Kala itu, saya sudah uring-uringan. Batal merayakan gelar juara lebih cepat. Meski masih ada harapan karena masih ada satu pertandingan.
Ya, penentuan juara Piala Uber 1994 harus ditentukan di laga terakhir. Di pertandingan kelima yang memainkan sektor tunggal.
Tim Indonesia menurunkan Mia Audina yang kala itu belum genap berusia 15 tahun. Mia kelahiran 22 Agustus 1979. Lawannya adalah Zhang Ning yang kala itu baru berulang tahun ke-19 tahun. Zhang Ning kelahiran 19 Mei 1975.
Baru di final itu, saya melihat sosok Mia. Karena memang akses media, terlebih di kampung, tidak semasif sekarang.
Kala itu, Mia bermain lincah, tidak kenal lelah bergerak ke setiap penjuru lapangan, dan pukulan-pukulannya mengejutkan juga sulit ditebak Zhang Ning. Penampilannya bak Akane Yamaguchi (tunggal putri Jepang) di era sekarang.
Mia unggul 11-7 di game pertama. Kegembiraan pun membuncah. Di game kedua, saya dan penonton lainnya sudah bersorak ketika Mia unggul dan sepertinya bisa memenangi game kedua. Yang terjadi, Zhang Ning membalik skor dan menang 12-10. Laga berlanjut ke game ketiga.
Lagi-lagi, perasaan ini dibuat cemas. Galau. Gregetan. Untungnya, Mia tidak down di game penentu ini. Dia tetap tampil hebat. Fokus. Kemenangan seolah tinggal menunggu waktu.
Apalagi, Zhang Ning terlihat sudah mulai kehilangan fokus. Pukulannya beberapa kali menyangkut di net. Dan benar saja, Mia menang telak 11-4. Indonesia pun juara. Itu gelar kedua bagi Tim Uber Indonesia setelah tahun 1975.
Zhang Ning mengalahkan Mia di final Olimpiade 2004
Sampai sekarang, final Piala Uber 1994 itu menjadi salah satu pertandingan beregu paling epik yang dikenang. Ketat. Dramatis. Bila rindu, saya kembali menyaksikan laga Mia vs Zhang Ning itu via Youtube.
Dua tahun kemudian, tim Piala Uber Indonesia kembali juara di Hong Kong. Mereka kembali mengalahkan tim China 4-1. Meski, tidak ada lagi duel Miavs Zhang Ning.