Sepak bola itu cerita yang berulang. Terlebih di panggung Liga Champions yang kontestannya kebanyakan 'itu-itu saja'. Sangat mungkin, apa yang terjadi di masa lalu, kembali terulang di masa kini.
Seperti pertemuan Bayern Munchen menghadapi Olympique Lyon di laga semifinal Liga Champions di Lisbon, Rabu (19/8) malam waktu Portugal atau Kamis (20/8) dini hari waktu Indonesia.
Ya, cerita yang berulang. Pada 10 tahun lalu, Bayern juga bertemu Lyon di semifinal Liga Champions. Bedanya, semifinal kala itu digelar dua kali, kandang dan tandang. Hasilnya, Bayern menang dua kali, 1-0 dan 3-0 lantas bablas ke final. Lantas, dikalahkan Inter Milan.
Kali ini, semifinal akan digelar sekali (single match). Tim yang menang, akan langsung tampil di final. Mereka tak perlu memainkan pertandingan kedua. Di final, mereka sudah ditunggu Paris Saint Germain (PSG) yang dini hari tadi menyingkirkan RB Leipzig.
Bayern Munchen atau Lyon yang ke final?
Kedua tim lolos ke semifinal dengan bekal bagus. Bayern membuat sejarah kemenangan terbesar usai menggilas Barcelona 8-2. Sementara Lyon membuat kejutan dengan menang 3-1 atas Manchester City yang lebih diunggulkan.
Berangkat dari hasil di perempat final itu, ada dua pertanyaan besar yang mencuat jelang laga semifinal dini hari nanti. Pertanyaan tentang kedua tim.
Pertanyaan pertama, apakah Bayern akan tetap tampil ganas di semifinal, atau malah bermain antiklimaks usai mengalahkan Barcelona.
Lalu, apakah Lyon bisa kembali tampil mengejutkan seperti kala mengalahkan City, atau malah tidak berdaya menghadapi Bayern. Sebab, bila Barca saja ambyar, apa jadinya Lyon.
Menyikapi dua pertanyaan tersebut, setelah mengulik beberapa referensi, saya sampai pada kesimpulan. Bahwa Bayern berpeluang besar untuk mengulang cerita 10 tahun silam.
Sah-sah saja bila ada yang menganggap Bayern yang lebih diunggulkan, bakal terbebani dengan status unggulan. Sehingga, mereka akan langsung menurun layaknya wahana roller coaster setelah mengalahkan Barcelona.
Namun, tiga fakta ini bisa menjadi jawaban bahwa kemungkinan Bayern bakal terjun bebas laksana roller coaster itu kemungkinannya sangat kecil. Apa saja?
Dalam hal konsistensi, jangan meragukan Bayern
Pertama, dalam hal konsistensi, jangan meragukan Bayern Munchen. Mereka bukan tipikal tim angin-anginan yang setelah tampil bagus lantas tampil melempem di pertandingan berikutnya.
Faktanya, dalam 25 pertandingan terakhir, tim asuhan Hans-Dieter Flick ini menang 24 kali. Sebanyak 19 tim sudah mencoba menghentikan mereka sejak tren kemenangan pada 16 Februari lalu. Namun, semuanya gagal. Termasuk Chelsea dan Barcelona. Dua mantan juara di Liga Champions.
Di Liga Champions, dalam perjalanan menuju semifinal, Bayern juga selalu menang dalam 9 pertandingan sejak fase grup hingga perempat final.
Dari 32 tim yang tampil di fase grup, Bayern Munchen-lah satu-satunya tim yang meraih enam kemenangan alias tidak sekalipun kehilangan poin. Sementara Lyon dua kali kalah dan sekali kalah di markas Juventus di babak 16 besar.
Dari gambaran itu, Bayern Munchen bukanlah tim labil yang di kemarin tampil bagus esok tampil buruk. Karenanya, sulit membayangkan mereka tampil ambyar di laga semifinal nanti.
Apa yang membuat mereka tampil konsisten? Karena Bayern tidak mengandalkan satu dua pemain saja di mana penampilan tim bergantung performa pemain tersebut.
Musim ini, pemain Bayern di hampir semua posisi tampil oke. Lini serang oke, lini tengah tangguh, lini bertahan solid, dan kiper kokoh. Â Ingat, ketika Bayern menang 8-2 atas Bayern, delapan gol itu dicetak oleh enam pemain. Yakni Thomas Muller, Ivan Perisic, Serge Gnabry, Joshua Kimmich, Robert Lewandowski, dan Philippe Coutinho.
Bahkan, pemberi assist dari delapan gol itu, semuanya pemain berbeda. Salah satunya bek kiri Alphonso Davies (19 tahun) yang juga membuat Lionel Messi tak berkutik. Itu menjadi bukti kedalaman tim Bayern Munchen saat ini.
Bayern senang dengan format baru single match
Penampilan konsisten Bayern juga didukung oleh format baru di Liga Champions yang diterapkan UEFA mulai babak perempat final.Â
Bahwa, laga perempat final dan semifinal hanya digelar sekali. Bukan dua kali, tandang dan kandang seperti dulu. Durasi harinya pun tidak jauh, hanya empat hari.
Nah, dengan babak perempat final menuju semifinal hanya berjarak empat hari, bisa dibilang 'mesin' Bayern setelah mengalahkan Barca, belum dingin. Masih panas. Apalagi, pertandingan juga digelar di satu kota sehingga tidak ada istilah jet lag.
Berbeda dengan dulu, jarak pertandingan perempat final ke semifinal maupun leg 1 ke leg 2, bisa dua pekan. Itu belum termasuk tim masih harus bermain di liga domestik sehingga berisiko cedera dan kelelahan dan berdampak pada naik turunnya penampilan tim.
Format single match juga pastinya membuat Bayern senang. Sebab, dalam beberapa tahun terakhir, mereka seringkali terhenti di semifinal yang memainkan dua leg.
Di musim 2013/14, Bayern disingkirkan Real Madrid setelah kalah 0-1 dan 0-4. Lalu di musim 2014/15, Bayern kembali out di semifinal usai kalah agregat 5-3 dari Barcelona (kalah 0-3 dan menang 2-3).
Pun, di musim 2015/16, Bayern kembali out di semifinal. Kali ini bahkan lebih tragis. Sebab, mereka tersingkir karena aturan gol away saat melawan Atletico Madrid.
Kala itu, Bayern hanya menang 2-1 di leg II usai kalah 0-1 di leg I di Madrid. Meski agregat 2-2, tapi Atletico bisa mencetak gol di markas Bayern sehingga berhak ke final.
Karenanya, dengan laga semifinal digelar sekali saja, jelas membuat Bayern senang. Mereka hanya perlu meraih kemenangan dan langsung lolos ke final tanpa perlu berpikir mengamankan kemenangan di leg II ataupun khawatir gol away.
Bayern termotivasi ke final demi mengukir gelar treble
Ketiga, Bayern akan sangat termotivasi untuk lolos ke final demi memburu gelar treble winners di musim ini. Kita tahu, Bayern sudah juara Bundesliga. Mereka juga juara DFB Pokal.
Nah, bila "piala bertelinga lebar" Liga Champions juga bisa diraih, Bayern akan bisa menyamai prestasi mereka kala meraih treble winners di musim 2012/13 silam. Bayern juga akan meraih piala Liga Champions kenam mereka, menyamai pencapaian Liverpool yang meraihnya pada musim lalu.
Bicara motivasi, tentu saja Lyon juga akan sangat termotivasi untuk lolos ke final pertama mereka di Liga Champions. Namun, di babak seperti ini, kedua tim otomatis sudah termotivasi. Penentunya ya penampilan di lapangan.
Namun, meski Bayern lebih punya pengalaman melewati babak semifinal karena sudah 10 kali tampil di final, bukan berarti semifinal nanti akan berjalan mudah.
Toh, bagaimanapun, Lyon yang bisa menyingkirkan Juventus dan Manchester City, tidak bisa diremehkan. Pelatih Lyon, Rudi Garcia juga pernah tampil di final kompetisi Eropa. Tepatnya saat membawa Marseille ke final Europa League musim 2017/18 lalu.
Pertanyaan terakhir, mampukah Lyon menahan gempuran serangan Bayern yang pasti akan tampil menyerang? Terlebih bila Rudi Garcia tetap memakai skema 3-5-2 yang tentu rentan bila diserang lewat sayap karena jarak antar tiga bek yang berjauhan.
Bila Lyon mampu bermain kokoh di 15 menit awal, apalagi di babak pertama, mereka punya peluang untuk membuat kejutan. Namun, gempuran Bayern yang seperti tsunami, rasanya sulit dibendung.
Jadi, sampean (Anda) memprediksi bakal tercipta final ideal antara Bayern melawan PSG, dua tim yang doyan menyerang. Atau malah ulangan final Piala Liga Prancis di musim ini antara PSG dan Lyon. Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI