Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, tidak hanya menyebabkan gelombang kematian di banyak negara. Di sisi lain, wabah yang sudah menjadi pandemi ini juga membuat dunia usaha dan perekonomian serasa lumpuh.
Seperti makna kata 'lumpuh' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dunia usaha dan perekonomian kini menjadi lemah, tidak bertenaga, bahkan tidak dapat bergerak lagi.
Faktanya memang begitu. Dampak dari pandemi ini, ada jutaan orang yang mendadak menjadi pengangguran. Dirumahkan. Penyebabnya, perusahaan tidak lagi mampu memutar roda usahanya.
Simak beberapa data berikut. Menurut laporan BBC, jumlah total pengangguran di Amerika Serikat (AS) mencapai 33,3 juta orang atau sekitar 20% dari seluruh tenaga kerja AS. BBC melaporkan, jumlah warga AS yang mengajukan tunjangan pengangguran terus meningkat ketika negara itu berusaha mencari jalan keluar dari karantina virus corona.
Pada awal Mei lalu, sebanyak 3,2 juta orang di AS dilaporkan mengajukan tunjangan pengangguran. Kalangan pekerja 'kerah biru' mengalami pemutusan hubungan kerja, setelah gelombang sebelumnya dialami sektor retail dan restoran seperti dikutip dari bbc.com.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Hampir semua orang merasakan dampak ekonomis dari pandemi ini. Meski mungkin level dampaknya berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang pemasukannya berkurang dari sebelumnya. Ada yang bahkan kehilangan pekerjaan. Sebab, sejak pandemi ini meluas, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dan karyawan dirumahkan, marak terjadi.
Menurut data dari Kementerian Tenaga Kerja per 20 April 2020 lalu, hampir tiga juta karyawan dirumahkan atau terkena PHK. Bahkan, angka lebih memprihatinkan dimunculkan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Bahwa, orang yang menjadi korban PHK bisa mencapai 15 juta jiwa.
Angka korban PHK dari Kadin tersebut jauh lebih besar karena data dari Kementerian Tenaga Kerja tersebut, belum menghitung pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang juga terdampak wabah ini.
Bahkan, di awal semester kedua tahun 2020 ini, sangat mungkin, data dari jumlah karyawan yang dirumahkan dan terkena PHK tersebut semakin bertambah.
Memang, di tengah situasi sulit, pemerintah telah menyalurkan sejumlah bantuan sosial (bansos) baik berupa sembako maupun bantuan langsung tunai (BLT) untuk warga terdampak wabah Covid-19 yang memang layak mendapatkan bantuan. Utamanya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ataupun warga yang masuk dalam program keluarga harapan (PKH).
Namun, seberapapun banyaknya bantuan yang telah dikucurkan oleh pemerintah, belum semua masyarakat terdampak pandemi ini mendapat bantuan. Utamanya mereka yang masuk kategori warga "mendadak "pengangguran".
Namanya mendadak, mereka tiba-tiba menganggur karena usaha mereka sepi ataupun bisnis mereka mati suri imbas pandemi yang tidak pernah diduga ini. Sebelum virus Corona mewabah, kondisi perekonomian mereka baik-baik saja. Bahkan terbilang mapan. Tapi, situasi berubah setelah ekonomi seret akibat pandemi.
Omnibus Law Cipta Kerja, Bagaimana Kabarnya ?
Nah, untuk mengatasi pengangguran mendadak yang jumlahnya tidak sedikit ini, tentu tidak bisa mengandaikan pemerintah terus-terusan memberikan subsidi bantuan. Solusi paling masuk akal adalah dengan memberikan kail (pancing). Bukan ikan. Kail juga kolam ikan agar mereka berusaha mendapatkan ikan.
Menyikapi hal ini, saya jadi teringat dengan Omnibus Law Cipta Kerja. Entah bagaimana kabar terbarunya. Setahu saya, pada akhir Maret lalu, Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja masih dalam proses penggodokan di DPR.
Memangnya ada apa dengan Omnibus Law bila dikaitkan dengan jumlah pengangguran yang bertambah banyak akibat pandemi?
Dari membaca sejumlah referensi, meski sempat memicu pro kontra perdebatan karena memang ada sisi positif dan negatifnya, tetapi secara umum draft RUU ini bisa memberikan dampak positif bagi perekonomian tanah air. Terlebih bagi nasib kaum buruh/para pekerja.
Mengutip penjelasan dari para pakar, draft Omnibus Law ini bertujuan untuk memperbaiki iklim investasi dan kesejahteraan para pekerja. Utamanya soal sistem pengupahan yang selama ini dianggap kontroversial.
Bahwa, sistem pengupahan berubah dari sistem harian menjadi jam kerja, dianggap akan membawa dampak para pekerja semakin terfokus pada pekerjaan. Hasilnya, Â prestasi kerja jadi optimal. Para pengusaha juga akan mendapat kepastian dan jaminan dalam mengembangkan usaha.
Selain itu, sisi positif lainnya yang bisa didapatkan oleh para pekerja dari Omnibus Law adalah semakin luasnya prospek lapangan kerja. Hal ini tidak lepas dari soal kemudahan dan penyederhanaan aturan investasi dalam negeri.
Hal ini dinilai bisa menjadi katalis bagi pengusaha asing untuk masuk berinvestasi di Indonesia. Dengan investor tertarik masuk ke Indonesia, akan bisa meningkatkan lapangan kerja baru yang tentunya membutuhkan tenaga kerja lokal. Nah, terciptanya lapangan kerja baru ini yang diharapkan bisa menjadi jawaban dari persoalan tingginya pengangguran akibat pandemi.
Lalu, bagaimana dengan perdebatan yang muncul di masyarakat terkait draft ini?
Memang, perdebatan muncul di masyarakat. Karena memang, dalam sebuah draft pasti ada yang menilai positif dan sebaliknya. Kalangan pekerja juga menilai demikian. Tetapi memang, dalam urusan apapun yang menaungi banyak orang, rasanya sulit untuk menyenangkan semua orang.
Melansir dari Republika, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, semua pihak terkait harus bisa duduk bersama guna mencari solusi dan titik tengah yang bisa menyeimbangkan antara kepentingan investasi dan dunia usaha.
Menurut Yustinus, terkait sejumlah kritik atas draf RUU itu, tidak semua substansi dalam RUU ini merugikan para pekerja. Dia mencontohkan tentang pengaturan mengenai pemberian pesangon yang sempat disinyalir bakal dihapuskan.
"Kenyataannya, RUU Ciptaker tidak menghapus pesangon. Hanya, ada penurunan dari 32 kali gaji saat ini menjadi 17 kali," ujar Yustinus dikutip dari republika.co.id.
Soal pesangon dan juga tenaga kerja asing (TKA) memang menjadi beberapa hal yang diperbincangkan dari Omnibus Law ini. Namun, sejumlah pihak menegaskan bahwa TKA tidak akan masuk dengan mudah ke Indonesia. TKA baru bisa masuk jika skill atau kemampuan yang dibutuhkan tidak dimiliki pekerja dalam negeri. Itu pun tidak untuk waktu yang lama.
Tetapi memang, seperti kata Yustinus, proses penyusunan RUU Ciptaker harus mendapat pengawasan publik. Menurutnya, semua pembahasannya harus dilakukan dengan mempertemukan semua pihak terkait, termasuk kalangan buruh dan pekerja, agar tidak menjadi 'bom waktu' bagi sektor ketenagakerjaan di masa mendatang.
Pada akhirnya, saya meyakini, pemerintah pastinya punya niat baik untuk mengatur dan memperbaiki tata kelola Ketenagakerjaan di Indonesia.
Terlebih dengan adanya efek pandemi Covid-19 ini, geliat ekonomi sektor riil harus segera dipulihkan. Nah, akan membutuhkan waktu panjang untuk pulih apabila pemerintah tidak mempercepat stimulus untuk menekan pengangguran, mengintervensi daya beli masyarakat, dan menjaga kondisi finansial dunia usaha. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H