Rabu malam memang jadwalnya bermain bulutangkis dengan warga di perumahan yang saya tinggali. Kami biasanya bermain mulai jam 20.00 an hingga jam 23.00. Bilapun dalam semalam hanya bermain dua game (dua kali), tapi itu cukup menguras keringat.
Kebetulan, selepas bermain bulutangkis, masih menyibukkan diri di depan laptop. Memberesi tulisan teman-teman jurnalis muda di media lokal Sidoarjo yang saya besarkan bersama beberapa teman.
Biasanya, ketika Rabu saya sengaja mengosongkan jadwal demi fokus di rumah agar ketika malam tiba, urusan memberesi tulisan sudah kelar.
Tapi, karena Rabu kemarin seharian beraktivitas di luar rumah, malamnya masih berurusan dengan tulisan-tulisan itu. Dan, lembur absurd itulah yang membuat pertahanan tubuh saya jebol.
Drop. Daya tahan tubuh menurun. Sakit.
Apa yang salah?
Tentu saja karena memaksakan tetap bermain bulutangkis. Niatnya memang refreshing. Bermain plus ngobrol seru bareng tetangga setelah seharian beraktivitas di Surabaya.
Tapi itu keliru.
Badan capek ya seharusnya beristirahat. Bukan dipaksakan berolahraga. Meski itu menyenangkan.
Toh, bermain bulutangkis masih bisa di pekan berikutnya. Toh, refreshing bisa lewat jalan pagi keesokan harinya seperti biasanya.
Tapi memang, namanya penyesalan itu selalu datang setelah kejadian. Tidak di awal. Sebab, kalau sebelum kejadian, namanya bukan menyesal.