Namun, nurani sang ayah berkata lain. Hatinya tergugah. Bagaimanapun, bendera merah putih tidak bisa dibandingkan dengan beras, telor maupun mie instan.
Seperti yang sering ia ceritakan kepada dua anaknya menjelang tidur, dulu para pahlawan berani berjuang berkorban nyawa demi merah putih bisa tegak berdiri di negeri sendiri.
Rasanya malu banget kepada para pahlawan bangsa bila memasang bendera di depan rumah saja terasa berat.
"Leh, ayo ikut ayah," ujar sang ayah di suatu pagi di akhir pekan, beberapa hari menjelang 17 Agustus-an.
Gaizan yang tengah asyik menonton televisi, menjawab spontan.
"Ke mana Yah?".
"Mau ikut apa nggak? Jangan lupa maskernya dibawa ya," sambung sang ayah sembari memanasi mesin motor.
Setelah melintas melewati satu desa, mereka sampai di lokasi penjual bendera.
Gaizan semringah. Ayahnya membeli bendera merah putih baru dan tiang yang masih kinyis-kinyis dengan balutan cat putih.
"Bagus Yah benderanya. Nanti adik ikut bantuin masangnya ya," kata Gaizan sembari membantu memegang tiang bendera di atas motor yang tengah melaju.
Bendera merah putih yang masih berwarna cerah itupun berdiri gagah di depan rumah Gaizan. Berkibar mengangkasa ditiup angin.