Tapi, pagi ini, saya mendadak ingin membaca koran. Kangen memegang lembaran koran. Membolak-balik halamannya. Pendek kata, ingin bernostlagia.
Sembari mengantar istri belanja ke tukang sayur langganannya, saya berniat untuk membeli koran. Sembari menyetir motor, tengok kanan kiri barangkali ada yang berjualan koran.
Terpaksa tengok kanan-kiri karena beberapa kios dan tempat yang dulunya berjualan koran, ternyata sudah menghilang. Sudah tidak lagi berjualan.
Ya, dulu, ketika keluar dari komplek perumahan yang saya tinggali, tidak sampai 100 meter sudah ada pedagang yang menjual koran. Geser ke kampung sebelah, malah lebih banyak lagi.
Malah, di tukang yang menjual lauk pauk (sayur matang) ada yang menjual koran. Bahkan, pernah bisa beli di minimarket karena sepertinya ada marketing koran yang pernah bekerja sama dengan bagian marketing.
Tapi kini, semuanya sudah tidak ada. Kalau ingin mendapat koran, sepertinya harus keluar jauh. Ke jalan besar. Mungkin masih ada kios yang menjual koran. Meski mungkin jumlahnya tidak sebanyak dulu.
Astaga, saya baru tersadar, entah berapa lama saya tidak membeli koran sehingga perubahan yang terjadi sudah sedemikian hebat.
Nasib koran di era media sosial
Sepinya orang yang berjualan koran itu berbanding lurus dengan kehidupan di 'pabrik koran' sekarang ini. Ada banyak kawan yang bercerita, koran kini sudah tidak seperti dulu. Terlebih di masa pandemi ini.
Perubahan yang paling mencolok, bila Anda menengok halaman koran, jumlah iklannya kini tidak sebanyak dulu. Semisal korannya ada 20 halaman, jumlah iklannya kini bisa dihitung.
Kenapa bisa begitu?