Namun, bila ditelisik lebih jauh, penyebab anak-anak desa kini tidak lagi mau bermain seperti dulu, tidak hanya disebabkan karena gawaisasi. Namun, juga karena lingkungan tempat tinggal mereka yang sudah berubah.
Jika dibandingkan dengan masa kecil saya dulu, anak-anak di desa sekarang tidak lagi punya privelege dalam hal menikmati masa kecil mereka.
Dulu, di masa tahun 90-an silam ketika saya masih bocah, desa adalah lingkungan terbaik bagi anak-anak seperti saya untuk bertumbuh.
Ada hamparan sawah yang menjadi 'taman bermain'. Ada sungai yang menawarkan kegembiraan melebihi wahana permainan manapun. Juga pohon-pohon teduh yang setiap saat bisa dipanjat.
Ada lapangan bola yang meski hanya sebatas tanah lapang ditumbuhi rumput dan gawangnya terbuat dari bambu diletakkan begitu saja, tetapi bagi kami kala itu serasa "stadion yang megah".
Dulu, hampir setiap rumah memiliki halaman terhampar luas. Di halaman itu, ketika sore ataupun di hari minggu, kami bisa bermain gobak sodor, benteng-bentengan, ataupun patel lele.
Kami juga beramai-ramai bermain gundu (kelereng) dan olok/umbul (kertas gambar). Bahkan, apapun bisa dijadikan mainan. Biji srikaya, tutup botol minuman, karet gelang, hingga bungkus rokok sekalipun, bisa diubah jadi permainan seru.
Ah, itu cerita dulu. Sekarang, itu sekadar tinggal kenangan yang hanya bisa diceritakan ke anak-anak zaman now.
Ketika berkunjung ke rumah ibu di desa, ketika memandangi halaman, kebun, sawah, dan lapangan, kilatan kenangan itu seketika muncul. Dan saya tahu, tidak mungkin kenangan itu terjadi lagi. Tidak juga mungkin direplikasi oleh anak-anak sekarang.
Kenapa?
Seperti yang saya tulis di paragraf sebelumnya, bukan hanya karena gawai. Tapi, juga karena lingkungan tempat tinggal mereka yang kini sudah berubah.