Mohon tunggu...
Hadi Samsul
Hadi Samsul Mohon Tunggu... PNS -

HS try to be Humble and Smart

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Ada Apa dengan Bulutangkis Indonesia?

30 Oktober 2016   15:53 Diperbarui: 30 Oktober 2016   16:14 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulutangkis adalah salah satu cabang olahraga yang sangat populer di Indonesia (selain sepakbola tentunya). Hampir pada setiap pertandingan event internasional, atlet bulutangkis Indonesia selalu berhasil mengibarkan sang merah putih dan mengumandangkan lagu Indonesia raya di negeri orang. Sejak tahun 1970-an, atlet bulutangkis Indonesia selalu berhasil menjadi pemuncak pada berbagai kejuaraan. Sebut saja Christian Hadinata, Lim Swie King, Icuk Sugiarto, Rudy Hartono, Ivana Lie, Susy Susanti, Alan Budikusuma, Ardi Wiranata, Haryanto Arbi, hingga Ricky Subagja/Rexy mainaki, silih berganti mengharumkan nama Indonesia pada event-event kejuaraan bulutangkis internasional.

Estafet prestasi atlet-atlet bulutangkis Indonesia berjalan mulus sejak era Christian Hadinata hingga era Taufik Hidayat. Bahkan pada tahun 90-an, perbulutangkisan Indonesia mengalami puncak kejayaannya. Tiongkok, Korea, dan Jepang, yang kini merajai perbulutangkisan dunia, sempat bertekuk lutut di tangan atlet-atlet Indonesia saat itu.

Begitu pula di tahun 2000-an, Taufik Hidayat dan Hendra Setiawan/Markis Kido turut mengharumkan prestasi Indonesia pada event badminton internasional, termasuk pada Olimpiade. Dan yang terbaru adalah pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang berhasil mengumandangkan lagu Indonesia raya ketika merebut medali emas pada Olimpiade Rio de Janeiro, Brazil, Agustus lalu.

Jika saya amati, memang persaingan di dunia bulutangkis saat ini sangat ketat. Prestasi atlet dari berbagai negara sudah merata dan mampu bersaing. Thailand misalnya, kini mempunyai Ratchanok Intanon di sektor tunggal puteri. Atau Denmark yang memiliki pasangan kuat Joachim Fiescher Nielsen/Christina Pedersen yang baru saja menjuarai kejuaraan Denmark Super Series Premier. 

Bahkan Spanyol, yang sebelumnya tidak pernah berprestasi pada kejuaran bulutangkis, kini mampu berbicara di level dunia melalui Carolina Marin di tunggal puteri. Pemerataan kekuatan inilah yang patut diwaspadai oleh PBSI selaku motor pengelola perbulutangkisan di Indonesia.  

Sejak berakhirnya perhelatan bulutangkis Olimpiade Rio, Agustus lalu, prestasi bulutangkis Indonesia seperti mengalami penurunan. Entah karena masih merasakan euforia kemenangan Owi/Butet, atau memang sedang apes, beberapa kali penyelenggaraan kejuaraan internasional (terutama level super series/super series premier), Indonesia tidak mampu membawa pulang titel juara. Level super series dan super series premier adalah level tertinggi pada kejuaraan bulutangkis internasional.

Pada empat kejuaraan level super series/super series premier (SS/SSP) yang digelar pascaolimpiade, Indonesia pulang dengan tangan hampa. Tanpa gelar juara. Sebut saja pada Japan Open SS, atlet Indonesia harus tersingkir di babak semifinal. Hendra/Ahsan harus bertekuk lutut di tangan atlet muda Tiongkok, Li Junhui/Liu Yuchen dengan skor 21-13, 18-21, dan 21-15. Kondisi serupa terjadi pada Korea Open SS yang dihelat pada akhir september hingga awal Oktober. 

Indonesia yang hanya diwakili Hendra/Ahsan, lagi-lagi harus tersingkir di babak perempatfinal. Lagi-lagi Hendra/Ahsan ditekuk oleh Li Junhui/Liu Yuchen dengan 21-16, 21-11.

Kemudian pada Denmark Open Super Series Premier yang digelar minggu lalu, lagi-lagi Indonesia berhasil menembus babak semifinal. Namun gagal membawa pulang gelar juara setelah Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi serta Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari, yang menembus babak semifinal, kalah dari lawannya masing-masing. Angga/Ricky kalah dari pasangan Thailand Bodin Issara/Nipitpon Phuangphuapet. Sedangkan GreysNit kalah dari pasangan Korea, Jung Kyung Eun/Shin Seung Chan.

Dan yang terbaru adalah French Open Super Series yang masih digelar hingga hari ini (30/10). Lagi-lagi Indonesia pulang tanpa membawa gelar setelah satu-satunya pasangan yang menembus babak semifinal, harus kalah. Angga/Ricky lagi-lagi harus menelan pil pahit dari pasangan Thailand yang mengalahkannya di Odense, Denmark. Angga/Ricky yang sempat unggul 19-16 di set ketiga, kembali harus mengakui keuletan Bodin Issara/Nipitpon Phuangphuapet dengan skor menyakitkan 18-21, 21-17, dan 19-21.

Memang, pada level di bawah SS dan SSP, kerja keras atlet Indonesia membuahkan hasil. Sebut saja pada kejuaraan Indonesia Master (level Grandprix Gold. Satu level di bawah SS). Indonesia berhasil membawa dua gelar, masing-masing dari ganda campuran dan ganda putera. Dari ganda campuran pasangan Ronald Alexander/Melati Daeva Oktavianti mempecundangi ganda campuran negeri jiran Malaysia, Kiang Meng Tan/Pei Jing Lai, dengan skor 21-16 dan 21-17.  Sedangkan di sektor ganda putera, pasangan dadakan Wahyu Nayaka/Kevin Sanjaya menang atas Han Chengkai/Zhou Houdong (Tiongkok) dengan 21-16 dan 21-18.

Juga pada kejuaraan Thailand Grand Prix Gold Indonesia merebut juara di ganda putera setelah pasangan Berry Angriawan/Rian Agung Saputro menang atas Takuto Inoue/Yuki Kaneko  (Jepang) 17-21 21-14 21-18.

Meski pada empat turnamen SS/SSP terakhir, Indonesia gagal membawa pulang gelar. Saya sangat mengapresiasi kerja keras jajaran atlet, pelatih, dan pengurus PBSI yang telah mengharumkan nama negara kita di level Internasional. Di tengah-tengah ketatnya persaingan perbulutangkisan dunia, pada tahun 2016 ini Indonesia masih berhasil membawa satu medali emas Olimpiade, enam gelar SS/SSP, beberapa gelar level Grand Prix Gold (GPG), dan Grand Prix (GP), serta beberapa gelar pada level Internasional Challenge (IC). 

Namun demikian, di tengah keberhasilan tersebut, agaknya Pengurus dan Pelatih perlu terus melakukan evaluasi terhadap kondisi perbulutangkisan Indonesia. Terutama setelah kegagalan beruntun di empat turnamen super series dan super series premier.

Sebagai seorang penggemar dan pemerhati bulutangkis Indonesia, saya hanya bisa sumbang saran dan pemikiran yang mungkin bisa menjadi masukan bagi pengurus dan atlet bulutangkis Indonesia. Terutama bagi pak Gita Wirjawan yang masih menjadi pucuk pimpinan di PBSI. Ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi bahan masukan bagi PBSI:

1. Secara teknis, permainan atlet bulutangkis Indonesia tidak jauh berbeda dengan teknis permainan yang diterapkan atlet-atlet dari negara Tiongkok, Korea, Jepang dan negara lainnya. Yang perlu ditingkatkan adalah endurance (daya tahan) dan daya juang pada saat bertanding. Tidak boleh menyerah sebelum point terakhir.

Tadi malam, saya menonton pertandingan antara Chen Qingchen/Jia Yifan melawan pasangan nomor satu dunia asal negeri sakura, Ayaka Takahashi/Misaki Matsutomo. Semangat juang Chen/Jia yang tidak mudah menyerah meski sudah terdesak, berhasil membalikan keadaan. Dari hampir kalah, menjadi memenangi pertandingan. Semangat seperti inilah yang belum dimiliki para atlet Indonesia (setidaknya dari pengamatan saya).

Berkebalikan dengan atlet Jepang dan Tiongkok, atlet muda kita malah sering mati sendiri ketika poin-poin kritis. Ketegangan yang melanda di poin-poin akhir masih menjadi momok. Padahal angka 19 dan 20 belumlah akhir dari pertandingan. Angka masih bisa berbalik untuk menguntungkan lawan jika atlet muda kita keburu merasa menang, atau keburu merasa tegang dan grogi berlebihan.

2. Selain semangat juang yang perlu ditingkatkan, para pelatih dan pengurus PBSI perlu memupuk dan meningkatkan motivasi serta mental juara para atlet muda Indonesia untuk tidak takut menghadapi lawan manapun. Saya teringat sebuah komentar dari maestro bulutangkis puteri, Susy Susanti. Ketika dia turun ke lapangan, 

Susy tidak pernah menganggap enteng lawan, tapi tidak juga menganggap lawannya lebih unggul sebelum pertandingan dimulai. Mental seperti inilah yang perlu digelorakan kepada atlet-atlet muda Indonesia. Ingat, Indonesia pernah menjadi ancaman berbahaya bagi bulutangkis Tiongkok, Denmark, Jepang, dan Korea. Kita sejajar dengan mereka. Jadi tidak ada alasan bagi atlet-atlet bulutangkis muda untuk merasa kalah sebelum pertandingan dimulai. Nama-nama besar para unggulan, bukan jaminan bahwa pemain non unggulan akan kalah. Buktinya Chen qingchen/Jia Yifan bisa menang lawan Ayaka/Misaki. Jika mereka bisa, seharusnya atlet kita juga bisa. Caranya bagaimana? Rajin berlatih tentu saja.

3. Point ketiga adalah pola pembibitan atlet pembinaan atlet muda.

Pembibitan atlet muda sebaiknya dilakukan secara berjenjang. Memang beberapa klub badminton telah melakukan pembibitan atlet secara mandiri. Sebut saja klub Djarum yang setiap tahun mencari bibit-bibit unggul atlet bulutangkis melalui audisi beasiswa bulutangkisnya. Bibit-bibit unggul tersebut kemudian digembleng secara serius. Tak jarang klub Djarum mengirimkan atletnya ke turnamen internasional dengan biaya mandiri. Peran klub-klub seperti ini sangat membantu dalam pembibitan atlet muda. Bahkan tidak jarang atlet-atlet dari klub Djarum Kudus, Jaya Raya Jakarta, Mutiara Bandung, menjadi langganan penghuni pelatnas dan mampu berbicara di level dunia.

Meskipun sudah ada klub-klub bulutangkis langganan pencetak atlet, namun sebaiknya PBSI tidak hanya mengandalkan klub-klub tersebut untuk membibitkan atlet-atlet muda. PBSI agaknya perlu serius dalam mencari bibit melalui organisasinya yang ada di daerah. Kenapa tidak, PBSI membina klub-klub kecil yang tersebar di penjuru kabupaten/kota yang ada di Indonesia. 

Jika saja ada political wil dari Kemenpora (selaku induk dari seluruh pengurus cabang olahraga) untuk meningkatkan pembinaan bulutangkis di daerah, bukan tidak mungkin ke depannya akan bermunculan atlet-atlet tangguh. Caranya bagaimana? Mungkin perlu adanya instruksi dari kementerian pemuda dan olahraga kepada Dinas Pemuda dan Olahraga yang ada di daerah (Provinsi dan Kab/Kota) agar pengurus PBSI di daerah  membina, setidaknya, 1 klub badminton percontohan di daerahnya.

Kemudian PBSI perlu lebih banyak menyelenggarakan turnamen-turnamen bulutangkis di daerah untuk menjaring talenta-talenta muda. Teknisnya bisa bekerja sama dengan pihak swasta sebagai sponsor penyelenggaraan turnamen. Atau mungkin perlu membangun gedung bulutangkis berstandar internasional di tiap Kabupaten untuk merangsang prestasi atlet daerah. Namun ini akan memerlukan biaya yang sangat besar.

Selama ini PBSI memusatkan pelatihan (pelatnas) di Jakarta. Padahal Indonesia terdiri dari 34 provinsi. Dan saya yakin, di antara jutaan anak muda Indonesia, pasti ada bibit-bibit unggul calon atlet yang memiliki talenta bagus. Hanya saja karena keterbatasan akses mereka menuju klub-klub di kota besar, akhirnya talenta-talenta tersebut tetap tersembunyi. 

Oleh karena itulah sebaiknya pemusatan pelatihan disebar ke daerah-daerah/provinsi. Pembinaan di tingkat daerah bisa dimulai dengan membangun pusat pelatihan bulutangkis daerah (minimal di provinsi) atau melalui klub-klub bulutangkis binaan Pengurus PBSI tingkat kabupaten.

4. Atlet bermain rangkap. Terutama di sektor puteri.

Atlet ganda puteri sebaiknya bermain rangkap untuk meningkatkan intuisi bertanding. Beberapa negara menerapkan hal seperti ini, dan hasilnya sangat baik. Sebut saja Zhao Yunlei yang bermain rangkap di ganda puteri dan ganda campuran. Selain Yunlei, ada Yu Yang,  Ge Fei (Tiongkok), Cung Myung Hee, Kim Hana (Korea), Christina Pedersen, Kamila Rytter Juhl (Denmark). 

Selain memiliki endurance yang lebih baik, intuisi mereka dalam bertanding juga semakin tajam. Sayang sekali jika atlet-atlet bulutangkis kita langsung diarahkan pada spesialisasi tertentu. Karena belum tentu talenta mereka akan tampak jika hanya pada satu spesialisasi saja. Hal ini sudah terbukti pada Liliyana Natsir dan Vita Marissa. Vita dan Liliyana bermain di ganda campuran dan ganda puteri. Dan di nomor ganda puteri mereka pernah menjadi salah satu pasangan ganda puteri yang ditakuti negara lain.

Untuk menurunkan pemain rangkap, sebaiknya kita meniru strategi negeri Tiongkok dalam memasangkan atlet-atletnya. Dari dua orang yang berpasangan ganda puteri, biasanya hanya satu orang yang bermain rangkap. Contohnya pasangan Zhao Yunlei/Tian Qing, hanya Zhao Yunlei yang bermain rangkap di nomor ganda puteri dan ganda campuran. Yunlei bermain rangkap sebagai playmaker di dua nomor tersebut. Sedangkan Tian Qing difokuskan sebagai eksekutor. Hasilnya, Tian/Zhao menyabet berbagai gelar juara. 

Begitu pula dengan Yu Yang. Sebelum eksis di nomor ganda puteri, Yu Yang pernah dipasangkan sebagai pemain ganda campuran bersama He Hanbin. Terbukti, intuisi Yu Yang semakin tajam dalam setiap pertandingan. Dipasangkan dengan pemain puteri manapun, Yu Yang selalu menjadi playmaker yang baik. Du Jing/Yu Yang menyabet medali Olimpiade, Wang Xiaoli/Yu Yang menyabet aneka gelar bergengsi dunia, dan terakhir Tang Yuanting/Yu Yang meroket ke peringkat dua dunia dalam waktu singkat. Bahkan saat ini Denmark sudah mulai menerapkan bermain rangkap kepada para atletmudanya. Atlet puteri Denmark bermain rangkap di sektor tunggal dan ganda. Strategi seperti inilah yang perlu diterapkan kembali kepada atlet putera puteri kita.

5. Peningkatan latihan fisik dan kedisiplinan.

Untuk meningkatkan stamina atlet yang bermain rangkap tersebut, maka latihan fisik perlu ditingkatkan. Tidak hanya bagi atlet yang bermain rangkap saja, tapi bagi seluruh atlet. Latihan-latihan fisik yang dapat meningkatkan daya tahan atlet, perlu terus diberikan. Salah satu ilustrasi adalah Carolina Marin yang pernah memposting foto dirinya yang berlatih dengan pasir pantai. Marin menggunakan pasir pantai tersebut untuk melatih kecepatan lari di lapangan (footwork). Hasilnya, Marin selalu tampil lincah pada setiap pertandingan. Latihan-latihan seperti ini seharusnya mulai diterapkan bagi atlet-atlet Indonesia. Selain itu, faktor nutrisi juga perlu diperhatikan agar stamina atlet lebih terjaga.

Selain latihan fisik, faktor kedisiplinan atlet juga perlu mendapatkan pemantauan dari PBSI.

6. Fokus

Yang terakhir adalah Fokus para atlet yang perlu ditingkatkan pada saat akan mengikuti suatu turnamen. Hal-hal yang dapat menjadi distraksi bagi atlet, sebaiknya diminimalisir ketika akan menghadapi turnamen. Hal yang menjadi distraksi fokus atlet tersebut biasanya berasal dari media sosial, entah Facebook, Twitter, maupun Instagram.

Saya amati, atlet-atlet muda Indonesia sering sekali bermain instagram. Entah setelah latihan rutin, latihan menjelang turnamen, bahkan pada saat turnamen (kalah di babak awal, langsung foto jalan-jalan). Memang, bermedia sosial seperti ini bisa menjadi hiburan di kala jenuh. Para atlet bisa berinteraksi dengan fans, namun keseringan berkegiatan bermedia sosial seperti ini akan mengganggu konsentrasi sang atlet dan pada akhirnya mereka tidak fokus dalam menghadapi pertandingan. 

Mungkin hal ini akan dibantah oleh para atlet, namun saya memiliki pandangan lain. Contoh saja Liliyana Natsir. Sebelum berangkat ke Olimpiade Rio, Butet offmain instagram dan medsos lainnya selama beberapa waktu. Butet fokus menyiapkan diri untuk momen di Rio. Dan hasilnya emas Rio berhasil dia bawa pulang. Dan baru setelah menjadi juara, Butet kembali aktif di medsos untuk menyapa fans dan menunjukan rasa bahagianya meraih medali emas.

Liliyana Natsir berfoto bersama rekan-rekan tim bulutangkis di Rio de Janeiro (sumber: Instagram Liliyana Natsir)
Liliyana Natsir berfoto bersama rekan-rekan tim bulutangkis di Rio de Janeiro (sumber: Instagram Liliyana Natsir)
Selain enam poin tersebut, beberapa hal teknis terkait kegagalan atlet kita di level super series harus dievaluasi secara menyeluruh agar bulutangkis Indonesia kembali meraih kejayaannya. Enam poin di atas hanyalah sedikit masukan saja dari seorang pecinta bulutangkis yang merindukan euforia kemenangan dari setiap turnamen yang disiarkan di Televisi. Semoga terbaca oleh pengurus PBSI.

Sekian. (HS, 2016)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun