Membaca juga bisa dilakukan di media sosial. Bukankah generasi mereka lebih akrab dengan media sosial? Utamanya Instagram. Karenanya, agar mereka jadi senang membaca, membacanya ya harus di media sosial.
Saya lantas menyarankan agar ketika Instagram-an, mereka tidak hanya mem-follow akun artis, atlet, atau tokoh terkenal. Namun, juga mem-follow akun berita. Semisal mem-follow akun Kompas.com atau Kompasiana.
Dengan begitu, tampilan layar Instagram mereka tidak hanya muncul wajah artis yang mem-posting aktivitasnya. Lebih dari itu, mereka juga bisa mengetahui informasi baru yang terjadi hari ini dari postingan akun Instagram.
Bagi saya, itu cara awal untuk menanamkan minat membaca pada mahasiswa dan anak muda yang kurang senang membaca. Itu cara sederhana agar mereka bisa mendapatkan asupan informasi.
Sebab, membaca di postingan Instagram rasanya tidak seberat membaca buku atau majalah. Mereka juga tidak akan berpikir membuang waktu versi mereka. Bukankah mereka betah berlama-lama untuk scroll postingan-postingan di IG.
Dari situ, siapa tahu minat membaca mereka akan tumbuh. Mereka jadi senang membaca. Mulanya membaca di media sosial. Lantas 'naik level' dengan senang membaca buku ataupun koran/majalah.
Banyak membaca, bikin tulisan lebih "renyah"
Setelah urusan meluruskan stigma membaca sudah selesai, baru saya masuk pada poin kaitan antara membaca dan menulis.
Bahwa, menulis tanpa membaca sebenarnya bisa saja. Semisal bila mereka menuliskan pengalaman pribadi ataupun apa yang mereka ketahui. Selama mau menulis, jadilah tulisan.
Namun, bila tanpa membaca, saya tekankan bahwa tulisan mereka akan dangkal. Kurang dalam. Kurang asyik. Bahkan mungkin rasanya akan hambar.
Sebab, membaca bukan hanya tentang menambah wawasan untuk dijadikan bahan tulisan. Lebih dari itu, banyak membaca juga akan membuat gaya menulis kita semakin luwes. Tidak kaku. Sebab, kita bisa mempelajari beraneka macam gaya tulisan orang lain.