaran ini atau justru menolaknya demi menghindari risiko yang mungkin terjadi di masa depan? Ia tahu bahwa pernikahan bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang ketenangan hati dan kesiapan menjalani hidup bersama dalam segala kondisi.

Malam-malam berikutnya dilalui Aisyah dengan kebingungan yang semakin bertumpuk. Di satu sisi, ia tidak menemukan cela dalam kepribadian Farhan. Ia lelaki yang baik, bertanggung jawab, dan memiliki pemahaman agama yang kuat. Tetapi, di sisi lain, Aisyah takut bahwa bayangan perceraian orang tua Farhan akan mempengaruhi rumah tangga mereka nanti.

Ia menghabiskan waktu untuk membaca banyak artikel dan bertanya kepada beberapa teman yang sudah menikah. Dalam beberapa kesempatan, ia juga berkonsultasi dengan Ustadzah yang ia kenal. Beberapa mengatakan bahwa latar belakang keluarga memang penting, tetapi bukan satu-satunya penentu kebahagiaan rumah tangga. Yang lebih penting adalah karakter pasangan itu sendiri dan bagaimana ia memperlakukan rumah tangganya nanti.

Di tengah kebimbangannya, Aisyah memutuskan untuk berdiskusi dengan sahabatnya, Siti. Mereka bertemu di sebuah taman kampus yang sepi.

"Aku bingung, Siti. Farhan orang yang baik, aku tidak ragu soal itu. Tapi aku takut kalau pernikahan ini nanti akan terpengaruh oleh masa lalunya. Aku ingin rumah tangga yang harmonis dan bahagia," ujar Aisyah, menundukkan pandangannya.

Siti tersenyum lembut. "Aku paham. Tapi pertanyaannya, apakah latar belakang keluarganya membuat dia menjadi pribadi yang buruk?"

Aisyah terdiam. Ia menggeleng pelan.

"Justru sebaliknya," lanjut Siti. "Aku pernah dengar tentang Farhan dari seorang teman. Dia sangat menyayangi ibunya dan selalu berusaha menjadi anak yang berbakti. Kalau ada yang bisa kita pelajari dari seseorang, itu bukan hanya latar belakangnya, tapi bagaimana dia menyikapi masa lalunya."

Aisyah termenung. Perkataan Siti ada benarnya. Farhan bukanlah korban dari perpisahan orang tuanya. Justru ia adalah seseorang yang belajar dari kesalahan mereka dan berusaha menjadi lebih baik.

Setelah berbicara dengan Siti, Aisyah merasa sedikit lebih tenang. Namun, hatinya masih belum sepenuhnya yakin. Ia memutuskan untuk berbicara langsung dengan Farhan. Mereka duduk di taman kampus, dengan jarak yang cukup, dan ditemani oleh salah seorang teman mereka.

"Farhan," kata Aisyah pelan, "aku ingin jujur. Aku sangat menghargai niat baikmu, tapi aku masih memiliki banyak pertimbangan."

Farhan tersenyum sabar. "Aku mengerti, Aisyah. Aku pun tidak ingin kamu mengambil keputusan dengan terburu-buru."

Aisyah menghela napas sebelum melanjutkan. "Aku ingin tahu, bagaimana keluargamu mempengaruhi cara pandangmu tentang kehidupan dan pernikahan?"

Farhan menatap Aisyah dengan mata penuh ketulusan. "Aku tumbuh dalam keluarga yang berantakan, tapi justru dari sana aku belajar banyak. Aku melihat bagaimana perceraian itu menyakitkan, dan aku tidak ingin mengulanginya. Ibuku selalu mengajarkan nilai-nilai Islam kepadaku. Dan meskipun ayahku berbeda keyakinan, dia tetap menunjukkan tanggung jawab sebagai seorang ayah."

Aisyah terdiam, menyerap kata-kata itu dalam-dalam.

"Aku tidak ingin masa laluku menjadi beban," lanjut Farhan. "Justru aku ingin membangun rumah tangga yang lebih baik. Aku ingin menciptakan keluarga yang harmonis dan saling mendukung. Aku ingin menjadi suami yang bertanggung jawab dan ayah yang baik kelak."

Jawaban itu menggugah hati Aisyah. Ia tahu, kehidupan rumah tangga bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana seseorang mengambil pelajaran darinya.

Hari-hari berikutnya, Aisyah masih terus berdoa, meminta petunjuk dari Allah. Hingga akhirnya, hatinya mulai mantap. Ia sadar bahwa Farhan bukanlah seseorang yang membawa luka dari masa lalunya, tetapi seseorang yang bertekad untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.

Beberapa bulan kemudian, di sebuah akad nikah yang sederhana namun penuh keberkahan, Aisyah dan Farhan mengikat janji suci. Mereka memulai lembaran baru, bukan dengan ketakutan akan masa lalu, tetapi dengan keyakinan bahwa mereka bisa membangun masa depan yang lebih baik bersama.

Di hari itu, Aisyah belajar satu hal penting: jodoh bukanlah tentang siapa yang memiliki latar belakang sempurna, tetapi tentang siapa yang bersedia memperbaiki dan berjalan bersama dalam kebaikan.

(Diadaptasi dari kisah nyata. Cerita ini kupersembahkan buat mereka yang sedang bimbang)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun