Membangun relasi dengan tetangga
Itu sedikit gambaran relasi saya dengan Bu Endang, tetangga depan rumah.
Kami sudah bertetangga lebih dari 10 tahun. Selama itu, tidak ada masalah dalam relasi, solidaritas, dan toleransi. Meski kami sejatinya memiliki perbedaan.
Setiap tahun, ketika saya sekeluarga ber-Idul Fitri, Bu Endang merayakan Natal.
Seringkali, pagi setelah Shubuh, ketika lantunan ayat suci Al-Quran ataupun lagu nasyid menggema dari rumah kami, sementara di rumah Bu Endang sayup terdengar lagu rohani kristiani. Tentu dengan volume  yang 'ramah' di telinga.
Dulu, ketika di rumahnya ada kegiatan rohani dengan mengundang beberapa koleganya, dia berkabar kepada saya selaku tetangganya bahwa akan ada acara.
Ketika kami merayakan hari raya masing-masing, bila kebetulan tidak mudik, sebagai tetangga dekat, kami saling unjung-unjung ke rumah. Sekadar mengobrol perihal mudik ke rumah orang tua atau menanyakan kondisi anak dan cucunya sambil mencicipi kue kering. Kecuali tahun lalu, ketika pandemi Covid-19 sedang mengganas di wilayah kami.
Itu secuil bentuk toleransi di antara kami.
Dalam hal beragama, kami paham 'wilayah teritorial' masing-masing. Itu keyakinan masing-masing. Tak perlu dibahas. Seperti bunyi ayat terakhir di Surat Al Kafirun itu. Lakum Dinukum Waliyadin.
Namun, dalam hal relasi sosial, tidak ada perlakuan berbeda dengan tetangga lainnya. Mengutip ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Tholib, "mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan".
Tidak pernah semisal karena beda agama, lantas kami mencueki Bu Endang. Semisal tidak menghitung  Bu Endang ketika ada syukuran kecil-kecilan di rumah dengan berbagi nasi kotak ke para tetangga.