Saya sering memotivasi mereka agar senang menulis. Bahwa bila memiliki skill menulis, mereka tidak perlu menunggu lulus kuliah untuk bisa mendapatkan penghasilan dan mandiri.
Termasuk mengajak mereka menulis di Kompasiana dengan "iming-iming" mereka bisa mendapatkan banyak hal. Teman. Peluang personal branding. Hingga duit.
Lalu, apa jawaban saya merespons pertanyaan itu?
Pertanyaan dari mahasiswa tersebut sebenarnya tidak keliru. Dia malah jujur menyampaikan apa yang dia rasakan. Bagi saya, masalahnya hanya ada di membaca. Kabar bagusnya, dia memiliki keinginan menulis.
Menurut saya, mahasiswa tersebut mungkin bukan malas membaca. Tetapi lebih karena memiliki pemahaman yang keliru tentang membaca.
Bahwa, membaca mungkin diidentikkan dengan hanya membaca buku atau koran yang itu jelas memakan banyak waktu. Kebanyakan anak muda era gawai berpendapat seperti itu.
Karena pendapat keliru itu, sebagian dari mereka merasa membaca itu aktivitas yang buang-buang waktu. Nggak asyik.
Dampaknya, tidak mengherankan bila animo membaca mahasiswa era sekarang, tidak setinggi seperti era ketika saya jadi mahasiswa dulu.
Di awal tahun 2000-an dulu, perpustakaan di kampus masih menjadi tempat nongkrong paling asyik. Kini, cafe dan warkop ber-wifi lah yang dianggap tempat paling menyenangkan.
Karenanya, saya memilih untuk memperbaiki pandangannya tentang membaca. Bahwa, membaca itu tidak hanya membaca buku dan koran sehingga kesannya membosankan.