Tidak sulit menemukan informasi perihal korelasi antara membaca dan menulis. Bahwa membaca dan menulis seringkapi dianggap sebagai 'saudara kembar' yang tidak terpisahkan.
Ada banyak orang yang beranggapan bila membaca merupakan "syarat" untuk menulis. Dengan kata lain, kalau mau menulis ya harus banyak membaca. Titik.
Perihal korelasi membaca dan menulis ini, saya masih ingat pesan salah satu dosen semasa kuliah dulu. Dosen yang juga guru pertama saya dalam menulis.
Pak dosen yang sudah menulis puluhan buku dan ratusan artikel yang tayang di media ini mengibaratkan membaca dan menulis itu seperti ceret/teko. Bahwa, teko itu hanya akan bisa menuangkan air, bila sebelumnya diisi air. Bila tidak ada isinya, mana bisa menuangkan air.
Maknanya, sebelum menulis, usahakan mengisi "isi kepala" dengan banyak asupan dari membaca. Asupan itulah yang kemudian bisa dituangkan menjadi tulisan.
Ada juga yang berpendapat, seorang yang membaca (pembaca) bukan berarti harus menjadi penulis. Akan tetapi, untuk menjadi seorang penulis, seseorang harus mutlak memiliki kebiasaan membaca.
Nah, bagaimana bila ada yang ingin menulis, ingin menghasilkan tulisan, tetapi malas untuk membaca. Bila seperti itu, bisakah dia menulis?
Saya mendapati pertanyaan "unik" itu dari seorang mahasiswa ketika mengajar kuliah daring prodi ilmu komunikasi di kampus di Sidoarjo. Kebetulan, mata kuliah yang saya ajar tidak jauh dari tulis-menulis. Yakni "Teknik Penulisan Kreatif".
Mendapati pertanyaan itu, tentu saya tidak mau menjawab "tidak bisa, karena bila ingin menulis ya harus banyak membaca". Saya tidak ingin mematikan keinginan mahasiswa itu untuk menulis.
Sebab, semangat saya ketika menerima tawaran mengajar sebagai dosen tamu, bukan demi mendapatkan fee mengajar. Namun, saya ingin membangun jaringan dengan mengenal banyak orang.
Terpenting, saya ingin membagikan semangat menulis kepada mahasiswa semester 3 di era ketika menulis bukan lagi primadona seperti saat saya menjadi mahasiswa.