Kita sudah terbiasa menjalani endemi
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, jika memang kini status pandemi berubah jadi endemi, sudah siapkah kita menjalaninya?
Sebenarnya, sejak akhir tahun lalu, ketika tren kasus Covid-19 naik turun dan diprediksi tidak akan cepat selesai, kita sudah membiasakan hidup 'berdampingan' dengan situasi endemi.
Kita terbiasa bila pergi ke luar rumah memakai masker. Juga membawa bekal hand sanitizer.
Termasuk menjaga jarak ketika berinteraksi dengan orang lain. Hingga, ketika kembali, mencuci tangan dan kaki dengan sabun sebelum masuk ke rumah. Plus beragam upaya lainnya untuk menjaga tubuh tetap sehat.
Ketika vaksinasi Covid-19 digencarkan, itu bisa dibilang merupakan 'level berikutnya' untuk bersiap menjalani situasi endemi.
Bahwa, ketika sudah divaksin, bukan hanya diharapkan terbentuk kekebalan komunal, tetapi juga sebagai ikhtiar melindungi diri dan keluarga. Tentunya tetap berkawan dengan masker dan hand sanitizer.
Kebijakan pemerintah menjadikan 'sudah divaksin' sebagai syarat berpergian hingga masuk ke pusat perbelanjaan ataupun lingkungan kerja yang mengharuskan karyawannya divaksin, terbukti mampu mendorong banyak orang bersedia divaksin.
Toh, meski woro-woro vaksinasi begitu ramai di mana-mana, ternyata masih ada yang masih belum mau divaksin.
Saya tidak sedang mengobrol tentang mereka di luar sana yang kabarnya tidak percaya dengan Covid-19 dan vaksin. Itu urusannya mereka.
Tapi, ini tentang orang-orang yang berada di circle saya. Di sekitar saya. alias mereka yang cukup sering mengobrol via percakapan WA ataupun bertatap wajah langsung dengan saya, tapi masih enggan divaksin.