Menjawab curhatan itu, saya menyampaikan saran normatif untuknya. Bahwa, bekerja di mana saja sebenarnya ceritanya sama saja. Situasi seperti itu bisa terjadi di mana saja.
Poin pentingnya, bila memang dia masih kuat dan merasa bisa beradaptasi  dengan situasi, silahkan bertahan.
Namun, bila merasa tidak kuat, lambaikan tangan ke kamera. Maksudnya, lebih baik resign. Mundur. Daripada bekerja tapi setengah hati dan doyan mengeluh. Meski, sebelum mundur, usahakan sudah ada "perahu yang baru".
Tentang atasan, tidak semua pekerja bisa mendapatkan pemimpin yang asyik. Malah, ada bos di kantor yang seperti pemeran antagonis di kisah sinetron.
Ada beberapa gejala untuk menyebut seorang atasan bisa menjadi toksik di tempat kerja. Di antaranya bila atasan senang menyalahkan orang lain. Sering terjadi miskomunikasi. Sering melanggar komitmen yang sudah disepakati.
Gejala lainnya, bila atasan lebih fokus hanya pada dirinya sendiri ketimbang untuk kebaikan tim/instansi. Tidak berani mengambil sikal tegas. Serta, mudah menyerah ketika dihadapkan pada tantangan dan kondisi sulit.
Tentu saja, bekerja dengan atasan seperti ini nggak asyik. Seperti yang saya sampaikan kepada kawan di atas, bila masih bisa beradaptasi, jalan terus. Tapi bila berdampak buruk bagi psikis dan semangat kerja, resign saja.
Toksik rekan kerja yang suka mengeluh
Saya pernah punya rekan kerja yang senang mengeluh. Seolah selalu tidak puas dengan keadaan dirinya. Di sela jeda bekerja, bisanya hanya mengeluh. Menggerutu. Sambat.
Bila diberi atasan tugas yang sedikit lebih banyak, lantas mengeluh. Seolah dia merasa hanya dirinya yang diberi tugas. Padahal, dia digaji ya agar bekerja. Apa iya hanya mau duduk-duduk lantas digaji?
Baru beberapa hari menerima gaji sudah mengeluh. Mengaku gajinya hanya tersisa sedikit setelah membayar cicilan ini itu. Padahal, semua cicilan barang yang dibayar itu dia nikmati. Kalau mau gaji utuh ya jangan ada cicilan.