Keberagamaan adalah hal yang niscaya, inheren dengan kemanusiaan. Setiap orang mengemban agamanya sendiri-sendiri, bisa sejalan dan sebangun dengan agama orang lain atau mungkin bersimpangan dan berseberangan. Beragama dalam konteks ini kita maknai sebagai energi kepercayaan.
Musibah---dalam pengertian bencana---apa pun bentuknya selalu menyentuh ranah kepercayaan. Karena itu, respons setiap orang terhadap musibah yang menimpa tak pernah seragam. Ada orang yang panik sampai hilang kendali, ada juga yang sejurus panik lalu dengan segera mampu menguasai diri. Pada kasus lain saat musibah menimpa seseorang bisa jadi diliputi ketenangan, tak tampak adanya kegelisahan maupun kepanikan.
Energi kepercayaan dalam diri seseorang sangat menentukan refleksinya saat merespons musibah. Respons terhadap pandemi Coronavirus disease 2019 (Covid-19), misalnya, meski situasi umum terkesan mencekam, situasi internal pada tiap-tiap individu bisa dipastikan tak seragam. Indikasinya bisa dilihat pada sikap keseharian dari sebelum, pada saat, dan setelah musibah menimpa.
Situasi internal pada tiap-tiap individu ketika merespons peristiwa tertentu adalah cermin dari keberagamaan. Bisa terjadi pada seribu orang teridentifikasi dan dinyatakan positif terpapar Covid-19, karena energi kepercayaan dalam diri mereka tak sama, maka respons masing-masing dari mereka pun berbeda, bahkan meskipun agama formal yang mereka anut sama.
Ada beberapa soal yang membingkai kehidupan Homo Sapiens dalam kerangka kepercayaan akan Tuhan: Apakah benar Tuhan ada? Jika benar bahwa Tuhan ada, apakah keberadaan-Nya bersifat informatif atau objektif; politeistis atau monoteistis; dan apakah punya pengaruh (andil) terhadap organisme alam semesta? Bagaimana sesungguhnya Tuhan "bekerja" (faal) dalam memelihara dan mengendalikan alam semesta?
Kepercayaan akan Tuhan
Ilmu tentang kepercayaan kepada Tuhan dalam khazanah Islam sering dinamai Ilmu Tauhid, yakni ilmu mengesakan Tuhan. Menurut Syekh Muhammad Abduh (1265-1323 H / 1849-1905 M), Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud (eksistensi) Allah dan sifat-sifat yang wajib melekat pada-Nya serta sifat-sifat yang mustahil ada pada-Nya (Rislat al-Tauhd, Beirut-Kairo: Dr al-Syurq, 1414 H / 1994 M, hal. 17).
Pertama-tama ialah kepercayaan mengenai Allah antara ada (wujd) dan tiada ('adam). Pada umumnya kita percaya Allah wujud. Tetapi kepercayaan ini masih mengandung kemungkinan bercabang alias tidak murni, karena kerap disertai kepercayaan kepada yang lain-lain menyerupai kepercayaan kepada-Nya.
Inilah di antara problem dalam beragama yang sedari awal menjadi concern para Nabi dan Rasul sebagai pembawa dan penyampai berita dari Tuhan. Soal ini juga menyita perhatian banyak filsuf dalam upaya menemukan kebenaran tentang realitas sejati Tuhan.
Energi kepercayaan akan Tuhan bangun di atas tiga jalur: ateisme, politeisme, dan monoteisme. Pertama, ateisme merupakan kepercayaan akan ketiadaan Tuhan dan/atau kepercayaan bahwa senyatanya tidak ada apa yang disebut kekuatan Tuhan sebagaimana dipropagandakan kaum teis.
Mereka yang tidak percaya akan Tuhan biasa disebut kaum ateis, yakni orang-orang yang anti-Tuhan. Bagi mereka, apa yang disebut "Tuhan" itu hanyalah sebuah proyeksi yang diada-adakan oleh sebab ketidakmampuan manusia mengatasi problem hidupnya.
Kedua, politeisme yaitu kepercayaan multipel dengan relativisasi. Kepercayaan jalur ini---dalam khazanah keislaman disebut "syirik"---kerap menjadi persoalan dalam konteks beragama.Â
Tak sedikit orang beragama yang mengaku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (monoteisme), namun masih membuka peluang akan kepercayaan kepada wujud-kekuatan lain yang tampak dan/atau dianggap bersifat ketuhanan; atau menjelmakan (baca: menyekutukan) wujud-kekuatan Tuhan pada/dengan wujud-wujud-kekuatan selain Tuhan.
Ketiga, monoteisme ialah kepercayaan pada wujud Tuhan Yang Tunggal (ahad), menyeluruh (universal) dengan kekuasaan dan kehendak-Nya yang tanpa batas (unlimited), Mahasempurna; tiada padanan dan tak seperti yang dibayangkan atau dipikirkan oleh siapa pun (suprarasional). Maka apa pun persepsi dan/atau konsepsi tentang Tuhan sejatinya bukanlah Tuhan.
Tuhan dan Faal-Nya
Islam mengajarkan enam formula kepercayaan---yang dalam Teologi Asy'ariyah atau Akidah Islam Ahl al-Sunnah wal-Jam'ah disebut dengan Rukun Iman; yaitu kepercayaan kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, takdir baik dan buruk. Enam formula ini mengorganisasikan energi kepercaayan dalam diri Muslim.
Allah adalah sentral (main) dari energi kepercayaan Muslim. Sedangkan lima kepercayaan lainnya bisa dikatakan sebagai cabang (branch). Karena itu tiga kepercayaan berikutnya---yakni terhadap para malaikat, kitab-kitab, dan rasul-rasul---ditautkan kepada-Nya. Artinya bahwa tanpa kepercayaan kepada Allah, kepercayaan terhadap para malaikat, kitab-kitab, dan rasul-rasul tiada arti.Â
Lalu kepercayaan terhadap hari akhirat adalah konsekuensi ideal dari kepercayaan kepada Allah yang mendoktrinkannya, dan kepercayaan terhadap takdir baik dan buruk adalah wujud dari penerimaan akan faal-Nya.
Bagaimana Tuhan bekerja? Menurut Syekh Muhammad Abduh faal Allah berasal dari ilmu dan kehendak-Nya atas dasar ikhtiari (kebebasan). Karena itu, tak ada faal yang wajib (mengikat) bagi-Nya.Â
Maka apa pun faal-Nya---seperti mencipta, memberi rezeki, menyuruh, mencegah dan melarang, merahmati, menguji dan menimpakan bencana---merupakan ketetapan bagi-Nya dengan kemungkinan yang khusus. Dengan kata lain, faal Tuhan tak seperti diproyeksikan oleh akal dan logika makhluk.
Jadi Tuhan---dalam konteks alam semesta---telah menciptakan hukum-hukum tertentu yang memungkinkan alam semesta bekerja. Manusia didorong untuk menemukan hukum-hukum itu untuk kepentingannya. Dalam persoalan Covid-19, umat beragama dihadapkan pada dilema totalitas kepercayaan pada Tuhan dengan kemungkinan faal-Nya yang khusus dan loyalitasnya terhadap ajaran-ajaran yang diproyeksikan oleh akal dan logikanya.
Allah yang diyakini sebagai Tuhan Pencipta dan Pengatur alam semesta acap kali dipertanyakan eksistensi dan faal-Nya, terutama manakala terjadi peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan. Ketika Covid-19 (diberitakan) merebak menjadi pandemi, dan masyarakat dunia seakan kewalahan mengatasinya, timbul tanya: "mana Tuhan?" Tanya ini tentu berkaitan dengan kepercayaan akan Tuhan.
Di sisi lain mengemuka pula refleksi berujud doa-harapan serta permohonan petunjuk kepada Tuhan agar terhindar dan selamat dari musibah buruk. Refleksi doa-harapan ini pun berkaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan.
Jadi pada dasarnya eksistensi Tuhan yang didambakan manusia ialah Tuhan yang fungsional---Dia Sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta, yang secara khusus memberi petunjuk kepada manusia dalam melakoni kehidupannya.
Biasanya, orang yang merasai "fungsi" kehadiran Tuhan, energi kepercayaan dalam dirinya kuat. Sebaliknya, orang yang tidak merasa bahwa Tuhan hadir dalam kehidupannya, energi kepercayaan dalam dirinya cenderung ambyar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H