Pemasukan di masa sulit itu membuat keluarga kecil itu bisa melakukan sedikit renovasi di teras rumah. Sang ayah merasa perlu memiliki ruang untuk menerima tamu. Sebab, di dalam rumah dirasa kurang kondusif untuk berbincang menyambut tamu.
Ketika kondisi keuangan mereka mulai stabil dan bisa menabung, pandemi gelombang dua datang pada Juni lalu. Bahkan lebih mengerikan dibanding tahun 2020 lalu.
Beberapa tetangganya ada yang terpapar virus. Diisolasi. Bahkan ada yang meninggal setelah dirawat di rumah sakit. Malah, di kampung sebelah, hampir setiap pagi terdengar pengumuman berita duka dari pengeras suara di musala.
"Ini barusan dapat kabar, suaminya temanku, wali murid temannya Gaizan meninggal dunia," ujar istrinya memberi kabar.
Pandemi gelombang dua yang lantas berujung diterapkannya PPKM itu juga berdampak besar pada kondisi keuangan keluarga ini. Seperti juga banyak keluarga lainnya yang bernasib sama.
Pemasukan minim. Sementara kebutuhan hidup seperti belanja sayur, beras, membayar listrik, terus berjalan. Belum lagi kebutuhan membeli buku-buku untuk anak-anak yang sejak Juli lalu memulai aktivitas belajar secara daring.
Situasi sulit memaksa mereka bertahan semampunya. Berhemat. Mengencangkan ikat pinggang.
Sembari melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk menghasilkan duit. Tentunya jalan yang berkah. Semisal istrinya membantu dengan berjualan kue dan minuman herbal yang dijual ke tetangga.
Atas alasan berhemat dan penghasilan yang tak menentu itulah, niatan membeli bendera baru jadi tertunda.
Lha wong membeli bendera dan tiangnya butuh duit sekitar 100 ribu. Tentu saja, itu bukan bendera yang besar seperti di rumah Pak Iwan. Kalau itu bisa lebih mahal.
Di masa biasa, uang 100 ribu itu tidak seberapa. Namun, di masa sulit begini, uang segitu bisa sangat berarti. Bisa dirupakan beras 5 kilogram, telur 1 kilogram, dan beberapa bungkus mie instan. Lumayan untuk mengisi perut selama beberapa hari.