Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak-anak Desa yang Kini Tak Punya Halaman Tempat Bermain

25 Januari 2022   15:22 Diperbarui: 25 Januari 2022   17:58 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak yang sedang asyik bermain gawai. Pemandangan seperti ini jamak ditemukan di desa | Foto: Kompas.com

Membandingkan kebanyakan anak-anak desa sekarang, tidak jauh beda dengan mereka yang tinggal di lingkungan perumahan ataupun perkotaan. Kebiasaan mereka kini nyaris sama.

Salah satu tolok ukurnya, ketika libur sekolah, tidak sulit menemukan anak-anak yang duduk berkelompok. Baik di teras rumah maupun di warung kopi.

Tidak ada lagi suasana ngobrol dan bercanda seru seperti masa beberapa tahun dulu. Sulit menemukan anak-anak itu tengah asyik bermain permainan zaman dulu di teras rumah.

Kini, mereka merasa lebih menemukan keasyikan hanya dengan memegang dan memandangi gawainya masing-masing. Bermain lewat game di gawai mereka.

Itu temuan yang saya temukan di beberapa desa yang ada di sekitar perumahan yang saya tempati. Mungkin, di desa sampeyan (Anda), situasinya juga sama atau malah sangat berbeda.

Sebenarnya, mengapa anak-anak sekarang, terlebih yang tinggal di desa, tidak lagi memiliki 'privelege' sebagai anak desa sehingga tidak ada bedanya dengan mereka yang tinggal di perumahan?

Lingkungan Desa Berubah, Anak-anak Tak Punya 'Ruang Gerak'

Kenapa bisa seperti itu?

Jawaban paling mudah yang bisa disampaikan, zamannya memang sudah berubah. Tidak lagi seperti era 90-an dulu. Kebiasaan banyak orang pun mengikuti perubahan zaman.

Atas nama serba digital, ada banyak keluarga yang ketika berkumpul, justru serius memandangi layar gawainya masing-masing. Ada banyak anak yang merasa sudah terpuaskan ketika bermain dengan gawainya.

Namun, bila ditelisik lebih jauh, penyebab anak-anak desa kini tidak lagi mau bermain seperti dulu, tidak hanya disebabkan karena gawaisasi. Namun, juga karena lingkungan tempat tinggal mereka yang sudah berubah.

Jika dibandingkan dengan masa kecil saya dulu, anak-anak di desa sekarang tidak lagi punya privelege dalam hal menikmati masa kecil mereka.

Dulu, di masa tahun 90-an silam ketika saya masih bocah, desa adalah lingkungan terbaik bagi anak-anak seperti saya untuk bertumbuh.

Ada hamparan sawah yang menjadi 'taman bermain'. Ada sungai yang menawarkan kegembiraan melebihi wahana permainan manapun. Juga pohon-pohon teduh yang setiap saat bisa dipanjat.

Ada lapangan bola yang meski hanya sebatas tanah lapang ditumbuhi rumput dan gawangnya terbuat dari bambu diletakkan begitu saja, tetapi bagi kami kala itu serasa "stadion yang megah".

Dulu, hampir setiap rumah memiliki halaman terhampar luas. Di halaman itu, ketika sore ataupun di hari minggu, kami bisa bermain gobak sodor, benteng-bentengan, ataupun patel lele.

Kami juga beramai-ramai bermain gundu (kelereng) dan olok/umbul (kertas gambar). Bahkan, apapun bisa dijadikan mainan. Biji srikaya, tutup botol minuman, karet gelang, hingga bungkus rokok sekalipun, bisa diubah jadi permainan seru.

Ah, itu cerita dulu. Sekarang, itu sekadar tinggal kenangan yang hanya bisa diceritakan ke anak-anak zaman now.

Ketika berkunjung ke rumah ibu di desa, ketika memandangi halaman, kebun, sawah, dan lapangan, kilatan kenangan itu seketika muncul. Dan saya tahu, tidak mungkin kenangan itu terjadi lagi. Tidak juga mungkin direplikasi oleh anak-anak sekarang.

Kenapa?

Seperti yang saya tulis di paragraf sebelumnya, bukan hanya karena gawai. Tapi, juga karena lingkungan tempat tinggal mereka yang kini sudah berubah.

Sawah di belakang rumah yang dulu jadi tempat bermain layangan maupun berburu layangan putus, kini sudah berubah menjadi perumahan. Tidak ada lagi petak sawah.

Pohon-pohon yang teduh dan deretan pohon bambu, juga sudah lenyap. Ikut ditebang untuk jalan masuk ke perumahan. Tanah lapang yang dulu dipakai bermain bola, sudah berdiri bangunan megah.

Siapa pula yang mau bermain di sungai lha wong sungainya kini kotor dan dangkal. Dulu memang juga tidak bersih-bersih amat. Tapi air masih mengalir dan bebas sampah limbah.

Anak-anak sekarang juga tidak bisa lagi bermain di halaman rumah seperti dulu. Sebab, halaman rumahnya sudah berubah.

Demi mendapatkan cuan, banyak warga di desa saya dulu 'menyulap' halamannya menjadi minimarket, bangunan toko yang dikontrakkan ataupun disewakan untuk warung kopi.

Halaman rumah Haji Jamrawi dan Haji Mahfud yang saat saya masih bocah merupakan yang paling luas dibandingkan lainnya, kini sudah berubah menjadi kedai kopi dan warung ikan bakar.

Hampir semua halaman di kampung, kini sudah beralih fungsi menjadi lahan untuk mendapatkan cuan rutin tahunan. Memang hasilnya lumayan daripada sekadar tanah kosong.

Bangunan dengan luas 3x3 meter, 3x4 meter, atau 4x5 meter, cukup diberi fasilitas kamar mandi kecil, setahun bisa disewakan dengan harga sewa berkisar antara Rp 10 hingga Rp 18 juta.

Dengan jalan di kampung yang dulu sepi kini berubah ramai seperti jalan kota, tidak sulit bagi warga untuk 'menjual' bangunannya. Mereka yang ingin menyewa, datang sendiri.

Bahkan, akhir tahun kemarin, Mas Maman yang membangun toko di halaman rumahnya yang tepat di berada di kelokan, sudah laku sebelum bangunannya selesai dbangun.

"Tahu-tahu ada orang Surabaya datang Mas Hadi. Dia mau menyewa setahun Rp 18 juta untuk dagang frozen food. Padahal di sini rata-rata masih Rp 15-16 juta," ujar Maman, bercerita lepada saya.

Anak-anak Tidak Tahu Ada Permainan Lebih Asyik dari Gawai

Ketika sawah, tanah lapang, juga halaman rumah kini sudah berubah menjadi perumahan dan bangunan, anak-anak itu memang kehilangan tempat untuk bermain.

Mereka memang tinggal di desa. Namun, suasananya tidak lagi seperti desa. Bukan lagi desa yang dulu. Tetapi desa yang wajahnya sudah setengah kota.

Sawah-sawah yang separohnya sudah berganti perumahan. Lapangan bola yang entah hilang ke mana. Halaman pun kini berubah menjadi lahan berdagang.

Dengan situasi seperti itu, tidak mengherankan bila anak-anak itu tidak punya banyak pilihan untuk bermain. Palingan duduk bareng di teras ataupun di warung kopi sembari ngobrol game di handphone.

Bahkan, tidak jarang mereka yang rata-rata masih kelas 1, 3, 5 SD hingga 1 SMP itu "mencuri-curi" wifi gratis dari warung kopi di seberang jalan sekadar untuk bisa download game ataupun youtube-an.

Bila kebetulan sedang longgar, saya seringkali bercerita kepada mereka perihal masa lalu di kampung. Tentang bagaimana kondisi di kampung dulu. Juga tentang permainan anak-anak yang dimainkan di zaman dulu. 

Tak sekadar bercerita, saya terkadang mengenalkan kepada mereka tentang permainan itu. Di antaranya benteng-bentengan ataupun "tekongan" yang merupakan sedikit modifikasi dari permainan sembunyi-sembunyian.

Dan, karena mereka memang sama sekali belum mengenal permainan anak-anak zaman dulu, tidak mudah untuk mengajari mereka. Mulai dari mengenalkan "teori" dan tata cara permainan kepada mereka.

Ternyata lebih sulit daripada mereka memainkan game di gawai mereka.

Terkadang saya pun mengajak istri atau saudara untuk ikut bermain supaya mereka lebih cepat paham. Dan, setelah beberapa kali mencoba, mereka akhirnya paham.

Rasanya senang melihat wajah-wajah ceria penuh tawa ketika mereka memainkan permainan anak-anak itu.

Termasuk juga permainan sederhana "beradu tangan" yang bisa dibentuk gunting, kertas dan batu. Bahwa gunting 'menang' dari kertas, kertas menang dari batu dan batu menang dari gunting. Sederhana. Tetapi mereka bisa merasakan keseruannya.

Yang terjadi, mereka sampai ketagihan. Setiap saya ke sana, mereka pasti menagih untuk diajak bermain.

"Ayo om, main benteng-bentengan lagi". Atau, mengajak bermain "gunting kertas batu" itu dengan saya sebagai 'juri' nya. Beradu 10 kali lantas ketahuan siapa yang menang.

Ya, anak-anak itu sebenarnya bukan tidak mau bermain permainan zaman dulu. Tapi, banyak yang tidak tahu cara memainkannya.

Anak-anak itu bermain gawai bukan hanya karena senang, tapi juga karena tidak punya pilihan akan bermain apa karena lingkungan tempat tinggal mereka sudah berubah.

Jalanan depan rumah sudah ramai kendaraan. Mustahil bermain benteng-bentengan seperti dulu.

Sawah di belakang rumah sudah dijejali perumahan. Mau main layang-layang malah layangannya bakal menyangkut di kabel listrik.

Mau main bola di tanah kosong di perumahan, tentu tidak asyik. Lha wong lapangannya beralaskan paving. Bukan tanah rerumputan seperti dulu. Bila jatuh ya kaki langsung lecet dan berdarah.

Ah, apapun itu, semoga mereka tidak kehilangan karakter sebagai anak-anak yang santun dan hormat kepada yang lebih tua, senang membantu orang lain. Dan, ketika maghrib berlomba-lomba mendatangi masjid seperti dulu.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun