Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Menguak Alasan Indonesia Turunkan "Line Up" Kejutan di Final Piala Thomas

17 Oktober 2021   17:23 Diperbarui: 17 Oktober 2021   18:02 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia memainkan line up alias komposisi pemain yang tidak biasa saat menghadapi China di final Piala Thomas 2020 di Aarhus, Denmark, Minggu (17/10) malam.

Dibandingkan line up di semifinal tadi malam, ada dua perubahan di nomor ganda putra di final yang mulai dimainkan pukul 13.00 waktu Eropa atau pukul 18.00 WIB tersebut.

Seperti dikutip dari akun Instagram resmi PBSI, @badminton.ina, line up mengejutkan itu adalah tidak dimainkannya pasangan ganda putra, Marcus Gideon/Kevin Sanjaya.

Marcus Gideoan diistirahatkan. Sementara Kevin akan coba dimainkan dengan Daniel Marthin (20 tahun) sebagai ganda kedua yang dimainkan di game keempat.

Adapun pasangan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto yang bermain sebagai pemain keempat saat melawan Denmark di semifinal tadi malam, kali ini dipasang sebagai pemain di game kedua.

Fajar/Rian yang kini menempati ranking 7 dunia, naik sebagai ganda pertama dalam line up karena Kevin/Daniel yang baru dipasangkan, belum memiliki ranking.

Sedangkan di tiga nomor tunggal, Indonesia tetap menurunkan Anthony Sinisuka Ginting sebagai tunggal pertama, Jonatan Christie main sebaai tunggal kedua, dan Shesar Hireen Rhustavito menjadi tunggal ketiga dan akan main di game kelima.

Alasan Indonesia mengubah line up di final

Mengapa Indonesia mengubah line up di laga final? Apalagi lawannya adalah China, sang juara bertahan.

Jawabannya karena tim China kali ini berbeda dengan sebelumnya. China kali ini menurunkan line up yang mayoritas diisi pemain muda maupun pasangan ganda kejutan.

Karenanya, tim pelatih mengubah line up di nomor ganda demi menyesuaikan dengan line up pemain yang dimainkan China. Tentunya dengan pertimbangan, dua nomor ganda bisa meraih poin kemenangan.

Ambil contoh Fajar/Rian dimainkan sebagai ganda pertama. Alasan pertama karena penampilan Fajar/Rian di Piala Thomas ini memang sedang on fire. Permainan mereka trengginas. Mental mereka juga oke.

Mereka menang straight game saat melawan Denmark di semifinal. Bahkan, saat melawan ganda putra Taiwan peraih medali emas di fase grup, meski kalah rubber game tetapi mereka sejatinya tidak kalah dalam permainan.

Alasan kedua, tim pelatih Indonesia pastinya melihat line up China saat melawan Jepang di semifinal tadi malam. China memainkan He Jiting dan Zhou Haodong sebagai ganda pertama.

Nah, Fajar/Rian dianggap punya peluang bila menang melawan He Jiting/Zhou Haodong yang sejatinya bukan pasangan aslinya.

Pecinta bulutangkis tentu tahu, He Jiting aslinya berpasangan dengan Tan Qiang. Mereka ada di peringkat 20 dunia. Sementara Zhou Haodong berpasangan dengan Han Chengkai yang pensiun dini karena cedera.

Memang tadi malam, He Jiting/Zhou menang atas pasangan Jepang, Takuro Hoki/Yuta Watanabe. Tapi, ganda Jepang itu juga baru main bareng. Saat Jepang mengalahkan Korea di perempat final, Hoki main dengan tandemnya, Yugo Kobayashi dan Watanabe dipasangkan dengan Akira Yoga. Keduanya sama-sama menang.

Semoga Fajar dan Rian bisa memenangkan game kedua ini.

Lalu, mengapa Kevin dipasangkan dengan Daniel di game keempat?

Jawabannya mungkin tidak lepas dari kebugaran Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya. Kita tahu, Marcus dan Kevin selalu bermain tiga game (rubber game) di perempat final melawan Malaysia dan di semifinal melawan Denmark tadi malam.

Tentu, bermain rubber game dalam dua hari beruntun lantas bermain di final, akan berisiko pada kebugaran.

Karenanya, pelatih ganda putra, Hery Imam Pierngadi memilih untuk memasangkan Kevin dengan Daniel Marthin, anak muda berusia 20 tahun yang kondisinya bugar.

Daniel sempat dipasangkan dengan Mohammad Ahsan saat melawan Taiwan dan gagal menyumbangkan poin. Meski begitu, Daniel tampil oke. Smash-smash kerasnya beberapa kali menghasilkan poin.

Namun, Daniel kemungkinan lebih cocok bila bermain bareng dengan Kevin. Sebab, Kevin tipikal pemain depan sementara Daniel pemain depan. Keduanya dinilai bisa saling mengisi. Sementara bila dengan Ahsan, sama-sama 'tukang smash'.

Selain itu, lawan yang dihadapi adalah pasangan dadakan yang baru dimainkan di Piala Thomas, yakni Liu Cheng dan Wang Yilu.

Kita tahu, Wang Yilu adalah pemain putra spesialis ganda campuran. Dia meraih medali emas Olimpiade 2020 bersama Huang Dongping. Sementara Liu Cheng adalah pemain paling senior di tim China ini. Dia pernah jadi juara dunia 2017 bersama Zhang Nang.

Akan menarik menyaksikan duel Kevin/Daniel melawan Liu Cheng/Wang Yilu. Utamanya smash Daniel beradu dengan Wang Yilu. Adapun Kevin diharapkan bisa menguasai area depan net.

Namun, Kevin/Daniel hanya akan bermain jika Indonesia unggul 2-1 ataupun tertinggal 1-2 hingga pertandingan ketiga.

Andai Indonesia mampu unggul 3-0 di tiga game awal, maka game keempat dan kelima tidak akan dimainkan.

Indonesia bisa menang mutlak asal tidak overpede

Kemungkinan Indonesia unggul mutlak itu bisa terjadi bila merujuk line up pemain tunggal yang dimainkan China. Tidak ada nama Shi Yuqi yang di semifinal kemarin memang cedera.

Sebagai tunggal pertama, China memainkan Lu Guangzu (24 tahun) yang kini ada di ranking 27 dunia. Dia akan menjadi lawan bagi Anthony Ginting. Seharusnya, bila tampil dalam "prime" nya, Ginting bisa menang.

Memang, saat melawan Denmark, Ginting kalah dari Viktor Axelsen. Tapi, Lu Guangzu kan bukan Axelsen, juuara dunia dan peraih medali emas Olimpiade.

Ingat, sebelum dikalahkan Axelsen, Ginting main oke saat mengalahkan tunggal putra andalan Malaysia, Lee Zii Jia yang sedang on fire di Piala Thomas ini.

Lalu untuk tunggal kedua, Jonatan Christie akan menghadapi Liu Shifeng (21 tahun). Di semifinal melawan Jepang tadi malam, Shifeng mengalahkan Kanta Tsuneyama.

Tapi, Jonatan kini sedang oke. Tadi malam, salah satu poin krusial yang membuat Indonesia lolos ke semifinal adalah kemenangan Jonatan atas Anders Antonsen di game ketiga.

Kita berharap, semoga Jonatan tetap bugar. Sebab, tadi malam dia bermain hampir 100 menit melawan Antonsen. Tapi, dia terlihat bugar. Sementara lawannya 'kehabisan bensin'. Itu yang menjadi salah satu kunci kemenangan Jonatan.

Sementara di game kelima, Shesar Hireen Rhustavito dijadwalkan berhadapan dengan Weng Hongyang. Laga ini pun hanya akan dimainkan ketika skor sama kuat 2-2.

Indonesia harus mewaspadai semangat China

Namun, meski lebih diunggulkan, bagaimanapun, Indonesia tidak boleh merasa over pede. Sebab, China adalah China, sang juara bertahan.

Meski menampilkan beberapa pemain muda, China acapkali tampil penuh totalitas di turnamen beregu. Apalagi, mereka tentu bersemangat mengawinkan gelar usai tim putri mereka jadi juara Piala Uber usai menang 3-1 atas Jepang di final tadi malam.

Ini yang harus diwaspadai oleh Indonesia.

Tapi, selama Ginting, Fajar dan Rian, Jonatan, Kevin dan Daniel serta Shesar bermain oke seperti penampilan mereak seharusnya, Indonesia bisa juara.

Bahkan mungkin, Indonesia bisa juara dengan nyaman seperti ketika mengalahkan China di final Piala Thomas 2000 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Indonesia juara setelah menang sempurna, 3-0 atas China di final.

Tiga poin kemenangan Indonesia di final tersebut diraih Hendrawan, pasangan Tony Gunawan/Rexy Mainaky, dan Taufik Hidayat yang kala itu baru berusia 18 tahun.

Meski, secara head to head, Indonesia masih kalah 2-3 dari China dalam lima kali perjumpaan di final Piala Thomas.

Untuk sejarah pertemuan Indonesia melawan China di final Piala Thomas, silahkan mengulik tulisan saya sebelumnya https://www.kompasiana.com/hadi.santoso/616bafe58bae9315d43bd982/indonesia-dan-peluang-deja-vu-juara-piala-thomas-2000-di-kuala-lumpur.

Pada akhirnya, tentu saya berharap Indonesia yang juara. Sebab, inilah saat terbaik mengakhiri penantian 19 tahun membawa pulang Piala Thomas. Kali terakhir Indonesia juara Piala Thomas terjadi pada 2002 silam. Ayo juara!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun