Harapan warga Inggris untuk melihat Timnas mereka meraih trofi Piala Eropa di rumah sendiri gagal terwujud.
Inggris, sang ibu sepak bola, belum bisa memeluk 'anaknya' yang berpuluh-puluh tahun mengembara. Trofi rupanya enggan pulang ke rumah seperti jargon "It's coming home" yang seringkali diteriakkan fan Inggris.
Piala Eropa ternyata lebih memilih mendarat di Roma, ibu kota Italia. Trofi Henri Delaunay kembali ke pelukan Italia setelah berkelana selama 53 tahun.
Itu setelah Italia mengalahkan Inggris lewat drama adu penalti di final Piala Eropa 2020, Senin (12/7) pagi tadi. Italia menang adu penalti 3-2 karena terlihat lebih siap dibandingkan Inggris.
Adu penalti menjadi penentu juara setelah kedua tim bermain sama kuat 1-1 di waktu normal 2x45 menit hingga babak perpanjangan waktu 2x15 menit.
Inggris yang tampil di depan ribuan suporternya plus para pesohor seperti Pangeran William dan istrinya, Kate Middleton, juga mantan kapten Inggris, David Beckham, langsung panas di awal pertandingan.
The Three Lions--julukan Inggris unggul cepat di menit ke-2 lewat sontekan Luke Shaw. Italia baru bisa menyamakan skor di babak kedua. Bermula dari sepak pojok, Leonardo Bonucci menjebol gawang Inggris di menit ke-67.
Tidak ada gol setelah itu. Meski Inggris memasukkan beberapa pemain yang punya insting gol tinggi, seperti Jack Grealish juga Marcus Rashford dan Jadon Sancho di babak extra time.
Sementara Italia tak bisa berbuat banyak di babak perpanjangan waktu setelah pemain terbaik mereka di final ini, Federico Chiesa mengalami cedera, dia ditarik keluar di menit ke-86.
Sebelumnya, Chiesa menjadi pemain Italia yang paling rajin mengancam gawang Inggris. Pemain berusia 23 tahun ini paling berani membongkar tembok pertahanan Inggris. Sejak dia keluar, Italia terlihat tumpul.
Saat adu penalti Inggris sebenarnya diuntungkan, ternyata...
Adu penalti pun jadi penentu. Ini merupakan kali kedua, final Piala Eropa ditentukan lewat adu penalti setelah final tahun 1976 yang mempertemukan Chekoslovakia dan Jerman.
Di babak adu penalti, Inggris sebenarnya lebih diuntungkan. Sebab, Inggris tahu siapa saja eksekutor penalti Italia ketika melawan Spanyol di semifinal.
Inggris juga tahu bagaimana cara pemain-pemain Italia dalam mengeksekusi penalti seperti yang saya ulas di tulisan sebelumnya berjudul Benarkah Inggris Diuntungkan Bila Final Diakhiri Adu Penalti?
Pelatih Inggris, Gareth Southgate juga sengaja memasukkan Rashford dan Sancho di menit ke-120. Tujuannya tentu menjadikan mereka penendang penalti. Sebab, keduanya dikenal cukup piawai menendang penalti di level klub.
Italia mendapat giliran pertama. Dan memang, pelatih Italia, Roberto Mancini memilih penendang penalti yang nyaris sama seperti saat melawan Spanyol, kecuali penendang pertamanya.
Manuel Locatelli yang gagal kala melawan Spanyol, digantikan Domenico Berardi. Hasilnya, Berardi bisa memedaya Jordan Pickford, kiper Inggris. Harry Kane menyamakan skor 1-1.
Toh, anggapan Inggris mendapat keuntungan itu sempat mendapat pembenaran. Inggris sempat unggul ketika Pickford mampu memblok sepakan Andrea Belotti, eksekutor kedua Italia.
Belotti yang sukses saat adu penalti melawan Spanyol, kali ini nampak canggung. Bila melawan Spanyol, dia mengarahkan bola ke kanan gawang, kali ini dia menempatkan bola ke kiri gawang.
Mungkin dia mengira Pickford menganggap dirinya bakal mengarahkan tendangan ke arah yang sama. Ternyata, Pickford menunggu. Sepakan Belotti pun bisa diblok.
Lantas, Harry Maguire, seorang bek, memberi contoh kepada para juniornya bagaimana menendang penalti yang benar. Sepakannya ke pojok atas kiri gawang, memedaya Gianluigi Donnarumma, kiper Italia. Inggris pun unggul 2-1.
Seharusnya, momen itu membuat pemain-pemain Italia tertekan. Sebaliknya, pemain-pemain Inggris semakin termotivasi oleh sukses Kane dan Maguire.
Setelah menunggu lebih dari 50 tahun, Inggris tidak pernah sedekat itu untuk meraif trofi Piala Eropa. Piala itu hanya terpaut jarak tiga penendang. Andai semuanya sukses, Inggris bakal juara.
Namun, yang terjadi, Italia ternyata lebih siap dalam momen menegangkan itu. Mental pemain-pemain Italia lebih siap dibandingkan pemain-pemain Inggris yang justru tertekan.
Leonardo Bonucci maju sebagai penendang ketiga Italia. Bola diarahkannya ke kanan gawang. Gol.
Lantas, giliran Rashford maju. Kalau Maguire yang bek saja tendangannya oke, Rahsford yang striker dan satu klub dengan Maguire di Manchester United, seharusnya bisa melakukannya.
Yang terjadi, dia terlihat ragu sekian detik sebelum menendang ke kanan gawang. Dan, tendangannya menghantam mistar gawang. Tidak gol. Skor pun jadi sama 2-2.
Penendang keempat Italia, Federico Bernardeschi, maju. Dia tampak percaya diri. Dan memang, dengan pede, dia menendang bola ke tengah gawang, mengecoh Pickford yang bergerak ke kanan. Italia pun unggul.
Tekanan berbalik ke Inggris. Jadon Sancho yang selama Euro 2020 hanya mendapatkan minute play (menit bermain) sedikit saja, maju. Di klubnya sebelumnya, Borussia Dortmund, anak muda 21 tahun ini hebat dalam mencetak gol.
Namun, Sancho yang baru masuk lapangan di menit ke-120, rupanya kakinya belum 'panas'. Sepekannya lemah. Bola yang dia arahkan ke kiri gawang, bisa diblok Donnarumma. Inggris tertinggal 2-3.
Ketegangan pun terjadi. Italia bisa juara bila Jorginho, sang penendang kelima bisa menuntaskan tugasnya. Persis seperti saat melawan Spanyol. Sebab, bila gol, Italia akan unggul 4-2.
Tapi, tekanan di final memang lebih besar dari semifinal. Jorginho, sang spesialis penalti itu gagal.
Bila saat melawan Spanyol, dia nampak sangat tenang, kali ini tampak ragu ketika menendang bola ke kanan gawang yang bisa ditepis oleh Pickford.
Inggris masih punya harapan. Bila penendang kelima sukses, maka skor pun akan sama kuat 3-3. Adu penalti pun berlanjut ke penendang ke enam.
Di momen yang sangat menegangkan dan menentukan itu, Southgate ternyata menunjuk Bukayo Saka sebagai penendang kelima. Anak muda yang baru berusia 19 tahun.
Saya cukup heran dengan keputusan itu. Mengapa Southgate tidak menunjuk Raheem Sterling ataupun Jack Grealish yang lebih berpengalaman. Meski, nama terakhir sempat cedera saat pahanya terinjak Jorginho.
Ah, mungkin saja Southgate memang menyiapkan kejutan. Siapa tahu, Saka yang pendiam itu secara khusus disiapkan untuk menendang penalti.
Yang terjadi, Saka rupanya belum siap menghadapi tekanan besar di momen krusial seperti itu. Tendangannya mudah dibaca.
Bola yang dia arahkan ke kanan gawang, sama seperti Sancho, bisa diblok oleh Donnarumma. Italia pun juara Piala Eropa 2020.Â
Southgate kembali merasakan pedihnya kalah adu penalti di Wembley. Tahun 1996 silam, dia menjadi penendang gagal saat Inggris dikalahkan Jerman di semifinal Piala Eropa. Kini, dia kalah sebagai pelatih.
"Siapapun bisa gagal dalam adu penalti. Kekalahan ini sangat menyakitkan. Tapi, itulah sepak bola," ujar Harry Kane, kapten Inggris dikutip dari uefa.com.
"Kami harus bangga atas pencapaian di turnamen ini. Tim ini punya prospek bagus. Kami harus melanjutkannya. Ini memberikan kami motivasi ekstra di Piala Dunia tahun depan," sambung Kane.
Italia akhiri penantian 53 tahun, apresiasi untuk Mancini
Gelar ini membuat Italia mengakhiri penantian panjang di Piala Eropa. Kali terakhir mereka juara Eropa terjadi pada tahun 1968. Selama lima dekade, Italia selalu merana bila tampil di Piala Eropa.
Italia pernah dua kali ke final Piala Eropa, tapi keduanya berakhir pahit. Italia kalah secara tragis.
Gli Azzurri bernasib apes di final Euro 2000 saat melawan Prancis. Unggul lebih dulu lewat gol Marco Delvecchio, Italia nyaris juara.
Namun, jelang peluti akhir, Prancis bisa menyamakan skor 1-1 di menit ke-94 lewat Sylvain Wiltord. Lantas, Italia kalah 1-2 lewat aturan golden goal.
Piala Eropa kala itu memang memberlakukan gol emas. Maksudnya, bila di masa perpanjangan waktu ada tim yang mencetak gol, laga bakal langsung selesai. Jadi tidak menunggu 2x15 seperti sekarang. Prancis mencetak gol kemenangan di masa extra time lewat David Trezeguet.
Lalu, di final Euro 2012, Italia di luar dugaan kalah telak 0-4 dari Spanyol. Beberapa pemain Italia seperti Mario Balotelli sampai menangis usai laga seperti yang saya tulis di ulasan:Â
Baca Juga: Final Italia Punya 3 Keuntungan yang Tak Dimiliki Inggris.
Karena kekalahan di final itu, beberapa fan Italia sempat cemas bila Gli Azzurri di Piala Eropa bernasib seperti Juventus di Liga Champios.
Juventus, tim yang paling sering juara Liga Italia itu juga sering bernasib apes di LIga Champions. Sejak terakhir juara pada 1996 silam, mereka berkali-kali tampil di final tapi selalu kalah. Mulai final 1997, 1998, 2003, 2015, dan 2017.
Tapi, Italia mampu move on. Mereka bisa juara. Mereka lebih siap menghadapi adu penalti. Donnarumma, kiper muda yang berasa seperti pemain veteran, bisa memblok tiga tendangan penalti Inggris. Dia pun diganjar sebagai pemain terbaik Euro 2020.
Dan, tentu saja, apresiasi tinggi layak diberikan kepada sang pelatih, Roberto Mancini. Dia masuk melatih Italia ketika situasi sedang amburadul.
Italia baru saja gagal lolos ke Piala Dunia dan peringkat mereka merosot ke rangking 20-an FIFA.
Lantas, Mancini melakukan penyegaran. Beberapa pemain muda dipanggil menggantikan nama-nama lawas. Seperti kiper Donnarumma (22 tahun), Chiesa (23 tahun), Locatelli (23 tahun), dan Nicolo Barella (24 tahun).
Hasilnya, Italia di bawah kendali Mancini menjadi tim yang sulit dikalahkan. Mereka tidak terkalahkan di Piala Eropa 2020.
Bahkan, Italia-nya Mancini kini mengemas rekor tidak terkalahkan dalam 34 pertandingan. Menarik ditunggu kiprah Italia di Piala Dunia tahun depan.Â
Namun, sebelum itu, mari berucap selamat untuk Italia. Forza Azzurri. Salam sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H