Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Cara Menghadapi "Pertanyaan Sensitif" Saat Wawancara Kerja

6 November 2021   10:20 Diperbarui: 8 November 2021   16:55 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat wawancara kerja, ada pertanyaan sensitif yang biasanya ditanyakan pewawancara kerja | Foto: Shutterstock/Kompas.com

Seru bisa mendengarkan beragam cerita dari kawan yang pernah melakukan proses wawancara kerja di tempat kerjanya.

Mendengarkan cerita mereka, serasa mendapatkan angle berbeda perihal wawancara kerja yang selama ini lebih banyak saya dengar dari para pelamar kerja.

Kali ini, saya mendengarnya dari pihak yang mewawancarai.

Tentu saja, kawan yang pernah melakukan wawancara kerja itu memang punya kewenangan di tempat kerjanya untuk melakukan seleksi calon karyawan baru.

Ada banyak cerita.

Ada cerita pencari kerja yang gugup saat wawancara kerja sehingga sangat sedikit berkata ataupun berpikir lama saat hendak menjawab pertanyaan.

Saking gugupnya, selama proses wawancara kerja, seringkali menggaruk kepala meskipun tidak gatal. Bahkan, untuk sekadar menatap mata pewawancara saja seperti tidak berani.

Ada pula pencari kerja yang merasa over percaya diri sehingga terlalu banyak bicara ketika menjawab pertanyaan. Bahkan, ada yang merasa sudah kenal dekat dengan interviewer meski baru bertemu.

Ada pula yang bicara tanpa ceplas ceplos tanpa saringan. Ketika ditanya alasan mundur dari tempat kerja sebelumnya, dia malah mengumbar kejelekan tempat kerja lamanya. Seolah merasa jawaban seperti itu keren.

Tetapi memang, bagi banyak orang, wawancara kerja itu momen yang mendebarkan. Menegangkan.

Saking mendebarkannya, banyak teman mengaku sulit tidur ketika malam sebelum wawancara keesokan paginya. Mereka merasa overthinking mengandaikan performanya selama proses interview.

Pasalnya, wawancara kerja dianggap sebagai jalan pembuka masa depan. Bila proses wawancaranya dilalui dengan oke, besar kemungkinan akan diterima di tempat kerja yang diinginkan.

Nah, menurut penuturan beberapa teman dan juga pengalaman pribadi, ketika wawancara kerja, ada 'pertanyaan sensitif' yang ingin dihindari. Mereka seolah tidak mau bersinggungan dengan bagian tersebut. Tidak mau membahasnya.

Tapi ya, bila ada pertanyaan seputar bagian tersebut dari para pewawancara kerja, tentu harus dijawab. Apa iya ketika wawancara kerja kita berujar "no comment" ketika mendapat pertanyaan.

Cemas image buruk karena berpindah-pindah kerja

Salah satu 'pertanyaan sensitif' saat wawancara kerja adalah bagian tentang pengalaman menjadi 'nomaden pekerjaan' alias senang berpindah-pindah tempat kerja.

Para pencari kerja bukan hanya mereka yang baru lulus kuliah (fresh graduate) ataupun mereka yang belum pernah bekerja.

Ada juga yang memiliki pengalaman seringkali berpindah-pindah tempat kerja. Karena beragam alasan, mereka mengambil keputusan mundur dari tempat kerjanya. Lalu berpindah bekerja di tempat lainnya.

Bagi sebagian orang, mereka yang pernah bekerja di banyak tempat, dianggap memiliki pengalaman. Mereka pernah merasakan nuansa bekerja di beberapa tempat. Itu bisa menjadi nilai plus.

Namun, bagi sebagian orang lainnya, bila seringkali berpindah kerja, yang bersangkutan bisa dianggap kurang memiliki loyalitas dalam bekerja ataupun kurang 'tabah' menghadapi tantangan.

Umumnya, olehpara pencari kerja alias job seeker, pengalaman pernah bekerja di beberapa perusahaan/instansi itu, meski dalam durasi tidak lama, akan dicantumkan dalam curriculum vitaenya.

Nah, bagi pewawancara, poin ini akan menarik untuk ditanyakan ketika sesi wawancara kerja. Mereka tertarik untuk mengorek jawaban dari si job seeker perihal alasan suka berpindah-pindah kerja itu.

Tentu saja, yang namanya wawancara, pertanyaan tidak bisa dihindari dan harus dihadapi. Namun, bila ingin diterima kerja, harus hati-hati menjawabnya.

Alangkah baiknya bila pelamar kerja sudah tahu poin ini akan ditanyakan sehingga dirinya sudah menyiapkan jawaban. Tidak menjawab asal yang bisa berpotensi mengikis peluangnya diterima kerja.

Semisal menyiapkan jawaban umum, "ingin mencari tantangan baru di tempat kerja baru" atau "ingin lebih memaksimalkan kemampuan yang dimiliki".

Meski, bilapun menyiapkan 'jawaban aman', juga harus siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan susulan.

Kuncinya, ya harus siap dengan jawaban-jawaban dari pertanyaan susulan itu. Dan itu disampaikan dengan bahasa yang sopan dan meyakinkan. Juga tidak mengada-ada.

Menyoal kegagalan di masa lalu

Selain cemas bila beberapa kali berpindah kerja dianggap sebagai stigma buruk oleh pewawancara kerja, kebanyakan pencari kerja juga khawatir bila masa lalunya diungkit.

Utamanya terkait pernah dianggap gagal di tempat kerjanya sebelumnya.

Menurut seorang kawan senior yang berpengalaman dalam hal interview kerja, ada pelamar kerja yang sama sekali tidak mau berbicara tentang kegagalannya di masa lalu.

Padahal, gagal sejatinya bukan aib. Sebab, tidak ada satupun orang yang sempurna dalam bekerja.

Bukankah gagal itu pertanda kita pernah melakukan kerja nyata. Daripada tidak pernah gagal karena tidak pernah melakukan apapun.

Jadi, berbicara kegagalan saat interview kerja bukanlah hal yang terlarang. Tidak perlu dihindari. Dihadapi saja.

Hal terpenting yang harus disampaikan, kita tahu penyebab kegagalan kita di masa lalu. Kita juga tahu harus bagaimana untuk memperbaiki kegagalan tersebut.

Itu yang perlu dijelaskan kepada pewawancara saat inteview.

Pendek kata, kita memberi pesan kepada para pewawancara kerja bahwa kita sudah belajar moving forward. Sudah move on dari kesalahan di masa lalu.

Tidak perlu terlalu terbawa perasaan (baper) menyesali kesalahan di masa lalu lantas menyalahkan diri sendiri. Merasa diri tidak berhak sukses di masa kini.

Cukuplah kesalahan itu dijadikan sebagai pelajaran. Lantas, ambil kesempatan untuk memikirkan langkah maju ke depan.

Tentang besaran gaji

Besaran gaji. Ini pertanyaan yang hampir selalu ada dalam wawancara kerja. Dan ini juga pertanyaan sensitif.

Sebab, tidak sedikit orang yang melamar kerja, merasa kebingungan ketika harus menjawab pertanyaan ini.

Mereka beranggapan, bila meminta gaji besar, cemas bila malah tidak diterima. Sebaliknya, bila meminta gaji kecil, khawatirnya beban kerja tidak sesuai upah.

Lalu, bagaimana cara menghadapi pertanyaan soal gaji ini?

Penting untuk memiliki persiapan menjawabnya. Maksudnya, karena sudah tahu pertanyaan ini akan ditanyakan saat wawancara kerja, ada baiknya bila sebelum interview, kita sudah punya data besaran gaji. Mencari tahu.

Bisa melalui obrolan dengan teman atau kenalan yang bekerja di sana. Ataupun mengetahui besaran Upah Minimum Kota (UMK) yang ada di kota tempat perusahaan atau instansi tersebut.

Sebab, merujuk pengalaman, ada perusahaan atau instansi yang menanyakan besaran gaji ini kepada pelamar ketika wawancara.

Termasuk ketika kita bekerja person to person di bidang jasa. Sebut saja menjadi penulis lepas (freelance writer). Akan ada negosiasi upah dari proyek yang dikerjakan.

Tapi, ada juga yang tidak menanyakan soal ini karena besaran gaji yang diberikan berdasarkan UMK yang berlaku.

Namun, bila ditanyakan, membicarakan atau lebih tepatnya menegoisasi gaji ini menjadi bagian menantang saat wawancara kerja. Apalagi bila si pewawancara sudah berkata, "Mau minta gaji berapa?".

Bila begitu, seharusnya menyebut angka berapa? Tinggi, sedang-sedang saja, atau di bawah UMK?

Mengutip dari buku The Ikhlas Way tulisan Ang Harry Tjahjono yang berkisah tentang seputar dunia kerja, kuncinya adalah jangan 'menjual' diri Anda terlalu murah. Juga, jangan 'menjual' diri Anda berlebihan.

Contoh, seorang kandidat sales manager meminta gaji 100 juta nett di luar insentive, di luar tunjangan lain-lain. Permintaan itu jelas sekali meminta jawaban ditolak. Kenapa? Karena permintaan gajinya tidak wajar.

Sementara di sisi lainnya, ada seorang kandidat manajer yang meminta gaji IDR 15 juta gross karena yang bersangkutan tengah butuh kerja. Ini juga tidak wajar bila merujuk tanggung jawab besar di posisinya. Meski butuh kerja,tidak perlu sampai melakukan 'banting harga' sebegitu jauh.

Jadi, yang wajar bagaimana dalam menjawab pertanyaan tentang gaji?

Jawaban paling aman adalah meminta gaji berdasarkan salary standar perusahaan. Atau, paling tidak, bagi sampeyan yang pernah bekerja di tempat lain, minimal meminta sama dengan gaji di perusahaan lama.

Pendek kata, hargai diri yang wajar.

Itu beberapa 'pertanyaan sensitif' yang biasanya jadi bahan bagi pewawancara untuk ditanyakan saat wawancara kerja. Sampeyan (Anda) mungkin pernah merasakannya. Bahkan mungkin bisa menjawabnya dengan santuy.   

Atau, sampeyan mungkin punya pengalaman lain saat wawancara kerja yang bisa dibagikan.

Selamat berakhir pekan. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun