Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan

Saya adalah seorang ayah dari 5 anak dan suami dari 1 orang istri. Aktivitas sehari-hari sebagai dosen statisika yang selalu berkutat dengan angka, sehingga perlu hiburan dengan bermain tenis meja. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Inspirasi Kajian Jumat Pagi: Mengurai Falsafah Islam dan Kebahagiaan

17 Januari 2025   11:51 Diperbarui: 17 Januari 2025   19:04 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seperti biasa tiap Jumat pagi, suasana di kampus Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan (ITBMG) terasa berbeda. Tidak seperti hari-hari lain, Jumat pagi para dosen sudah mulai berdatangan. Udara masih sejuk, suasana pagi masih terasa segar, dan ruang rapat mulai penuh dengan dosen serta tenaga kependidikan yang antusias mengikuti kegiatan Kajian Jumat Pagi. Seolah pagi ini, semangat mencari ilmu memenuhi setiap sudut ruangan.

Dr. Noor Hamid, dosen AIK dan Kemuhammadiyahan yang sudah dikenal dengan obrolannya yang renyah dan menggugah, hadir sebagai pembicara. Tema yang dibahasnya kali ini menyentuh banyak hal tapi hanya empat topik yang saya ingat: syukur, falsafah Islam, kebahagiaan, dan salah satu bagian dari kitab Kitabul Masyail Khomsah yaitu diinul Islam. Dari awal, beliau menyapa hadirin dengan senyum dan candaan ringan yang segera mencairkan suasana.

Dalam salah satu kesempatan, Dr. Noor Hamid menjelaskan tentang kebahagiaan dan falsafah Islam. Beliau menguraikan bahwa kebahagiaan terletak pada ridho kita terhadap ketentuan Allah. Kalau kita ridho maka kita akan bahagia. Kalau kita ridho maka Allah akan ridho, dan pada akhirnya akan membuat kita bahagia. Beliau mencontohkan, orang kere (miskin) kalau ridho dengan kekereannya maka dia akan bahagia, begitu kata beliau. Sementara itu berkaitan dengan falsafah Islam, dijelaskan bahwa falsafah islam berbeda dengan falsafah barat. Falsafah barat mengajarkan kebebasan sedang falsafah islam mengharuskan kita tunduk dengan Al Quran dan As Sunah. Sebenarnya bahasan beliau ini menarik, namun sayang karena waktu yang terbatas, semua uraian disampaikan secara kurang mendalam.

Apa yang disampaikan Dr. Noor Hamid ini mengingatkan saya pada buku yang pernah saya baca tentang falsafah Islam dan kebahagiaan. Dalam kitab mafahim Islam karangan An Nabhani, disebutkan bahwa falsafah islam adalah masjul madah bir-ruh (penggabungan antara materi dengan ruh).

Istilah masjul madah bir-ruh (penggabungan materi dengan ruh) merupakan salah satu konsep mendasar yang menggambarkan falsafah Islam secara ringkas namun mendalam. Konsep ini menunjukkan bagaimana Islam memandang kehidupan dan membentuk pola pikir umatnya.

Pada konsep masjul madah bir-ruh dalam falsafah islam, madah (materi) meliputi semua aspek kehidupan duniawi: manusia, pekerjaan, harta, makanan, pakaian, hubungan sosial dan sebagainya. Sedangkan ruh adalah kaunul asy-syia' makhluqotan li khaliqin yaitu kesadaran manusia tentang hubungannya dengan Allah SWT, bahwa segala sesuatu itu adalah ciptaan (makhluq) dan Allah SWT adalah Pencipta (Al Khaliq). Dengan kata lain, ruh adalah kesadaran bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah, yang harus senantiasa tunduk kepada Penciptanya. Jadi masjul madah bir-ruh berarti memadukan atau menyelaraskan seluruh aspek duniawi dengan aturan Allah SWT dalam segala aktivitas manusia.

Bagaimana penerapan konsep masjul madah bir-ruh ini? Penerapannya tentu mencakup seluruh aktivitas manusia. Contoh bekerja: pekerjaan mencari nafkah tidak hanya dianggap sebagai aktivitas ekonomi, tetapi juga sebagai ibadah, asalkan dilakukan dengan cara yang halal sesuai aturan Allah.

Dalam berkeluarga: memelihara keluarga bukan sekedar memenuhi tanggung jawab sosial, tetapi merupakah ibadah jika didasari niat mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam pemanfaatan harta: kekayaan tidak dipandang buruk, tetapi penggunaannya harus sesuai dengan aturan Islam seperti berinfak, zakat dan menghindari riba.

Dalam pemerintahan dan politik: aktivitas politik dalam islam juga bagian dari ibadah asalkan dilakukan sesuai aturan Allah, seperti menegakkan syariah dan keadilan dalam Masyarakat.

Dengan demikian, Islam memandang materi bukan sebagai tujuan hidup, tetapi sebagai sarana yang harus digunakan sesuai dengan aturan Allah. Islam tidak memisahkan aspek material (duniawi) dari aspek spiritual (akhirat). Segala sesuatu yang bersifat duniawi memiliki nilai spiritual jika diniatkan untuk ibadah kepada Allah SWT. Konsep ini menolak dualisme pemisahan antara agama dan dunia, antara spiritualitas dan materialisme, sebagaimana yang sering ditemukan dalam filsafat Barat dalam konsep sekulerisme yang memisahkan agama dari dunia.

Dalam pandangan Islam, setiap tindakan materiil dianggap memiliki dimensi ruh jika dilandasi oleh niat untuk menjalankan perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya.

Jadi, Falsafah Islam sebagaimana tercermin dalam konsep masjul madah bir-ruh, menegaskan bahwa kehidupan manusia harus mencerminkan keseimbangan dan harmoni antara materi dan ruh. Aktivitas duniawi tidak terlepas dari pertimbangan ukhrawi, dan kehidupan spiritual diwujudkan dalam aktivitas nyata di dunia. Hal ini membuat Islam relevan untuk semua aspek kehidupan dan mendorong umatnya menjadi individu yang produktif dan bertakwa.

Lantas bagaimana hubungan antara falsafah islam dengan kebahagiaan?

Falsafah Islam memberikan kerangka pemikiran yang mendasari cara manusia mengejar dan memahami kebahagiaan sejati. Kebahagiaan, dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang diukur berdasarkan pencapaian materi atau kesenangan duniawi semata, melainkan suatu kondisi ketika seseorang hidup sesuai dengan ketentuan Allah SWT, sehingga mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Hubungan antara falsafah islam dengan kebahagiaan bisa dijelaskan pada poin-poin berikut ini:

1. Kebahagiaan Sejati Berbasis Akidah Islam

Falsafah Islam mendasarkan kebahagiaan pada akidah Islam. Akidah ini meyakini bahwa hidup manusia memiliki tujuan utama, yaitu mencari ridha Allah dan persiapan menuju kehidupan abadi di akhirat. Dalam kitab Mafahim Islamiyah, An-Nabhani menegaskan bahwa manusia hanya akan menemukan kebahagiaan sejati jika ia memahami hakikat dirinya, asal-usul penciptaannya, serta tujuan akhir hidupnya. Semua ini terangkum dalam akidah Islam.

2. Konsep Dunia sebagai Sarana

Dunia, dalam falsafah Islam, dipandang bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai sarana menuju kebahagiaan abadi. Karenanya, keberhasilan seseorang dalam hidup tidak diukur dari jumlah kekayaan, pangkat, atau popularitasnya, melainkan dari bagaimana ia memanfaatkan dunia untuk mendapatkan ridha Allah. Mengejar materi tanpa memperhatikan dimensi spiritual (hubungan dengan Allah) hanya akan menghasilkan kebahagiaan semu, yang sering kali diiringi kekecewaan dan keresahan.

3. Keselarasan Materi dengan Ruh

Sebagaimana konsep masjul madah bir-ruh, falsafah Islam menyelaraskan kebutuhan material (madah) dengan kebutuhan ruhiyah (ruh). Keseimbangan ini adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan yang menyeluruh. Manusia perlu memenuhi kebutuhan fisik, seperti makan, minum, dan tempat tinggal, tetapi semua itu harus dilakukan dalam kerangka kepatuhan kepada aturan syariat. Dengan demikian, setiap aktivitas duniawi memiliki nilai ibadah.

4. Kebahagiaan dan Hubungan Manusia dengan Allah

Dalam pandangan An-Nabhani, hubungan manusia dengan Allah adalah inti dari kebahagiaan. Jika seorang hamba merasa dekat dengan Tuhannya, ia akan mencapai kedamaian dan ketentraman, meskipun menghadapi cobaan atau keterbatasan material.

"Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28).

5. Akhirat sebagai Kebahagiaan Tertinggi

Falsafah Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan tertinggi adalah kebahagiaan akhirat, yang diwujudkan dalam bentuk kehidupan kekal di surga. Fokus yang berlebihan pada kehidupan dunia dapat menghalangi seseorang dari mencapai kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu, seorang Muslim harus selalu menjadikan akhirat sebagai orientasi utamanya, tanpa mengabaikan dunia.

Dengan falsafah ini, Islam menjawab kegelisahan eksistensial manusia, sehingga mereka mampu menjalani hidup dengan penuh makna, kedamaian, dan kebahagiaan sejati yang melampaui batas materi dan duniawi.

Kita tunggu materi kajian Jum'at pagi minggu depan. 

Kajian Jumat Pagi 17/1/2025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun