Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Saya dan Kenangan Cuti "Nggak Enak" sebagai Pekerja Media

3 Juni 2021   16:17 Diperbarui: 4 Juni 2021   10:59 1358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuti penting bagi pekerja untuk mengisi 'baterai' agar badan kembali segar. Namun, bekerja di media, cuti bisa menjadi serba salah bagi yang mengambilnya. (Foto: Willow Dempsey/Shutterstock)

Cuti merupakan hak bagi karyawan. Maknanya, pekerja tidak hadir bekerja sementara dengan keterangan dari pihak bersangkutan.

Aturan umum yang kita tahu, setiap tenaga kerja berhak mendapatkan satu hari cuti dalam sebulan atau dua belas hari dalam setahun.

Merujuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 79 Ayat (2) seorang pekerja berhak atas cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 hari kerja dalam satu tahun. Itu jika karyawan telah bekerja minimal 1 tahun atau 12 bulan secara terus menerus di perusahaan.

Dalam kenyataannya di dunia kerja, tidak semua pekerja mau menggunakan cuti kerjanya secara penuh. Tidak banyak yang memilih cuti satu hari dalam sebulan.

Pengalaman saya selama bekerja di 'pabrik koran' (baca perusahaan media), ada beberapa alasan sehingga pekerja media jarang mengambil cuti kerjanya. Palingan hanya ketika hari libur besar keagamaan.

Dulu, saya pun sangat jarang mengambil cuti. Bahkan, ketika badan merasa kurang bugar, saya seringkali memaksakan diri untuk tetap bekerja karena merasa memiliki tanggung jawab yang harus diselesaikan.

Kecuali bila badan benar-benar harus beristirahat di tempat tidur. Alias, tidak kuat untuk berangkat kerja mengendarai sepeda motor.

Kala itu, saya percaya pada kekuatan pikiran. Saya berpikir, meski kurang enak badan, bila dibawa bekerja, badan bakal bergerak, gembira bisa bertemu banyak orang, dan akhirnya kembali sehat.

Baru setelah berkeluarga, saya tidak lagi memaksakan diri bekerja ketika merasa tidak enak badan. Saya memilih izin bekerja. Tentunya dengan keterangan dari dokter.

Sebagai tulang punggung keluarga, saya merasa harus benar-benar menjaga kesehatan. Tidak boleh sembarangan dalam beraktivitas yang bisa menyebabkan sakit.

Tetapi memang, terlepas adanya aturan, mengambil cuti bagi awak media yang bekerja di perusahaan media itu tidak mudah.

Bukan karena sulit untuk mengajukan izin cuti. Tapi lebih karena ada perasaan 'tidak enak' dengan rekan kerja lainnya. Seolah ada perasaan serba salah bagi yang mengambilnya.

Merasa perlu mengambil cuti, terlebih bila memang sifatnya penting. Tetapi juga dibayangi perasaan tidak enak dengan rekan kerja lainnya. Kuncinya, cuti bekerja boleh saja, asal jangan terlalu.

Jangan cuti terlalu lama atau terlalu sering

Ketika bekerja di media, utamanya sebagai pencari berita, setiap pekerja sudah punya tugas masing-masing. Setiap individu punya kewajiban yang berbeda dengan lainnya. Ada yang ditugaskan sesuai wilayah liputan. Ada yang dibekerjakan sesuai desk/bagian liputan.

Ambil contoh pengalaman ketika dulu bertugas di Jakarta. Ada kawan yang ditugaskan meliput di Mabes Polri. Ada yang di Kejaksaan Agung, di gedung DPR, di gedung KPK, di kantor PSSI, hingga yang ditugaskan floating atapun all round di lapangan.

Setiap mereka punya kewajiban untuk menuliskan berita yang terjadi pada hari itu di lokasi liputan masing-masing. Bilapun ada yang libur karena jatah libur, area liputan yang libur tersebut bisa 'ditengok' teman lainnya.

Di daerah, kebanyakan teman-teman pekerja media malah tidak hanya meng-cover satu lokasi liputan. Tetapi satu wilayah. Mereka siap bergerak liputan ke banyak tempat.

Semisal kawan-kawan jurnalis media nasional yang ditempatkan di Surabaya, dalam sehari mereka bisa menjangkau tiga atau empat lokasi liputan atau bahkan lebih.

Mereka tidak hanya stand by meliput agenda pemerintahan. Semisal bila ada jumpa pers, mereka tidak meliput lantas leyeh-leyeh . Tidak begitu. Mereka juga harus menjangkau kabar dari ekonomi, kriminal, hingga olahraga. 

Bahkan, mereka terkadang harus bergerak ke kota tetangga seperti Sidoarjo ataupun Gresik bila ada kejadian yang besar dan mendapat perhatian skala nasional. Ketika dulu ditugaskan di Malang, saya pun merasakan siklus kerja seperti itu.

Bila seperti itu, bila ada pekerja media yang sedang mengambil cuti, berarti tanggung jawab kerjanya akan diserahkan kepada orang lain. Karena tidak mungkin, pos yang ditinggalkan kawan yang cuti itu dibiarkan.  Harus ada yang meng-cover untuk menulis berita yang terjadi di sana.

Bila cuti sehari mungkin tidak akan terlalu terasa bagi yang meng-cover. Namun, bila cuti yang diambil terlalu lama dan terlalu sering, tentunya akan menjadi beban bagi orang lain yang harus bekerja dobel.

Karena alasan itu, sepengetahuan saya, kawan-kawan pekerja media sangat jarang mengambil cuit terlalu lama. Mereka merasa tidak enak bila harus merepotkan kawan lainnya.

Mereka hanya mengambil cuti panjang semisal ketika Lebaran. Itupun sudah ada pengaturan dari pihak kepala desk redaksi. Cutinya dibuat bergantian.

Toh, selama libur Lebaran, biasanya tidak banyak terjadi peristiwa semisal politik, kriminal, ataupun olahraga. Yang banyak adalah tempat-tempat wisata yang ramai.  

Atau ketika ada kawan yang mengambil cuti hamil. Itupun sudah ada kebijakan dari kepala redaksi untuk mengatur pos yang ditinggalkan kawan cuti hamil tersebut agar diambil teman lainnya. Umumnya akan ada rolling. Diputar wilayah liputannya.

Cuti itu bagus untuk mengisi 'baterai"

Karena alasan tidak enak kepada teman kerja itu tadi, meski setiap tenaga kerja berhak mendapatkan satu hari cuti dalam sebulan, tidak banyak kawan media yang memilih mengambilnya.

Tetapi memang, cuti bagi karyawan sebenarnya punya tujuan bagus. Libur sejenak juga bertujuan untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani bagi para karyawan.

Terlebih bagi awak media yang pekerjaannya melelahkan fisik dan pikiran. Sebab, dalam sehari, mereka harus bergerak ke banyak tempat. Lantas,menguras pikiran karena harus menghasilkan tulisan yang selesai saat itu juga.

Cuti yang sesuai porsi, akan menjadi jeda yang penting. Cuti bagus untuk mengisi baterai tenaga dan pikiran yang sudah terkuras. Setelah kembali dari cuti, pikiran dan badan bisa kembali segar.

Dulu, semasa bekerja di media, bagi saya yang jarang mengambil cuti, jatah libur sehari dalam sepekan, sudah cukup untuk mengisi 'baterai'.

Di awal-awal bekerja di 'pabrik koran', ketika libur sehari, saya maksimalkan untuk refreshing. Baik dengan memancing, menonton film, ataupun bermain Play Station dengan teman.

Semasa di Jakarta, biasanya, ketika libur sehari, saya menghabiskan waktu untuk 'ngadem' di toko buku. Atau berdiam di tempat kos sembari membaca buku yang belum tuntas dibaca karena memang tidak ada saudara di Jakarta.

Lantas, malamnya bermain futsal bareng teman-teman dari daerah yang juga senasib alias tidak punya saudara di ibukota.

Waktu sendiri alias "me time" seperti itu sudah cukup untuk mebuat badan dan pikiran kembali segar. Lantas, esok kembali siap bekerja. Salam sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun