Bahkan, di akhir pekan, terkadang bisa refreshing dengan makan berdua di rumah makan ataupun nonton film di bioskop. Plus, masih bisa menabung untuk menyiapkan kelahiran putra kami.
Jadi, cukup nggak cukup itu sejatinya bergantung kita. Cukupkan, pasti bisa cukup. Meski, saya paham, kondisi yang dihadapi setiap orang bisa berbeda-neda.
Sebenarnya, bisakah menduakan pekerjaan?
Tentang pertanyaan ini, saya tidak memungkiri pernah melakukannya. Utamanya setelah mundur dari 'pabrik koran' lalu bekerja menulis sebagai staf di sebuah instansi.
Namun, bila ingin menduakan pekerjaan, jangan asal. Harus dipikirkan plus minusnya. Harus siap dengan risikonya. Bahwa, pekerjaan utama harus tetap menjadi prioritas.
Benar, ketika menduakan pekerjaan, fokus kita akan terbagi. Sebagai manusia, kita tidak mungkin bisa fokus 200 persen di dua pekerjaan secara bersamaan. Sangat sulit.
Dulu, selain bekerja di kantor, saya juga menerima orderan pekerjaan menulis di dua majalah. Mewawancara orang dan menulis.
Saya bersedia karena pekerjaannya fleksibel. Tak terikat waktu. Hanya diberi deadline kapan harus selesai. Ada yang bulanan. Ada yang tiga bulanan. Selebhnya, saya bisa mengatur waktu sendiri untuk memberesinya.
Bila pekerjaan sampingan itu waktunya bentrok dengan pekerjaan utama, saya menolaknya. Semisal saya harus meninggalkan kantor di jam-jam kerja untuk waktu yang lama.
Kala itu, saya memberesi pekerjaan sampingan itu di rumah. Saya membuat janji wawancara dengan narasumber ketika sepulang bekerja. Sore hari. Lantas, menulisnya ketika malam di rumah. Atau bila mengantuk, saya memberesinya pagi sebelum ngantor.
Capek? Tentu saja.