"Ayah, kapan bendera di depan rumah kita dipasang?".
Pertanyaan itu berulang kali didengungkan Gaizan setiap bertemu muka dengan ayahnya.
Sejak bulan Juli berganti hingga sepuluh hari menjelang 17 Agustus, ia tak bosan menanyakan itu. Persis ketika ia merengek meminta dibelikan es krim ketika ada penjual es krim melintas di depan rumah.
Bocah berusia 8 tahun itu mungkin merasa risih. Sebab, hampir semua rumah teman-temannya di depan dan kanan kiri rumahnya sudah memasang bendera merah putih. Hanya rumahnya dan satu dua tetangga saja yang belum.
Malah, ia seringkali bercerita kepada ayahnya perihal bendera yang dipasang di rumah Pak Iwan. Katanya, benderanya paling besar dibanding bendera di rumah tetangga lainnya.
"Warna merah dan putihnya juga masih kinclong Yah. Masih baru," ujar Gaizan.
Ayahnya yang tengah sibuk menulis di laptop, hanya menjawab singkat ocehan anak bungsunya itu.
"Iya Leh, abis ini kita pasang ya benderanya," ujarnya.
Bukannya tenang, jawaban ayahnya itu malah bikin Gaizan semakin agresif bertanya. Sebab, sudah beberapa kali ayahnya bilang begitu, tapi benderanya tidak kunjung dipasang.
Ayahnya bukannya lupa rutinitas memasang bendera di bulan Agustus. Pria yang baru berusia 40 tahun itu belum pikun. Rutinitas kerja menulis yang membuatnya banyak membaca, mengasah ingatannya. Tidak gampang lupa.
Tanggal lahir istri dan dua anaknya hingga tanggal pernikahan, dia bisa ingat. Bahkan, tanggal jadian semasa pacaran pun tidak lupa. Kecuali lupa menaruh kunci sepeda motor. Itu teka-teki yang belum terjawab.
Dia juga masih menyimpan pesan broadcast Pak RT di grup WhatsApp warga pada pekan pertama Agustus lalu yang mengingatkan warga agar segera memasang bendera merah putih.
Tentu saja, dia punya bendera merah putih di rumahnya. Namun, bendera itu tak kunjung dipasangnya. Penyebabnya, dia merasa malu. Itu karena warna bendera merah putihnya sudah lusuh.
Sudah beberapa tahun bendera itu mengangkasa setiap bulan Agustus. Waktunya diganti yang baru. Seperti bendera merah putih di rumah Pak Iwan yang warnanya kinclong dan berkibar gagah.
Apalagi, tiang bendera yang dulu dibeli berjamaah dengan para tetangga, kini entah hilang ke mana. Raib.
Dulu, ketika di taruh di halaman rumah, tiang itu seringkali dipakai anak-anak yang bermain bulutangkis untuk mengambil shuttlecock yang mengangkut di pohon. Atau mungkin juga ikut terbawa oleh tukang ketika ada sedikit renovasi di depan halaman rumahnya.
Dia tahu, tahun ini harus membeli bendera baru, juga tiangnya sekalian.
Baginya, bendera harus dipasang dengan gagah. Dia tak mau seperti nasib bendera di tepi jalan yang dipasang dengan tiang kayu asal-asalan. Melihatnya saja bikin merana.
Di situlah masalahnya. Gaizan tidak tahu bila sang ayah sedang mengalami kesulitan keuangan. Sebagai penulis lepas yang tidak punya kantor dan gaji tetap bulanan, ayahnya ikut terdampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang terus diperpanjang setiap pekan.
Dulu, jauh sebelum penerapan PPKM, ayahnya masih mendapatkan penghasilan tetap. Lumayan besar. Tak hanya honor dari menulis di majalah bulanan, ayahnya juga seringkali diundang instansi pemerintahan maupun kampus untuk bicara menjadi narasumber.
Bahkan, pernah juga jadi konsultan media di sebuah perusahaan besar. Itu berkah besar di masa pandemi yang awalnya terlihat kelam. Sebab, hampir semua instansi melakukan refocusing anggaran. Semua orang seolah menyimpan duitnya.
Pemasukan di masa sulit itu membuat keluarga kecil itu bisa melakukan sedikit renovasi di teras rumah. Sang ayah merasa perlu memiliki ruang untuk menerima tamu. Sebab, di dalam rumah dirasa kurang kondusif untuk berbincang menyambut tamu.
Ketika kondisi keuangan mereka mulai stabil dan bisa menabung, pandemi gelombang dua datang pada Juni lalu. Bahkan lebih mengerikan dibanding tahun 2020 lalu.
Beberapa tetangganya ada yang terpapar virus. Diisolasi. Bahkan ada yang meninggal setelah dirawat di rumah sakit. Malah, di kampung sebelah, hampir setiap pagi terdengar pengumuman berita duka dari pengeras suara di musala.
"Ini barusan dapat kabar, suaminya temanku, wali murid temannya Gaizan meninggal dunia," ujar istrinya memberi kabar.
Pandemi gelombang dua yang lantas berujung diterapkannya PPKM itu juga berdampak besar pada kondisi keuangan keluarga ini. Seperti juga banyak keluarga lainnya yang bernasib sama.
Pemasukan minim. Sementara kebutuhan hidup seperti belanja sayur, beras, membayar listrik, terus berjalan. Belum lagi kebutuhan membeli buku-buku untuk anak-anak yang sejak Juli lalu memulai aktivitas belajar secara daring.
Situasi sulit memaksa mereka bertahan semampunya. Berhemat. Mengencangkan ikat pinggang.
Sembari melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk menghasilkan duit. Tentunya jalan yang berkah. Semisal istrinya membantu dengan berjualan kue dan minuman herbal yang dijual ke tetangga.
Atas alasan berhemat dan penghasilan yang tak menentu itulah, niatan membeli bendera baru jadi tertunda.
Lha wong membeli bendera dan tiangnya butuh duit sekitar 100 ribu. Tentu saja, itu bukan bendera yang besar seperti di rumah Pak Iwan. Kalau itu bisa lebih mahal.
Di masa biasa, uang 100 ribu itu tidak seberapa. Namun, di masa sulit begini, uang segitu bisa sangat berarti. Bisa dirupakan beras 5 kilogram, telur 1 kilogram, dan beberapa bungkus mie instan. Lumayan untuk mengisi perut selama beberapa hari.
Namun, nurani sang ayah berkata lain. Hatinya tergugah. Bagaimanapun, bendera merah putih tidak bisa dibandingkan dengan beras, telor maupun mie instan.
Seperti yang sering ia ceritakan kepada dua anaknya menjelang tidur, dulu para pahlawan berani berjuang berkorban nyawa demi merah putih bisa tegak berdiri di negeri sendiri.
Rasanya malu banget kepada para pahlawan bangsa bila memasang bendera di depan rumah saja terasa berat.
"Leh, ayo ikut ayah," ujar sang ayah di suatu pagi di akhir pekan, beberapa hari menjelang 17 Agustus-an.
Gaizan yang tengah asyik menonton televisi, menjawab spontan.
"Ke mana Yah?".
"Mau ikut apa nggak? Jangan lupa maskernya dibawa ya," sambung sang ayah sembari memanasi mesin motor.
Setelah melintas melewati satu desa, mereka sampai di lokasi penjual bendera.
Gaizan semringah. Ayahnya membeli bendera merah putih baru dan tiang yang masih kinyis-kinyis dengan balutan cat putih.
"Bagus Yah benderanya. Nanti adik ikut bantuin masangnya ya," kata Gaizan sembari membantu memegang tiang bendera di atas motor yang tengah melaju.
Bendera merah putih yang masih berwarna cerah itupun berdiri gagah di depan rumah Gaizan. Berkibar mengangkasa ditiup angin.
Dalam hati, sang ayah berkata, dia memutuskan membeli bendera merah putih itu bukan karena didorong rasa malu dengan tetangga bila memasang bendera lusuh dengan tiang kayu.
Tapi, baginya, merah putih harus dikibarkan dengan kebanggaan. Itu juga menjadi pembelajaran bagi anak-anaknya agar merasa ikut bangga ketika mengibarkan bendera merah putih.
Dia tidak merasa berat hati meski untuk membeli bendera itu, harus mengambil sedikit isi tabungannya yang semakin tergerus.
Toh, baginya, meski dalam situasi serba sulit, ada banyak hal yang masih bisa disyukuri. Seperti keluarga dalam kondisi sehat dan kemerdekaan. Juga masih mampu berikhtiar menjemput rezeki. Berapapun yang didapat, disyukuri.
"Bersyukur itu bukan hanya karena mendapat sesuatu, tetapi juga karena kita semua dalam kondisi sehat dan bebas beraktivitas. Semoga pandemi ini segera berakhir".
Itu kalimat motivasi yang seringkali ia sampaikan kepada istri dan anak-anaknya sejak pandemi berdampak pada banyak orang di negeri ini mulai April tahun lalu. Sebenarnya bukan memotivasi keluarganya, tetapi lebih untuk memotivasi dirinya menghadapi situasi pelik ini.
Daripada overthinking memikirkan situasi sulit, sang ayah punya jurus untuk meredakan stres. Dia lantas merajuk kepada Gaizan.
"Dek, tolong ayah diinjak-injak punggungnya ya, biar pegal-pegalnya hilang". (*)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H