Nah, tahu-tahu, klien ini meminta tanggal sekian dengan waktu tak sampai seminggu, bukunya sudah harus selesai. Padahal, sebelumnya ada waktu yang lumayan longgar tapi tidak kunjung dicetak karena masih ada revisi yang seperti tidak berkesudahan.
"Cetak buku minimal seminggu mas ya agar hasilnya bagus. Karena di percetakan tidak hanya mengerjakan buku ini, tapi juga ada order cetak yang lainnya," ujarnya.
Permintaan mendadak itu membuat kawan saya merasa tertekan. Di satu sisi, dia mau menerima pekerjaan itu karena memang butuh pemasukan. Di sisi lainnya, harus kejar target memberesi cetak buku sesuai deadline.
Apalagi, saya juga ikut kena 'getahnya'. Ikut merasa di-pressure karena terus ditanya bagaimana progres cetaknya. Meski, saya mencoba santai dan sekadar meneruskan pesan itu ke kawan tersebut.
Nah, hingga hari kelima, katakanlah Jumat, saya berniat mengajaknya ngobrol santai sambil ngopi. Yang terjadi, ajakan lewat pesan WA yang saya kirim, dibalas dengan 'kejutan'.
"Kalau begini, aku bisa stres mas. Ini ada lima orang meminta hal yang sama. Apa aku nggak kerja begini lagi saja," tulisnya.
Repotnya, ketika ditelpon tidak dijawab. Lantas, disambung dengan balasan pesan WA lagi, "Sori mas, aku menyendiri dulu. Ingin menenangkan pikiran".
Padahal, niat saya hanya ingin ngajak ngopi sembari ngobrol santai. Kalaupun ada obrolan kerjaan cetak buku itu, ya sekadar bertanya bukan untuk menyudutkan dirinya. Namun, dia overthinking duluan. Merasa tertekan dengan kerjaan itu. Bahkan, 'kena mental'.
Dari situ saya tahu, frasa bekerja di bawah tekanan itu bukan hanya dirasakan oleh mereka yang bekerja di kantoran yang terbiasa menjalankan tugas dan perintah dari atasan.
Pekerja lepas yang tidak punya atasan langsung dan bekerja mengandalkan skill untuk memberesi pekerjaan by order dari orang lain, ternyata juga bisa merasakan bekerja di bawah tertekan.
Menguasai skill bekerja di bawah tekanan