Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Koran yang Kini Susah Dicari

3 Juli 2021   17:18 Diperbarui: 5 Juli 2021   02:11 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca koran di pagi hari pernah menjadi aktivitas menyenangkan. Kini, banyak orang beralih ke media sosial. Koran bukan lagi primadona seperti dulu | Foto: www.flickr.com

Bagi generasi kelahiran 80-an seperti saya, membaca koran di pagi hari pernah menjadi aktivitas yang menyenangkan.

Menikmati sajian berbagai berita dari lembaran-lembaran koran sembari ditemani secangkir kopi atau teh hangat. Itu cara asyik mengawali pagi.

Saya sengaja menuliskan kata "pernah menjadi aktivitas yang menyenangkan". Pernah berarti di masa sebelumnya, ada banyak orang yang memang melakoni aktivitas seperti itu.

Entah membeli koran sendiri lantas dibaca di halaman atau teras rumah. Atau juga membaca koran di warung kopi.

Pemilik warung kopi kala itu memang banyak yang melek literasi. Mereka rela mengeluarkan duit untuk membeli koran. Kala itu, koran jadi pilihan untuk menarik pengunjung.

Namun kini, situasinya sudah berbeda. Membaca koran di pagi hari bukan lagi menjadi pilihan bagi kebanyakan orang. Bagi banyak orang, koran bukan lagi primadona.

Koran juga bukan lagi pilihan bagi para pemilik warung kopi. Mereka kini beralih ke jaringan wi-fi. Bahwa, agar pengunjung mau datang, ya sediakan jaringan wi-fi gratis. Bukan koran.

Setidaknya, kesimpulan itu yang saya dapati di wilayah sekitar tempat tinggal saya di salah satu perumahan di wilayah desa di Sidoarjo. 

Di sekitar tiga atau empat desa yang seringkali saya lewati ketika pagi hari. Bahwa, kini susah untuk menemukan warga yang tengah asyik membaca koran di rumahnya di pagi hari. Padahal, dulu, pemandangan seperti itu sangat mudah ditemui.

Kini, sulit untuk mendapati warung kopi yang menyediakan koran baru agar dibaca pengunjungnya.

Sebab, bilapun disediakan koran, mungkin juga tidak akan dibaca. Lha wong para pengunjung warung kopi itu asyik dengan gawainya masing-masing. Saking asyiknya, kopi secangkir bisa habis satu jam-an.

Semoga saja fenomena itu hanya terjadi di sekitar tempat tinggal saya. Semoga di tempat lain, masih banyak orang membaca koran di pagi hari. Sebab, itu berarti hasil kerja teman-teman jurnalis bisa dinikmati banyak orang. 

Koran kini sulit ditemukan, ke mana?

Tapi memang, zaman saat ini sudah berubah. Kebiasaan sebagian besar masyarakat pun ikut berubah. Utamanya dalam menikmati waktu pagi.

Kini, jangankan membaca koran, untuk mendapatkan (baca membeli) koran saja susahnya minta ampun. Sebab, penjual koran ternyata tidak lagi sebanyak dulu.

Pengalaman itu yang saya rasakan Sabtu (3/7) pagi tadi. Niatnya membeli koran untuk melewatkan pagi dengan membaca di hari pertama penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di pulau Jawa-Bali.

Dalam beberapa tahun terakhir, saya memang sudah jarang membaca koran. Jarang bila dibandingkan dengan empat atau lima tahun lalu yang setiap hari membaca koran.

Bahkan, ketika masih bekerja sebagai staf Bagian Humas di Pemerintah Kota Surabaya selepas mundur dari bekerja di media, memelototi koran menjadi aktivitas rutin di pagi hari.

Kala itu, tugas pagi saya adalah mengecek berita apa saja yang dimuat teman-teman wartawan di medianya yang berkaitan dengan pemkot. Bukan hanya satu koran, tapi beberapa koran.

Namun, sejak memutuskan 'pensiun dini' setelah hampir lima tahun bekerja di humas itu, membaca koran tidak lagi se-ekstrem dulu. 

Aktivitas membaca berita itu mulai tergantikan oleh akun Instagram. Di mana, saya bisa men-follow media-media terpercaya yang rutin memposting berita.

Termasuk juga mengikuti update kabar di Kompasiana. Toh, berita yang berseliweran di Kompasiana tidak kalah update dengan yang ada di koran. Baik kuantitas maupun kualitas tulisannya.

Tapi, pagi ini, saya mendadak ingin membaca koran. Kangen memegang lembaran koran. Membolak-balik halamannya. Pendek kata, ingin bernostlagia.

Sembari mengantar istri belanja ke tukang sayur langganannya, saya berniat untuk membeli koran. Sembari menyetir motor, tengok kanan kiri barangkali ada yang berjualan koran.

Terpaksa tengok kanan-kiri karena beberapa kios dan tempat yang dulunya berjualan koran, ternyata sudah menghilang. Sudah tidak lagi berjualan.

Ya, dulu, ketika keluar dari komplek perumahan yang saya tinggali, tidak sampai 100 meter sudah ada pedagang yang menjual koran. Geser ke kampung sebelah, malah lebih banyak lagi.

Malah, di tukang yang menjual lauk pauk (sayur matang) ada yang menjual koran. Bahkan, pernah bisa beli di minimarket karena sepertinya ada marketing koran yang pernah bekerja sama dengan bagian marketing.

Tapi kini, semuanya sudah tidak ada. Kalau ingin mendapat koran, sepertinya harus keluar jauh. Ke jalan besar. Mungkin masih ada kios yang menjual koran. Meski mungkin jumlahnya tidak sebanyak dulu.

Astaga, saya baru tersadar, entah berapa lama saya tidak membeli koran sehingga perubahan yang terjadi sudah sedemikian hebat.

Nasib koran di era media sosial

Sepinya orang yang berjualan koran itu berbanding lurus dengan kehidupan di 'pabrik koran' sekarang ini. Ada banyak kawan yang bercerita, koran kini sudah tidak seperti dulu. Terlebih di masa pandemi ini.

Perubahan yang paling mencolok, bila Anda menengok halaman koran, jumlah iklannya kini tidak sebanyak dulu. Semisal korannya ada 20 halaman, jumlah iklannya kini bisa dihitung.

Kenapa bisa begitu?

Analisis sederhana, di masa pandemi begini, orang lebih banyak memilih untuk menyimpan uangnya dibandingkan beriklan di media. Soal efisiensi. Saya amati begitu.

Semisal iklan hunian atau kendaraan di media yang memang budgetnya besar karena biasanya satu halaman penuh dan berwarna, dulu masih banyak iklannya. Kini, iklannya lebih banyak menampilkan event ataupun kabar duka cita.

Itu alasan pertama. Yang kedua, dari penuturan beberapa teman, beberapa pemasang iklan kini tidak lagi terobsesi beriklan di koran besar dengan harga mahal.

Mereka kini lebih melirik ke media-media "kelas menengah" yang budgetnya lebih rendah. Karena tarifnya lebih murah, mereka bisa beriklan di banyak media dibandingkan dengan hanya di satu media yang harganya mahal. Lagi-lagi tentang efisiensi.

Selain itu, para pemasang iklan kini juga mulai melirik beriklan di platform media sosial. Pertimbanganya, media sosial kini lebih banyak dibaca ketimbang koran. Utamanya bagi generasi milenial.

Benarkah begitu? Sepertinya benar.

Tidak mengherankan bila dalam beberapa tahun terakhir, kita beberapa kali mendengar kabar ada koran atau majalah yang pamitan. Padahal, di masa jayanya, mereka terkenal. Oplahnya besar.

Tapi, mereka kini dimakan oleh perubahan zaman. Pembaca berkurang. Pemasang iklan juga menurun. Padahal, bagi beberapa media, itu merupakan pemasukan utama.

Sementara ongkos produksi tetap, bahkan mungkin lebih mahal. Belum lagi urusan menggaji karyawan. Karenanya, media-media itu lantas memilih berpamitan. Tidak lagi terbit.

Entah kapan koran-koran edisi kertas ini akan bertahan di era media sosial seperti sekarang. Mungkin dalam beberapa tahun mendatang, kita tidak lagi bisa menemukan koran.

Saya jadi teringat ketika mengajar sebagai dosen tamu mata kuliah dasar jurnalistik di sebuah perguruan tinggi di Sidoarjo. Ketika itu masih mengajar di kelas, belum daring seperti sekarang.

Dalam sebuah kesempatan--bertepatan dengan pamitannya Tabloid Bola--saya bertanya, apakah ada dari anak-anak di kelas itu yang masih membaca koran. Ternyata, dari 40-an anak, tidak yang mengangkat tangan alias tidak ada yang mengenal koran.

Ah, sedih. Saya memaklumi era mereka memang sudah berbeda dibandingkan era saya ketika kuliah dulu.

Namun, saya berpesan, bilapun mereka kini hidup di era media sosial, yang penting mau menyempatkan untuk membaca beragam informasi aktual.

Gawai jangan hanya dipakai untuk main game atau bermedsos. Tapi juga men-follow akun-akun berita sehingga bisa tetap memantau kabar baru. Anggap saja itu pengganti membaca koran. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun