Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan

Saya adalah ayah dari 5 anak dan suami dari 1 orang istri. Aktivitas sehari-hari sebagai dosen statisika yang selalu berkutat dengan angka, sehingga perlu hiburan dengan bermain tenis meja. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Nasi Gudangan, Aku Padamu

26 Januari 2025   16:36 Diperbarui: 27 Januari 2025   14:42 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi Gudangan (Sumber: Foto Pribadi)

"Tadz, jangan pulang dulu ya. Ini istri lagi bikin nasi gudangan", suara temanku terdengar mencoba menahanku yang sudah siap-siap mau pulang. Aku mengangguk antusias. Ini bukan pertemuan pertamaku dengan nasi gudangan.

Sejujurnya, aku sudah lama gak makan nasi gudangan. Padahal nasi gudangan banyak di sekitar. Entah kapan terakhir kali aku menyantapnya, lupa. Kali ini aku berkesempatan menyantapnya lagi.

Aku pun duduk lagi, menunggu nasi gudangan dihidangkan. Buat yang belum tahu, nasi gudangan itu makanan khas dari Jawa Tengah.

Nasi putih hangat disandingkan dengan urap-urap sayuran yang segar dan sambal kelapa yang pedasnya nampol. Ditambah lagi lauk pendamping seperti tempe, mendoan atau telur rebus, nikmatnya sudah bisa dibayangkan hanya dengan menghirup aromanya.

Tak lama kemudian, seporsi nasi gudangan pun tersaji di hadapan. Nasi putih hangat disandingkan dengan urap-urap sayuran yang berwarna-warni.

Sayur-sayuran yang disiram dengan sambal kelapa yang menggugah selera. Sebagai pelengkap, ada lauk tempe yang renyah menambah nikmatnya sajian. Aku pun menyantapnya dengan lahap.

Kenangan dengan Nasi Gudangan

Menikmatinya lagi, kenangan masa kecil langsung berhamburan. Aku kembali teringat masa-masa, saat semuanya masih sangat sederhana. Saat belum ada gadget, jauuuhhh sebelum gadget muncul. Nonton TV pun rame-rame, karena dalam 1 kampung paling hanya 1 atau 2 orang yang punya TV, masih pakai aki. Dan nasi gudangan saat itu menjadi perekat yang mendekatkan.

Ada teman yang ulang tahun, bikinnya nasi gudangan di wadah besar, dinikmati rame-rame. Nikmat dan menyenangkan. Kadang saat bancaan, nasi gudangan digelar di atas daun-daun pisang yang disusun memanjang. Sederhana tapi bermakna. Apapun latar belakang kami, semuanya sama di hadapan nasi gudangan, sama-sama lahap.

Dulu saat masih duduk di sekolah dasar, hampir tiap hari aku makan nasi gudangan. Aku sekolah di SD Negeri 3 Krangganharjo. Dulu di sekolah tidak ada kantin. Tapi ada warung kecil di depan sekolah. Di warung itulah aku dan teman-teman jajan saat jam istirahat.

Nah jajanku tiap hari ya nasi gudangan. Bukan karena suka, lebih ke tidak ada pilihan lain. Untuk menikmati 1 porsi nasi gudangan saat itu, aku harus merogoh uang 35 rupiah.

Saat membayar aku menyerahkan 1 koin 20 rupiah, 1 koin 10 rupiah dan 1 koin 5 rupiah. Sejak saat SD itu aku mulai jatuh cinta dengannya, nasi gudangan.

Saat itu nasi gudangan disajikan dalam pincuk daun pisang. Nasi putih panas, dikasih urap sayuran dan ditambah sambal kelapa di atasnya.

Aromanyaa huuhh jangan ditanya. Pokok e maknyuss, begitu istilah nya Bondan Winarno (alm). Apalagi kami menyantapnya rame-rame, bareng dengan teman-teman sambil bercanda.

Pada momen itu, hiburan kami saat jajan adalah gangguin teman cewek yang juga lagi jajan. Biasa, usil ala anak-anak kampung. Pas teman cewek sedang makan, begitu nasi sudah hampir masuk mulutnya, kami tarik rambutnya.

Bayangan akan kelezatan nasi gudangan langsung punah, kepala tak jua bisa mendekat. Begitu kepala mendekat, rambut ditarik lagi. Duh kasihan, tapi ya begitulah namanya cowok. Gak bisa lihat peluang dikit, langsung berangkat.

Tapi anak cewek selalu punya cara menakuti kaum cowok, biar gak ganggu lagi. "Awas nanti sampai kelas ku laporin bu guru", ancaman ini jadi senjata ampuh buat menghentikan ulah nakal para cowok. Maklum, saat itu para siswa masih sangat hormat dengan guru-gurunya. Guru adalah jaminan obat kenakalan saat itu. Dan itu semua kami lakukan sambil menikmati nasi gudangan. Sederhana tapi penuh tawa dan kehangatan.

Begitulah rutinitas jajan jaman SD dulu. Makan gak pakai sendok, hanya pakai tangan. Tapi nikmatnya gak kalah dengan makan jaman sekarang. Rutinitas jajan bareng jadi hiburan, meskipun hanya sekedar nasi gudangan, tidak ada gadget yang mengganggu. Pada akhirnya, semua hanyalah kenangan.

Itu dulu. Sejak lulus SD, aku sudah jarang makan nasi gudangan. Paling hanya sesekali, saat ada undangan makan ke tetangga. Biasanya saat memperingati pasaran hari lahir.

Seingatku, perpisahanku dengan nasi gudangan terjadi saat aku harus merantau ke Bogor untuk melanjutkan kuliah. Di bogor, aku benar-benar putus dengannya. Lama sekali aku tidak menyantapnya. Apalagi setelah pindah ke Sumatra.

Setelahnya nasi gudangan sudah tidak jadi pilihan. Kalau ada pilihan menu yang lain, selalu saja nasi gudangan aku tinggalkan. Aku lebih milih menu lainnya yang lebih kekinian dan kedaging-dagingan.

Sejarah Nasi Gudangan

Nasi gudangan sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang. Hidangan ini dipercaya berasal dari tradisi pertanian masyarakat Jawa yang kaya akan berbagai jenis sayuran. Gudangan sering dikaitkan dengan upacara adat Jawa, seperti selamatan atau syukuran.

Beberapa teori menyebutkan bahwa gudangan merupakan cara yang cerdas untuk mengolah berbagai jenis sayuran menjadi satu hidangan yang lezat dan bergizi.

Nama "gudangan" sendiri berasal dari kata "gudang", yang berarti tempat menyimpan. Hal ini mungkin merujuk pada banyaknya jenis sayuran yang digunakan dalam hidangan ini.

Selain itu, gudangan juga sering disebut sebagai "kuluban", yang berarti "dibungkus". Ini mengacu pada cara penyajian nasi gudangan yang biasanya dibungkus dengan daun pisang.

Filosofi di Balik Nasi Gudangan

Selain rasanya yang lezat, nasi gudangan juga memiliki makna filosofis yang mendalam. Dalam tradisi Jawa, nasi gudangan melambangkan kesederhanaan, kebersamaan, dan rasa syukur.

Berbagai jenis sayuran yang digunakan dalam gudangan melambangkan keberagaman, sementara sambal kelapa yang pedas menyimbolkan kehidupan yang penuh tantangan.

Meskipun berasal dari Jawa Tengah, nasi gudangan kini telah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Setiap daerah memiliki variasi nasi gudangan yang berbeda-beda, baik dari segi jenis sayuran yang digunakan maupun bumbu yang ditambahkan. Namun, satu hal yang pasti, nasi gudangan selalu menjadi hidangan yang istimewa dan penuh makna.

Akhirnya Aku Kembali Jatuh Cinta

Seusai menikmati nasi gudangan kembali di rumah teman, aku kembali mengingat momen-momen saat dulu. Saat-saat dimana aku dan teman-teman begitu menikmati kebersamaan. Main bareng, ngaji bareng, jajan bareng. Tak banyak masalah berat. Masalah terberat saat itu adalah minggu sore, karena tahu besok pagi harus sudah kembali sekolah, sementara PR belum sudah.

Pada akhirnya... kok aku kangen lagi nasi gudangan yaa. Tampaknya aku kembali jatuh cinta, kesederhanaannya membuatku tak bisa berpaling. 

Nasi gudangan, aku padamu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun