Mohon tunggu...
Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis

Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pancasila Visi Politik Bangsa Indonesia

10 September 2020   23:09 Diperbarui: 28 September 2020   20:06 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konstruksi masyarakat Indonesia dikenal multirasial, multietnik, multikultural, multiagama, dan seterusnya. Di negeri ini hidup berbagai jenis Homo Sapiens dengan beragam ciri fisik, beraneka latar suku, bermacam adat istiadat terkait agama dan budaya serta strata sosial yang kaya akan potensi peradaban. Dalam kemajemukan inilah tersemat satu identitas kebangsaan: Indonesia.

Bangsa ini juga dimaklumi kaya akan pengalaman, baik dalam wujud kegetiran maupun kesentosaan hingga keajaiban.

Kegetiran dialami bangsa ini di masa kolonialisme: selain dijajah dan ditindas serta banyak kekayaan ibu pertiwi kala itu diambil paksa, anak-anak dari bangsa ini juga dipecah belah dan diadu domba, golongan satu dibenturkan dengan golongan lainnya. Pengalaman getir ini bisa dikatakan adalah kunci picu menuju lahirnya Indonesia Merdeka.

Jauh sebelumnya, kesentosaan digambarkan menjadi ciri dari "pakaian hidup" bangsa-bangsa Nusantara, sebuah istilah memorial yang kerap digunakan untuk menggambarkan kejayaan masa silam Indonesia. Tentu saja kesentosaan atau kejayaan dimaksud seturut konteks zamannya, yang tak patut disepadankan dengan konteks kekinian. Namun sebagai pengalaman, kesentosaan itu tetap bisa jadi acuan bagi peradaban masa depan.

Pun tak selayaknya diabaikan, keajaiban-keajaiban yang melatari dan mewarnai konteks keindonesiaan kita: dari hal-hal magis seperti keajaiban bambu runcing melawan bedil dan meriam hingga hal-hal heroik melalui pekik "merdeka atau mati." Tak dimungkiri magitasi dan heroisme ini adalah bagian dari pengalaman bangsa Indonesia.

Dari konstruksi kemajemukan disertai berbagai pengalaman bersama itulah, visi Indonesia Merdeka ditancapkan di tanah Nusantara dengan lima asas filosofis; benih yang mengakar, berfungsi sebagai basis ideologi dan sekaligus pedoman dalam mewujudkan cita-cita kebangsaan.

Lima asas filosofis itu disepakati bernama: Pancasila, mencakup Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sila ini koheren; satu dengan lainnya saling kait-mengait, dan dalam praksisnya tidak saling mereduksi.

Visi Politik

Pancasila sebagai asas falsafah negara menanamkan lima butir mutiara bagi kebangsaan Indonesia, yang mencakup Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan sosial. Lima butir mutiara yang indah ini, menurut pengakuan Soekarno---sebagaimana diutarakan kepada Cindy Adams, dan ditulis dalam buku Sukarno an Autobiography as Told to Cindy Adams, New York: The Bobbs-Merrill Company Inc., 1965---merupakan hasil perenungan panjang, digali dari kedalaman bumi dan tradisi-tradisi Nusantara.

Pancasila sebagai basis ideologi negara berfungsi mengorientasikan kehidupan bangsa menuju cita-cita kemerdekaan: mewujudkan persatuan, menegakkan kedaulatan, mengupayakan keadilan dan kemakmuran.

Sebagai falsafah bangsa, Pancasila bukan asas biasa, melainkan juga merentang sebagai visi. Di sini kita dituntut mampu melihat dan mengidentifikasi inti dari persoalan-persoalan kebangsaan, baik berkaitan dengan masa lalu dan masa kini hingga ke masa depan.

Bangsa ini menyatakan kemerdekaannya "atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa"---perhatikan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea ke-3---melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, diikuti esok harinya dengan penetapan konstitusi. Ini merupakan pengakuan resmi negara dan seluruh elemen bangsa terhadap "kinerja" politik ketuhanan. Lalu diperkuat dengan tegas oleh Pasal 29 ayat (1) bahwa "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa."

Inilah asas dan falsafah kunci sekaligus visi politik utama dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu, seluruh praktik kenegaraan-kebangsaan "tidak dapat tidak" mengacu pada dan diarahkan untuk tegaknya ajaran-ajaran ketuhanan (agama)---baca: tidak antiTuhan (teisme).

Politik ketuhanan mengakselerasi pengembangan ajaran-ajaran agama dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara---bukan menyampingkan---dengan visi keesaaan (tauhid atau monoteisme). Karenanya patut disayangkan apabila praktik-praktik kenegaraan-kebangsaan menyisihkan elan-elan keagamaan dari ruang politik publik.

Kemerdekaan Indonesia dinyatakan "atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas." Artinya bahwa "keinginan luhur" yang diikhtiarkan oleh bangsa ini bertemu atau seiring dengan "rahmat Allah."

Pernyataan tersebut menghubungkan asas dan visi politik ketuhanan ("berkat rahmat Allah") dengan asas dan visi politik kemanusiaan, yakni keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Untuk itulah, bangsa ini menolak segala bentuk penjajahan---kolonialisme, imperialisme, dan semacamnya---dan harus terus berikhtiar untuk menghapuskannya dari muka bumi, demi tegaknya kemanusiaan yang adil dan beradab.

Ketuhanan dan kemanusiaan adalah asas dan visi universal yang harus selalu berkelindan, tak selayaknya dipisahkan. Visi ketuhanan menempatkan Tuhan sebagai pusat orientasi dari seluruh aktivitas kemanusiaan sehingga "rahmat" dan "keluhuran" bertemu dalam jiwa kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika asas dan visi politik ketuhanan sifatnya lebih ke spiritual-vertikal, maka asas dan visi politik kemanusiaan bersifat sosial-horizontal. Asas ini menunjuk pada nilai-nilai dasar menyangkut pemenuhan hak-hak asasi manusia dengan visi keadilan dan keadaban.

Politik kemanusiaan dalam kerangka Pancasila dituntut mampu menjembatani terpenuhinya kewajiban dan hak asasi manusia Indonesia (humanisme) secara adil dan beradab. Untuk itu, negara mesti hadir mengedukasi warganya dengan aturan-aturan (hukum) yang berkeadilan dan berkeadaban serta penegakannya (law enforcement) secara konsisten.

Indonesia adalah rumah bersama, tempat bagi seluruh anak bangsa bernaung, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, bergandeng tangan saling menyangga, holopis-kuntul-baris, berjuang bersama mewujudkan kedaulatan bagi kemajuan negara-bangsa (nation-state).

Tentu tak semua anak bangsa ini "good looking." Ada juga yang bandel laiknya "bad boy" dan kerap bikin ulah. Sebagian dari mereka khusyuk beragama, ada yang asyik bekerja, senang berkreasi, berprestasi dan menekuni profesi. Namun tak bisa dimungkiri, ada juga yang kurang beruntung, didera kemiskinan, hidup dalam keterbatasan.

Politik persatuan mengupayakan solidaritas dan menguatkan asas kebinekaan, meneguhkan loyalitas dengan visi kesatuan, merekatkan persaudaraan dalam bingkai kebangsaan Indonesia (nasionalisme) menuju tegaknya kedaulatan.

Kedaulatan negara-bangsa dalam konteks Indonesia mesti diwujudkan melalui dan menuju daulat rakyat. Bung Hatta menegaskan bahwa "kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan hidup sendiri yang bercorak kolektivisme" (Lihat, Demokrasi Kita: Idealisme dan Realitas serta Unsur yang memperkuatnya, Jakarta: Balai Pustaka, 2004).

Politik kerakyatan mengupayakan visi kesejahteraan (populisme) ala Indonesia: dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Inilah cita-cita dari demokrasi Indonesia. Bung Hatta menyebutnya "demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia," diarahkan menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Politik keadilan memperjuangkan kesetaraan sosial demi wujudnya visi keadilan bagi seluruh anak bangsa (egalitarianisme). Merupakan visi esensial mengenai eksistensi negara-bangsa Indonesia. Keadilan dimaksud meliputi seluruh aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila sebagai visi politik bangsa menghendaki rakyat Indonesia hidup merdeka dalam rahmat dan rida Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan; perwujudan luhur dari keadilan dan keadaban, merangkai persatuan dengan saling bergandeng tangan dalam menjaga kedaulatan, melaksanakan demokrasi sosial dengan mengedepankan hikmat-kebijaksanaan melalui jalur permusyawaratan/perwakilan, menuju tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun