Celakanya, ada banyak orang yang tergesa-gesa. Kurang sabaran.
Ibaratnya, dia menaiki perahu kecil di tengah lautan. Ingin berpindah perahu. Lantas, demi melihat perahu yang kelihatannya lebih menjanjikan, dia nekad meninggalkan perahu kecilnya itu.
Ternyata, pemilik perahu besar itu tidak mau menerima kehadiran orang baru. Jadinya, dia lantas tidak memiliki perahu.
Analogi itu sama dengan ketika kita berkeinginan pindah kerja di tempat lain yang bisa memberi gaji lebih besar. Namun, jika ternyata pekerjaan yang diidamkan itu belum ada, bertahanlah dulu dengan yang ada. Jangan nekad keluar.
Apalagi, frasa 'gaji cukup' itu sebenarnya soal bagaimana kita mengaturnya.
Bila kita pandai mengaturnya, gaji yang dirasa kurang itu ternyata bisa cukup. Tapi kalaupun dianggap cukup, bila tidak mampu mengatur, ya bakal terasa kurang terus.
Saya pernah merasakan hal itu ketika di tahun-tahun awal menikah pada 2011 silam.
Sebelum menikah di akhir tahun 2010, saya sudah membeli rumah. Membayar uang muka dengan tabungan yang saya sisihkan sejak awal bekerja. Ketika menikah, rumah yang dibangun selama beberapa bulan itu sudah jadi. Siap ditempati.
Nah, di tahun-tahun awal menikah, dengan gaji di kisaran Rp 4 juta, saya harus mengangsur cicilan rumah dengan besaran hampir setengah dari gaji itu. Ketika itu, istri masih bekerja. Meski dengan gaji di kisaran 2 juta.
Bila dihitung, penghasilan kami sebulan di masa itu ya sekitar 6 juta itu.
Toh, dengan setiap bulan harus mengangsur rumah, mencicil untuk mengisi perabotan rumah, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kami merasa cukup.