Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bukan Atasan atau Rekan Kerja, Bagaimana Bila Toksik Itu Kita?

25 Mei 2021   16:24 Diperbarui: 25 Mei 2021   16:38 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memiliki pekerjaan seharusnya menjadi salah satu momen paling menyenangkan. Sebab, bekerja tidak hanya menjadi kesempatan mendapatkan penghasilan. Bekerja juga menjadi jalan untuk membangun jejaring dengan orang lain.

Yang banyak terjadi, ada yang bekerja tetapi pekerjaannya tidak bikin happy. Rutinitas di tempat kerja serasa menyiksa sehingga sulit merasakan bahagia. Yang ada malah memperbanyak mengeluh.

Bukankah ada banyak orang yang bekerja tetapi malah mengeluh?

Seperti tidak pernah merasa bersyukur sudah memiliki pekerjaan sementara di luar sana banyak orang yang sedang berusaha mati-matian untuk mendapatkan pekerjaan.

Ya, ada banyak orang yang bekerja tapi doyan mengeluh. Mereka mengeluh karena merasa tidak mendapatkan gaji yang seharusnya. Mengeluh karena rasa dimusuhi teman-teman kerjanya. Mengeluh karena Merasa tidak diperhatikan bos meski sudah melakukan yang terbaik.

Tetapi memang, mustahil bekerja di tempat kerja dengan banyak orang tapi selalu damai.  Akan ada dinamika yang terjadi. Malah, ada tempat kerja yang mengandung 'racun'. Lingkungan Kerja Toksik.

Seperti racun, lingkungan kerja seperti ini tidak sehat. Malah bikin penyakit. Minimal, yang bekerja di dalamnya bisa fakir motivasi untuk bekerja.

Pengalaman saya bekerja selama 15 di beberapa tempat kerja maupun bekerja by project bersama perorangan maupun tim plus cerita dari teman-teman, toksik ini bermacam-macam wujudnya. Di satu tempat kerja dengan tempat kerja lainnya bisa berbeda.

Toksik berupa pimpinan yang menyebalkan

Pernah ada teman bercerita kepada saya. Dia mengaku ingin resign dari tempat kerjanya. Alasannya, dia mengaku sebal dengan atasannya.

Sebal karena merasa dirinya selalu diberi pekerjaan yang overload. Malah, bila melakukan kesalahan, dia 'dihakimi' di depan rekan-rekan kerjanya. Sementara bila kerjanya bagus, nyaris tidak ada apresiasi dari atasan.

Menjawab curhatan itu, saya menyampaikan saran normatif untuknya. Bahwa, bekerja di mana saja sebenarnya ceritanya sama saja. Situasi seperti itu bisa terjadi di mana saja.

Poin pentingnya, bila memang dia masih kuat dan merasa bisa beradaptasi  dengan situasi, silahkan bertahan.

Namun, bila merasa tidak kuat, lambaikan tangan ke kamera. Maksudnya, lebih baik resign. Mundur. Daripada bekerja tapi setengah hati dan doyan mengeluh. Meski, sebelum mundur, usahakan sudah ada "perahu yang baru".

Tentang atasan, tidak semua pekerja bisa mendapatkan pemimpin yang asyik. Malah, ada bos di kantor yang seperti pemeran antagonis di kisah sinetron.

Ada beberapa gejala untuk menyebut seorang atasan bisa menjadi toksik di tempat kerja. Di antaranya bila atasan senang menyalahkan orang lain. Sering terjadi miskomunikasi. Sering melanggar komitmen yang sudah disepakati.

Gejala lainnya, bila atasan lebih fokus hanya pada dirinya sendiri ketimbang untuk kebaikan tim/instansi. Tidak berani mengambil sikal tegas. Serta, mudah menyerah ketika dihadapkan pada tantangan dan kondisi sulit.

Tentu saja, bekerja dengan atasan seperti ini nggak asyik. Seperti yang saya sampaikan kepada kawan di atas, bila masih bisa beradaptasi, jalan terus. Tapi bila berdampak buruk bagi psikis dan semangat kerja, resign saja.

Toksik rekan kerja yang suka mengeluh

Saya pernah punya rekan kerja yang senang mengeluh. Seolah selalu tidak puas dengan keadaan dirinya. Di sela jeda bekerja, bisanya hanya mengeluh. Menggerutu. Sambat.

Bila diberi atasan tugas yang sedikit lebih banyak, lantas mengeluh. Seolah dia merasa hanya dirinya yang diberi tugas. Padahal, dia digaji ya agar bekerja. Apa iya hanya mau duduk-duduk lantas digaji?

Baru beberapa hari menerima gaji sudah mengeluh. Mengaku gajinya hanya tersisa sedikit setelah membayar cicilan ini itu. Padahal, semua cicilan barang yang dibayar itu dia nikmati. Kalau mau gaji utuh ya jangan ada cicilan.

Situasinya bertambah runyam bila suka nyinyir karena iri dengan rekan kerja. Semisal bila tahu rekan kerjanya baru membeli gawai baru atau sepeda motor baru.

Memiliki rekan kerja seperti ini tentu saja bisa membuat situasi kerja menjadi tidak nyaman. Bila setiap hari mendengarkan keluhan, itu bisa menjadi racun bagi pikiran kita.

Mau tidak didengarkan keluhannya, dia teman kerja. Tapi bila terus mendengarkan keluhan yang berulang, sama saja buang-buang waktu. Apalagi bila kita malah terpengaruh.

Bagaimana bila toksik itu kita sendiri ?

Bagaimana jika toksik di tempat kerja itu ternyata diri kita sendiri? Bagaimana bila kita sebenarnya memiliki racun tapi tidak pernah 'bercermin' melihat diri sendiri.

Bisa saja, gambaran atasan yang 'beracun' itu ternyata juga ada dalam diri kita. Semisal bila kita sulit bekerja dengan tim karen merasa paling punya kemampuan. Lantas, mudah menyalahkan orang lain di tempat kerja.

Atau, pikiran kita selalu merasa curiga kepada orang lain. Selalu berburuk sangka. Kita juga mudah menyerah ketika dihadapkan pada tantangan kerja yang sulit.

Semisal atasan memberikan tugas tambahan kepada Anda karena percaya dengan kemampuan Anda. Atau, bukan tidak mungkin tugas tambahan itu merupakan 'jalan' yang diberikan atasan agar Anda bisa naik jabatan.

Namun, karena mudah berburuk sangka, kita malah menganggap atasan tidak menyukai kita sehingga memberikan beban kerja berat. Lantas, iri dengan rekan kerja karena tidak mendapaka 

Bila seperti itu, kita tidak akan pernah bisa maju di tempat kerja. Giliran orang lain yang mendapat promosi jabatan, kita hanya bisa iri hati.

Pada akhirnya, bekerja di mana saja itu sebenarnya sama saja. Akan selalu ada 'racun' di tempat kerja yang mungkin muncul.

Pilihannya hanya dua. Adaptif demi bisa survive di tempat kerja. Atau resign memilih tempat yang lebih baik.

Meski, bukan tidak mungkin di tempat kerja yang baru itu juga sama saja. Sama juga mengandung toksik. Terpenting, jangan biarkan situasi di tempat kerja mematikan semangat dan kegembiraan dalam bekerja. Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun