Usai berolahraga pagi di akhir pekan kemarin, sebelum masuk ke rumah, saya menyempatkan mengobrol dengan Bu Endang yang tengah asyik menyapu halaman rumahnya.
Obrolan biasa warga perumahan.
Perihal kondisi perumahan usai diguyur hujan deras sejak semalam. Tentang sampah yang terkadang diambil tidak tepat waktu oleh tukang sampah. Juga tentang kabar varian baru Covid-19 yang konon sudah masuk ke Indonesia.
Sebelum masuk ke rumah, saya kaget sekaligus penasaran ketika Bu Endang mendadak berujar minta maaf. Ada apa gerangan.
Ternyata, dia merasa tidak enak hati karena beberapa hari lalu meminta tukang kebersihan untuk membersihkan tempat sampah milik tetangga sebelah.
Lantas, oleh tukang kebersihan, sisa bersih-bersih itu ternyata dibuang di lahan kosong seberang rumah saya. Pantas, selama beberapa hari, baunya rada menyengat.
"Pak Hadi, saya mohon maaf pak. Saya sudah kasih tahu orangnya agar dibuang jauh atau dimasukkan kantong kresek agar diambil tukang sampah, kok malah dibuang ke situ," ujar Bu Endang.
Saya spontan berujar tidak mempermasalahkan itu. Memaklumi.
Malah, saya salut dengan kerendahan hati beliau yang meski jauh lebih senior dari saya tapi tidak gengsi meminta maaf.
Apalagi, itu sebenarnya bukan kesalahannya. Sebab, dia malah berinisiatif membersihkan bak sampah yang bukan miliknya karena menurutnya darurat dibersihkan.
Membangun relasi dengan tetangga
Itu sedikit gambaran relasi saya dengan Bu Endang, tetangga depan rumah.
Kami sudah bertetangga lebih dari 10 tahun. Selama itu, tidak ada masalah dalam relasi, solidaritas, dan toleransi. Meski kami sejatinya memiliki perbedaan.
Setiap tahun, ketika saya sekeluarga ber-Idul Fitri, Bu Endang merayakan Natal.
Seringkali, pagi setelah Shubuh, ketika lantunan ayat suci Al-Quran ataupun lagu nasyid menggema dari rumah kami, sementara di rumah Bu Endang sayup terdengar lagu rohani kristiani. Tentu dengan volume  yang 'ramah' di telinga.
Dulu, ketika di rumahnya ada kegiatan rohani dengan mengundang beberapa koleganya, dia berkabar kepada saya selaku tetangganya bahwa akan ada acara.
Ketika kami merayakan hari raya masing-masing, bila kebetulan tidak mudik, sebagai tetangga dekat, kami saling unjung-unjung ke rumah. Sekadar mengobrol perihal mudik ke rumah orang tua atau menanyakan kondisi anak dan cucunya sambil mencicipi kue kering. Kecuali tahun lalu, ketika pandemi Covid-19 sedang mengganas di wilayah kami.
Itu secuil bentuk toleransi di antara kami.
Dalam hal beragama, kami paham 'wilayah teritorial' masing-masing. Itu keyakinan masing-masing. Tak perlu dibahas. Seperti bunyi ayat terakhir di Surat Al Kafirun itu. Lakum Dinukum Waliyadin.
Namun, dalam hal relasi sosial, tidak ada perlakuan berbeda dengan tetangga lainnya. Mengutip ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Tholib, "mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan".
Tidak pernah semisal karena beda agama, lantas kami mencueki Bu Endang. Semisal tidak menghitung  Bu Endang ketika ada syukuran kecil-kecilan di rumah dengan berbagi nasi kotak ke para tetangga.
Pun, ketika ada pembagian daging kurban Idul Adha di perumahan kami, Bu Endang tak pernah terlewatkan dalam list warga yang mendapatkannya seperti tetangga lainnya yang muslim.
Malah, dalam hal relasi, Bu Endang ini tetangga yang paling sering berbagi kepada kami.
Seringkali, istri saya mendadak ditelpon. Dia sekadar mengabari mau ke rumah untuk memberikan kelebihan makanan yang baru dibeli. Istri saya pun cukup sering berbagi masakan ataupun kue bikinannya.
Dalam hal gotong royong, Bu Endang juga tetangga yang mudah diajak kerja sama. Bahkan bilapun harus mengeluarkan duit. Tidak merasa berat.
Pernah, lahan kosong di samping rumah saya, penampakannya 'luar biasa'. Rumputnya tumbuh subur. Begitu juga pohon liar. Lahan itu belum laku. Konon katanya karena posisinya 'tusuk sate'.
Kami dan satu tetangga lainnya, berinisiatif untuk menyuruh tukang kebersihan agar membersihkan dan merapikan lahan itu.
Kami lalu sepakat patungan mengumpulkan duit untuk honor tukang bersih-bersih itu.
Padahal, Bu Endang sejatinya tidak terdampak langsung karena rumahnya tidak bersebelahan dengan lahan kosong itu. Tapi dia mau gotong royong untuk ikut urunan duit. Demi kebaikan lingkungan tempat tinggal kami.
Kerja sama mengurus kucing
Ada banyak cerita tentang relasi baik yang terjalin di antara kami sebagai tetangga dekat. Cerita yang akan terlalu panjang untuk diceritakan di sini.
Tapi, salahsatu yang saya kenang adalah kerja sama memelihara kucing dari kecil hingga bertumbuh.
Ceritanya, Bu Endang pernah memelihara dua kucing. Masih kecil. Seingat saya dia membelinya dari temannya. Plus kandangnya.
Nah, dua kucing imut-imut itu datang di saat yang tidak tepat.
Keduanya datang ketika Bu Endang akan berangkat acara kerja ke luar kota. Jadwalnya malah beruntun. Seminggu ke luar kota. Pulang sebentar. Lantas berangkat lagi.
Karena khawatir bila kucingnya tidak ada yang merawat, dia lantas meminta kami untuk memeliharanya. Menitipkan kucing itu kepada saya. Plus kandangnya. Plus makanannya. Plus pasirnya.
Sebenarnya, saya dan istri kala itu ingin jeda memelihara kucing. Kami masih sedih setelah ditinggal mati kucing peliharaan kami sebulan sebelumnya.
Kematian yang membuat saya menangis demi mengingat kelucuan dan tingkahnya yang menggemaskan. Apalagi, saat pagi sudah ada tanda-tanda ketika dia menyendiri. Dan benar, sepulang kerja, saya harus menguburkan badannya yang sudah kaku.
Tapi, kami tidak menolaknya. Kami senang hati merawatnya. Lantas, dua kucing lucu itu sempat tumbuh di rumah kami. Malah sangat kerasan.
Ketika Bu Endang kembali, setelah beberapa hari, dua kucing itupun diambil lagi.
Entah kenapa, mereka terlihat gusar. Ketika melihat saya hendak ke luar rumah, mereka mengeong. Mungkin karena hanya berada di kandang. Sementara ketika di rumah, saya membiarkan mereka bebas berlarian di rumah.
Singkat cerita, ketika bertumbuh besar, karena merasa tidak kuat lagi merawatnya, Bu Endang menawarkan kucing itu kepada kami. Meminta kami merawatnya. Dia sekadar meminta kami mengganti dua kandangnya.
Dua kucing itupun berpindah ke rumah kami. Hingga punya keturunan. Meski kini, dua-duanya sudah berpindah alam.
Kematian yang lagi-lagi membuat kami sedih. Terutama kucing jantan yang kami beri nama Cero, yang mati karena keracunan usai dolan di perumahan. Saya menangis haru ketika malam-malam sepulang kerja menguburkannya.
Dari semua cerita itu, saya berkesimpulan, membangun relasi dan toleransi dengan tetangga, terlebih yang kebetulan berbeda keyakinan, tidak sekadar lewat retorika ucapan ataupun tulisan.
Namun, perlu diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Bahwa, membangun relasi baik dengan tetangga yang 'berbeda' sejatinya tidak sulit. Selama kita mau mengedepankan sisi sebagai manusia yang saling ingin dimanusiakan dan saling membutuhkan satu sama lain.
Sebab, bila kita membutuhkan bantuan mendadak apalagi pas malam, tentu yang paling pertama kita kabari ya tetangga.
Semisal terpaksa meminjam kendaraan malam-malam untuk keperluan mendesak, ataupun 'hal receh' seperti meminta cabai untuk memasak karena baru sadar habis dan tidak ada tukang sayur lewat, yang paling diminta bantuan ya tetangga. Bukan saudara, kerabat, ataupun teman dekat yang rumahnya jauh dari tempat tinggal kita.
Saya bersyukur tinggal di perumahan dengan memiliki tetangga baik. Sebab, bagi saya, punya tetangga baik yang saling respek dan ringan tangan membantu, itu salah satu pendukung hidup bahagia.
Salam bertetangga baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H