Hari kedua putaran 32 besar Indonesia Masters 2021 yang digelar di Bali, Rabu (17/11) kemarin bak menjadi panggung eliminasi bagi pemain-pemain Indonesia.
Dari 18 pemain/pasangan asal Indonesia yang tampil, 11 di antaranya langsung tereliminasi. Terhenti.
Ironisnya, dari 11 pemain/pasangan Indonesia yang tersingkir prematur di babak pertama itu, ada beberapa pemain unggulan.
Di tunggal putra, kejutan terjadi saat peraih medali perunggu Olimpiade 2020, Anthony Sinisuka Ginting yang merupakan juara bertahan, langsung terhenti.
Di tunggal putri, Gregoria Mariska juga langsung tersingkir. Bahkan, tidak ada perwakilan tunggal putri dari Indonesia yang lolos ke babak 16 besar. Semuanya tereliminasi dini.
Begitu juga pasangan ganda campuran, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti yang menjadi unggulan 2. Di luar dugaan, mereka kalah dari lawan yang sebenarnya 'biasa saja'.
Ada apa dengan mereka kok langsung kalah? Padahal bermain di rumah sendiri seharusnya membuat mereka tampil lebih termotivasi.
Terburu-buru dan terlalu banyak sedekah poin, Ginting terhenti
Dari 11 pemain Indonesia yang kemarin tersingkir, nama Anthony Sinisuka Ginting layak menjadi sorotan. Dia kalah tiga game (rubber game) dari 'pemain ajaib' asal Thailand, Kunlavut Vitidsarn 21-19, 14-21, 13-21 dalam waktu 1 jam 6 menit.
Ada banyak atribut yang membuat kekalahan Ginting ini jadi sorotan.
Dia unggulan 5. Dia salah satu tunggal putra terbaik Indonesia. Apalagi, Ginting juga punya 'koneksi' bagus dengan Indonesia Masters. Dia juara di edisi 2018 dan 2020.
Lalu, apa yang membuat Ginting bisa kalah dari Kunlavut?
Sampeyan (Anda) yang menyaksikan langsung pertandingan ini dari layar televisi, bisa dengan mudah menyampaikan analisis penyebab kekalahan Ginting.
Terlepas dari Kunlavut memang bukan lawan sembarangan, tetapi penampilan Ginting kemarin sungguh tidak seperti dirinya. Seolah bukan Ginting yang kita kenal selama ini.
Sebab, Ginting yang kita kenal merupakan pemain yang sabar mengembangkan permainan, punya variasi serangan, senang bermain menyerang, dan minim error.
Namun, di pertandingan kemarin, Ginting seperti kehilangan dua hal dari ciri khasnya. Utamanya poin pertama dan keempat.
Ginting (25 tahun) sebenarnya tidak bermain buruk.
Permainan menyerangnya beberapa kali membuat Kunlavut pontang-panting di lapangan. Beberapa kali skema serangan yang dia rancang berhasil dengan diakhiri smash setelah pengembalian tanggung dari Kunlavut.
Hanya saja, dia lebih sering terlihat kurang sabar. Dia seperti ingin cepat-cepat mendapatkan poin. Kalau kata orang Surabaya, Ginting mainnya gopoh kabeh. Grusa grusu.
Sementara lawan yang dihadapinya, Kunlavut (20 tahun) bukanlah pemain yang mudah dimatikan. Beberapa kali smash Ginting bisa dikembalikan oleh anak muda juara dunia junior tiga kali beruntun (2017, 2018, 2019) ini.
Bahkan, beberapa kali pukulan drop shot Ginting malah dikembalikan Kunlavut dengan drop shot balasan yang mengecoh langkah.
Itu terlihat di game pertama. Ginting sempat tertinggal lumayan jauh, tetapi bisa mengejar dan akhirnya menang.
Namun, di game kedua, bukan hanya kurang sabar, permainan Ginting juga banjir error.
Entah berapa kali, pukulan-pukulan Ginting terlalu melebar keluar lapangan. Out. Tentu saja, 'sedekah poin' itu menjadi keuntungan bagi Kunlavut yang mampu menang 21-14.
Di game ketiga, situasi tidak berubah.
Ginting yang belum mampu keluar dari kesalahan-kesalahan sendiri, kesulitan mendapatkan poin. Sementara Kunlavut yang percaya diri, terlihat sangat nyaman bermain. Dia mampu menghentikan Ginting di angka 21-13.
Dalam wawancara dengan BWF yang di posting di akun resmi Instagram Federasi Bulutangkis Dunia ini, Ginting mengaku dirinya seharusnya bermain lebih sabar menyoal kekalahan mengejutkan itu.
"Jika saja saya bisa mengulang pertandingan ini, saya akan mencoba bermain lebih sabar. Tidak mudah mendapatkan poin di pertandingan ini. Sementara Kunlavut mendapatkan banyak poin dari kesalahan saya," ujar Ginting.
Tentu saja, pertandingan itu tidak bisa diulang. Kini, yang bisa dilakukan Ginting hanyalah mengevaluasi kekalahan itu. Lantas, mencoba bangkit di Indonesia Open Super 1000 pekan depan.
Entah apa yang terjadi dengan Praveen-Melati
Tentu, sebagai pecinta bulutangkis, saya kecewa dengan kekalahan Ginting. Namun, saya tahu, anak muda kelahiran Cimahi ini sudah berusaha maksimal. Permainannya tidak jelek-jelek amat. Dan lawannya juga memang bagus.
Bagi saya, yang tidak habis pikir adalah saat menyaksikan penampilan pasangan ganda campuran, Praveen Jordan dan Melati Daeva Oktavianti ketika dikalahkan ganda India non unggulan, Dhruv Kapila/Sikki Reddy.
Praveen/Melati kalah straight game 11-21, 20-22 hanya dalam waktu 30 menit dari pasangan yang belum lama dipasangkan itu. Tengok saja bagaimana ekspresi kemenangan ganda India itu. Berteriak histeris. Seolah tidak percaya.
Tetapi memang, penampilan Praveen dan Melati kemarin kurang oke. Sebagai pasangan yang masuk peringkat 5 besar dunia dan menjadi unggulan 2 di turnamen ini, penampilan mereka mengecewakan.
Sampeyan yang menyaksikan pertandingan ini dari layar televisi, bisa merasakan betapa keduanya seperti belum menyatu dengan lapangan. Utamanya di game pertama.
Permainan mereka kurang gerak. Komunikasi kurang cair. Pertahanan keropos dan serangan kurang mematikan. Melati beberapa kali emberikan bola tanggung. Smash-smash keras Praveen pun hanya beberapa kali terlihat menghasilkan poin.
Semua itu membuat ganda India ini percaya diri. Hanya memberi lawan skor 11 dalam satu game menjadi gambaran betapa pedenya mereka.
Di game kedua, Praveen dan Melati sempat bangkit. Namun, 'penyakit lama' mereka kambuh. Seringkali error sendiri. Entah berwujud pengembalian shuttlecock yang menyangkut di net ataupun keluar lapangan.
Dengan penampilan seperti itu, tidak mengherankan bila banyak warganet selaku badminton lovers Indonesia yang lantas bertanya-tanya, "ada apa denganmu wahai Praveen Melati".
Warganet yang menjuluki Praveen dan Melati sebagai 'honey couple', mempertanyakan komunikasi mereka selama pertandingan. Lebih banyak diam. Tidak ada tos tangan. Seperti pasangan yang sedang nggak akur.
Dalam wawancara di akun Instagram BWF, Melati mengakui kekalahan dari ganda India ini tidak lepas dari start mereka yang lambat dan akhirnya berdampak pada keseluruhan pertandingan.
"Kami terlalu santai di awal pertandingan game pertama. Lalu, kami membuat banyak kesalahan. Itu membuat kami terlambat untuk mengejar ketertinggalan dari mereka," ujar Melati.
Padahal, Praveen/Melati tampil dengan status sebagai finalis Hylo Open pada pekan lalu. Itu seharusnya memotivasi mereka untuk tampil lebih oke di rumah sendiri.
Tetapi memang, penampilan Praveen dan Melati sebagai ganda campuran terbaik Indonesia, kini cenderung mulai menurun.
Apalagi bila dibandingkan dengan masa-masa 'prime' mereka saat juara tur Eropa 2019 dan juga All England tahun 2020 silam. Permainan mereka kini tidak lagi mematikan. Bahkan, seperti sudah terbaca oleh lawan seperti yang pernah saya ulas di sini.
Kita hanya bisa berharap, kekalahan di Indonesia Masters ini menjadi pelecut bagi mereka untuk bangkit di Indonesia Open.
Namun, bila tidak ada perubahan, mungkin saran netizen agar pelatih 'lebih keras' terhadap mereka, perlu dipertimbangkan. Termasuk wacana memisahkan mereka. Tentu, keputusan itu ada pada Nova Widianto selaku pelatih ganda campuran Pelatnas.
Hari ini, Kamis (18/11), Indonesia Masters 2021 akan memasuki babak 16 besar.
Ada 13 wakil Indonesia yang tampil. Di antaranya tunggal putri Jonatan Christie, ganda putra Marcus Gideon/Kevin Sanjaya, dan ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu. Doa terbaik untuk mereka semoga bisa melaju ke perempat final.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H