Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kabar Kenaikan UMP, Antara Deadline, Cemas, dan Harapan Selangit

23 November 2021   09:23 Diperbarui: 24 November 2021   21:45 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengumuman Kenaikan UMP menjadi kabar yang paling ditunggu oleh para pekerja menjelang akhir tahun |  SHUTTERSTOCK/AIRDONE

Menyimak berita pengumuman penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2021 oleh Pemerinta Provinsi Jawa Timur (21/11), ingatan saya serasa kembali ke masa beberapa tahun lalu.

Tahun ini, berita penetapan UMP tersebut serasa terdengar biasa bagi saya. Maksudnya, tidak ada rasa proximity alias kedekatan secara emosional. Sekadar tahu informasinya.

Maklum, sebagai tukang menulis yang bekerja lepas (freelance writer), saya merasa tidak ada keterkaitan langsung dengan pengumuman besaran UMP.

Pasalnya, upah kerja saya sebagai penulis lepas, selama ini lebih banyak didasarkan pada kesepakatan antara person to person. Besaran upahnya ditentukan berdasarkan bobot kerjanya.

Namun, saya ikut berharap agar besaran UMP yang ditetapkan tersebut ramah bagi para pekerja.

Sebab, saya pernah ada di posisi mereka. Di posisi menunggu kabar baik. Berharap bisa lebih sejahtera di tahun mendatang. Ya, saya pun pernah berada di posisi mereka.

Pernah dag dig dug menunggu pengumuman UMP

Ya, saya pernah merasakan situasi harap-harap cemas menunggu pengumuman penetapan UMP ataupun Upah Minimum Kota (UMK) oleh pemerintah.

Namun, situasi harap-harap cemas saya dulu tidak melulu soal harapan agar besaran UMP/UMK naik signifikan. Kecemasan itu menyesuaikan dengan pekerjaan yang saya jalani.

Ketika di tahun-tahun awal bekerja di 'pabrik koran' (baca pekerja media), saya tidak terlalu menaruh perhatian pada urusan ini. Sebagai fresh graduate yang langsung bekerja, mendapat gaji bulanan saja sudah menyenangkan.

Apalagi, sebagai pekerja pabrik koran di perusahaan sebesar KKG (kelompok Kompas Gramedia), gaji saya relatif lebih besar dibandingkan dengan teman-teman media di kota tempat saya bekerja.

Momen penetapan UMP itu baru membuat saya merasa cemas ketika saya ngepos di desk pemerintahan sekitar tahun 2011. Akhir tahun, saya dibuat dag dig dug menunggu pengumuman penetapan UMP/UMK.

Bukan melulu soal besarannya, tapi lebih kepada waktu pengumumannya yang digelar malam hari. Dan lagi, kala itu belum ada WhatsApp yang seringkali mengabarkan informasi weruh sak duruning winarah.

Saya cemas bila pengumuman itu molor alias tidak tepat waktu sehingga melewati batas deadline media tempat saya bekerja.

Di hampir semua media cetak, berlaku aturan bahwa deadline adalah segalanya.

Bahwa, berita sebagus apapun, bila lewat deadline, ya sudahlah. Sebab, namanya media cetak harus dicetak. Berita yang ditulis, disunting, di layout, lalu naik cetak. Tentu, untuk naik cetak tidak bisa tertunda hanya karena menunggu satu berita.

Karenanya, saya yang ketika itu mendapat tugas khusus untuk memantau, meliput, dan menuliskan kabar itu, berharap agar pengumumannya tepat waktu sehingga beritanya bisa tayang.

Bagi pekerja media, momen menunggu seperti itu menantang.

Sebab, awak media tidak sekadar diam menunggu pengumuman. Tapi juga sibuk mencari narasumber utama dan sekunder yang bisa diwawancara. Sibuk menerima dan menjawab telpon dari atasan di kantor yang sudah tidak sabaran menagih beritanya, hingga sibuk memikirkan angle tulisan yang akan ditulis. Berkejaran dengan waktu.

Seingat saya, liputan pertama saya dalam pengumuman UMP/UMK itu sukses. Dalam artian, saya bisa menuliskannya sebelum memasuki deadline. Terlebih, tulisan itu memang diplot untuk halaman utama/halaman satu.

Pernah berharap UMP/UMK naik selangit

Situasi berbeda saya rasakan menjelang pengumuman UMP ketika bekerja sebagai tenaga kontrak di salah satu instansi pemerintah selepas mundur dari pabrik koran.

Pertimbangan agar bisa lebih punya banyak waktu menemani istri di rumah yang baru melahirkan putra kedua, menjadi alasan saya mundur. Genap sewindu menjadi pekerja di media.

Meski berpindah kerja, tetapi bekerjanya tetap menulis. Tempat kerjanya saja yang berbeda. Dan tentu, gajinya juga berbeda dibandingkan kala bekerja di media. Tapi, itu tentu sesuai dengan bobot kerjanya.

Hampir lima tahun saya bekerja di sana.

Selama itu, sebagai tenaga kontrak yang gaji bulanannya menyesuaikan dengan besaran UMK yang ditetapkan pemerintah, saya tentu berharap ada perbaikan besaran gaji setiap tahunnya.

Karenanya, ketika menjelang akhir tahun, ketika banyak buruh turun ke jalan untuk demo di kantor kepala daerah demi menyuarakan harapan kenaikan UMP/UMK, saya ikut berharap yang terbaik.

Memang, aksi turun ke jalan itu menganggu kenyamanan pengguna jalan.  Jalanan jadi macet bahkan ada yang ditutup. Saya pun seringkali terkena dampak dari kemacetan akibat aksi demo yang meminta kenaikan UMP itu.

Namun, bagi para buruh, aksi itu merupakan bentuk perjuangan. Sebagai pekerja, mereka ingin menyuarakan hak untuk bisa hidup lebih sejahtera di tahun-tahun ke depan.

Apalagi, banyak dari mereka yang merupakan kepala keluarga. Punya anak. Punya istri. Tentu, wajar bila mereka ingin memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Harapan itu salah satunya berwujud kenaikan UMP/UMK.

Harapannya, kenaikan UMK nya selangit. Berpuluh-puluh persen. Namanya juga harapan. Sah-sah saja. Saya pun sempat punya harapan begitu.

Meski saya tahu, keputusan pemerintah untuk menaikkan besaran UMP tentu tidak sembarangan. Keputusan itu diambil melalui pertimbangan panjang dan melibatkan banyak kepentingan.

Ada pertimbangan dari pemerintah, dalam hal ini Pemprov Jatim. Ada testimoni dari kalangan pengusaha. Masukan dari kalangan praktisi dan akademi. Termasuk juga harapan dari serikat buruh. Plus, menggunakan data-data statistik yang dirilis oleh BPS.

Lantas, keputusan diambil dalam sidang pleno pembahasan rekomendasi besaran UMP tahun 2021 yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan Jatim.

Tapi, sebagai pekerja, saya hanya bisa manut dengan keputusan itu. Ikut gembira bila ada kenaikan.

Toh, setiap tahun selalu ada kenaikan karena memang menyesuaikan harga bahan kebutuhan pokok yang cenderung naik. Meski, kenaikannya mungkin tidak sesuai harapan.

Untuk tahun 2021 ini, mengutip dari Kompas.com, besaran UMP Jatim naik sebesar 1,22 persen atau naik Rp 22.790 dari UMP 2021 Rp 1.868.777. Sehingga besaran UMP Jatim tahun 2022 sebesar Rp  Rp 1.891.567.

Penetapan UMP Jatim 2022 itu diputuskan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Timur Nomor 188/783/KPTS/013/2021 tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) Provinsi Jawa Timur Tahun 2022.

Tentu saja, keputusan penetapan UMK tidak bisa menyenangkan semua orang. Itu sudah suratan sejak dulu. Kadang, pekerjanya yang tidak puas. Kadang, pihak pengusahanya.

Malah, sebagai rangkaian berita penetapan UMP itu, saat menyimak berita di televisi, saya mendapati komentar dari perwakilan pihak buruh yang menyebut akan melakukan aksi turun ke jalan merespons penetapan yang menurut mereka tidak sesuai harapan.

Ah, memenuhi harapan banyak orang memang susah. Salam.

Referensi: 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun