Apalagi, sebagai pekerja pabrik koran di perusahaan sebesar KKG (kelompok Kompas Gramedia), gaji saya relatif lebih besar dibandingkan dengan teman-teman media di kota tempat saya bekerja.
Momen penetapan UMP itu baru membuat saya merasa cemas ketika saya ngepos di desk pemerintahan sekitar tahun 2011. Akhir tahun, saya dibuat dag dig dug menunggu pengumuman penetapan UMP/UMK.
Bukan melulu soal besarannya, tapi lebih kepada waktu pengumumannya yang digelar malam hari. Dan lagi, kala itu belum ada WhatsApp yang seringkali mengabarkan informasi weruh sak duruning winarah.
Saya cemas bila pengumuman itu molor alias tidak tepat waktu sehingga melewati batas deadline media tempat saya bekerja.
Di hampir semua media cetak, berlaku aturan bahwa deadline adalah segalanya.
Bahwa, berita sebagus apapun, bila lewat deadline, ya sudahlah. Sebab, namanya media cetak harus dicetak. Berita yang ditulis, disunting, di layout, lalu naik cetak. Tentu, untuk naik cetak tidak bisa tertunda hanya karena menunggu satu berita.
Karenanya, saya yang ketika itu mendapat tugas khusus untuk memantau, meliput, dan menuliskan kabar itu, berharap agar pengumumannya tepat waktu sehingga beritanya bisa tayang.
Bagi pekerja media, momen menunggu seperti itu menantang.
Sebab, awak media tidak sekadar diam menunggu pengumuman. Tapi juga sibuk mencari narasumber utama dan sekunder yang bisa diwawancara. Sibuk menerima dan menjawab telpon dari atasan di kantor yang sudah tidak sabaran menagih beritanya, hingga sibuk memikirkan angle tulisan yang akan ditulis. Berkejaran dengan waktu.
Seingat saya, liputan pertama saya dalam pengumuman UMP/UMK itu sukses. Dalam artian, saya bisa menuliskannya sebelum memasuki deadline. Terlebih, tulisan itu memang diplot untuk halaman utama/halaman satu.
Pernah berharap UMP/UMK naik selangit