Situasi berbeda saya rasakan menjelang pengumuman UMP ketika bekerja sebagai tenaga kontrak di salah satu instansi pemerintah selepas mundur dari pabrik koran.
Pertimbangan agar bisa lebih punya banyak waktu menemani istri di rumah yang baru melahirkan putra kedua, menjadi alasan saya mundur. Genap sewindu menjadi pekerja di media.
Meski berpindah kerja, tetapi bekerjanya tetap menulis. Tempat kerjanya saja yang berbeda. Dan tentu, gajinya juga berbeda dibandingkan kala bekerja di media. Tapi, itu tentu sesuai dengan bobot kerjanya.
Hampir lima tahun saya bekerja di sana.
Selama itu, sebagai tenaga kontrak yang gaji bulanannya menyesuaikan dengan besaran UMK yang ditetapkan pemerintah, saya tentu berharap ada perbaikan besaran gaji setiap tahunnya.
Karenanya, ketika menjelang akhir tahun, ketika banyak buruh turun ke jalan untuk demo di kantor kepala daerah demi menyuarakan harapan kenaikan UMP/UMK, saya ikut berharap yang terbaik.
Memang, aksi turun ke jalan itu menganggu kenyamanan pengguna jalan. Â Jalanan jadi macet bahkan ada yang ditutup. Saya pun seringkali terkena dampak dari kemacetan akibat aksi demo yang meminta kenaikan UMP itu.
Namun, bagi para buruh, aksi itu merupakan bentuk perjuangan. Sebagai pekerja, mereka ingin menyuarakan hak untuk bisa hidup lebih sejahtera di tahun-tahun ke depan.
Apalagi, banyak dari mereka yang merupakan kepala keluarga. Punya anak. Punya istri. Tentu, wajar bila mereka ingin memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Harapan itu salah satunya berwujud kenaikan UMP/UMK.
Harapannya, kenaikan UMK nya selangit. Berpuluh-puluh persen. Namanya juga harapan. Sah-sah saja. Saya pun sempat punya harapan begitu.
Meski saya tahu, keputusan pemerintah untuk menaikkan besaran UMP tentu tidak sembarangan. Keputusan itu diambil melalui pertimbangan panjang dan melibatkan banyak kepentingan.