Dalam sejarah Liga Champions, ada banyak nama pelatih hebat yang pernah mengalami nasib sial. Mereka pernah membawa timnya ke final, tapi kemudian gagal dengan cara menyakitkan.
Sebut saja nama Ottmar Hitzfeld. Dia pelatih yang melatih Bayern Munchen saat final Liga Champions 1999 melawan Manchester United. Itu salah satu final paling dramatis. Betapa Bayern yang unggul 1-0 hingga menit ke-90, lantas kemasukan dua gol dalam waktu 112 detik di masa injury time.
Toh, dua tahun kemudian, Hitzfeld mendapatkan pelipur lara ketika membawa Bayern juara Liga Champions edisi 2001 usai mengalahkan Valencia lewat adu penalti.
Ada juga nama Carlo Ancelotti. Dia satu-satunya pelatih yang timnya kalah di final ketika sempat unggul tiga gol di babak pertama. Ya, itu terjadi saat Milan melawan Liverpool di final Liga Champions 2005.
Milan yang dilatih Ancelotti, unggul tiga gol di babak pertama. Tapi Liverpool menyamakan skor 3-3 hanya dalam enam menit di babak kedua. Lantas menang adu penalti 2-3.
Toh, dua tahun kemudian, Ancelotti bisa move on saat Milan dibawanya jadi juara Liga Champions edisi 2007. Bahkan, move on itu seolah paripurna karena Milan balik mengalahkan Liverpool 2-1.
Nah, bila menyebut pelatih sial di panggung Liga Champions, rasanya tidak ada pelatih yang lebih sial dibandingkan Diego Simeone.
Sebab, bila pelatih-pelatih lain yang pernah merasakan kesedihan luar biasa karena kalah di final, mereka kemudian bisa move on dengan menjadi juara. Namun, Simeone tidak seperti itu.
Hingga kini, Simeone masih dihantui kepedihan karena dua kali kalah di final dengan cara menyedihkan. Entah apakah kenangan pahit itu juga menghantui tidurnya.
Tahun 2014 silam, di kota Lisbon Portugal, Simeone membawa Atletico Madrid ke final, bertemu tetangga mereka, Real Madrid. Â Itu final Liga Champions pertama Simeone sebagai pelatih.
Segalanya berjalan bagus bagi Simeone ketika Diego Godin membawa tinya unggul. Bahkan, hingga menit ke-90, Atletico masih unggul. Namun, di menit ke-93, ketika Simeone harap-harap cemas agar wasit Bjorn Kuipers dari Belanda segera meniup peluitnya, petaka justru menimpa timnya.